SUARA-SUARA gaib terus saja menggema di persada bumi kita ini.
Coba, orang merasa pasti mendengar macam-macam suara. Tapi kalau
sumbernya dicari, tidak ketemu. Yang ketemu katanya cuma maya
saja. Bagaimana ini?
Misalnya bunyi "panas". Yang disangka akan mengaku ternyata
tidak mengaku melontarkan "panas". Jangan memanas-manasi es
panas, katanya, sebab nanti malah bisa jadi dingin.
Begitu juga tentang bunyi "hangat" atau "menghangat". Sumbernya
yang berhasil dirunut ternyata hanya berkata begini: "Hangat
apa? Ah, rasanya hiasa-biasa saja. Telingamu barangkali yang
hangat."
Kegaiban lain yang baru-baru ini dialami seregu anak muda tak
mudah dilupakan dan diceritakam Mereka datang nonton sebuah
patung yang berdiri di depan Benteng Ujungpandang. Patung buatan
Sam dan Yacob ini menampilkan Sultan Hasanuddin naik kuda. Sang
malik menuding ke laut, dan kabarnya ini bermakna banyak. Cuma,
tafsir tidak bisa sama.
"Limabelas juta rupiah, hanya untuk membayar patun, yang
menuding ke laut? Kita ini hidup di abad mana? Kenapa tidak
bikin patung yang menuding ke langit? Sekarang ini zanan kapal
terbang dan satelit."
Mengesankan juga ucapan Joni Lembong ini. Tapi rupanya dia ini
pemuda yang ketinggalan sepur. Coba, temannya menimpal: "Hoo,
sekarang ini zaman nostalgia bung!" Nah, ini tentu sulit
dibantah, biarpun nostalgia Hawaii malah berkurang. Sudah
ratusan juta rupiah telah ditanam untuk mengobarkan semangat
rindu-dendam buatan ini.
Tapi mundur tiga abad dan menonjolkan raja Gowa? Ini apa
maksudnya? "Buat lari ke alam mimpi," cicit Teti. "Buat
mengenang kejayaan masa silam doang," cetus Dado. "Kejayaan apa
sih?" tanya Robi. "Hei, bangsa yang tidak menghargai
pahlawan-pahlawannya adalah bangsa cengeng!" sambar si Tartor.
"Pahlawan? Apa itu pahlawan?" Tartor menjawab: "Pahlawan itu
idola, bung!" Lho, kita semua juga memuja idola, seru semua
serempak. Dan ketika bantah-bentoh ini sedang ngawur-ngawurnya,
tiba-tiba menggeletarlah bahana hebat di angkasa. "Sudah! . . .
Diam! . . . "
Semua tertegun tercengang-bcngang. Apaitu? Siapa itu? Dari mana?
Suara patung? Tidak bisa .Rasanya dari langit, Ah, dari laut.
Suara gaib memang. Bulu-bulu menggerman ketika dari bumantara,
atau dari dasar bumi, atau dari laut selebu, kabar akbar
mendambun: "Ya! Aku menunjuk ke lautan! Ganjil buat kalian yang
berdiang di kota-kota! Terima kasih atas kedatanganmu! Hayo,
sekarang kalian menyanyi. Lagu apa saja yang top dan pop dan nos
dan nas. Hayo satu-satu. Awas kalau tidak mau."
Anak-anak berdiri jegang berpandangan. Ngeri betul ini. Tapi ini
bukan permintaan sulit. Maklumlah, bangsa kita doyan lagu. Maka
satu-satu mengerahkan keberaniannya melantamkan lagu yang paling
fav. Ya ya, musik Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Tapi tuan rumah yang bagaimana? Rupanya sang Gaib tidak
puas.
"Lagu-lagu apa itu? Aku minta lagu-lagu tentang lautan dan
samudera dan pencalang dan lancaran dan bidar! Kok tentang mobil
tua . . . !"
Nah, anak-anak tentu bengong. Mana ada lagu-lagu seperti itu?
Otak diperas, tapi tidak ketemu. Eh, nanti dulu, ada juga. tapi
bagaimana ya? "Hei, lu hafal lagu Ambon? Isinya suka ada
laute-laute tuh." bisik si Jane Panda kepada Frangki Sineten.
Ah, nggak tahu ah.
"Kalian ini rupanya buaya daratan semua ya? Setan metropolitan.
Anak jalanan. Mana anak lautan? Hei, kalian punya pramuka laut?
Ingat, dulu di zaman kepanduan ada pandu laut! Kalian mau bikin
jamboree di mana? Di tengah daratan lagi?"
Waduh . . . Ini suara pasti dari laut. Dewa laut barangkali.
"Aku Sultan Hasanuddin! Aku malu kepada kalian. Tapi kalian
tidak kenal malu. Ditantang lomba layar dari Jakarta ke
Rotterdam, kalian tidak ikut. Buat apa itu kapal pinisi Adiguna?
Mana pelaut-pelaut Bugis itu? Mana itu pemuda Indonesia? Jangan
tinggi kelepur rendah tikam! Dulu kapal-kapal Belanda kulawan
mati-matian. Tapi kalian sekarang tidak berani melawan perahu
layar Belanda, padahal cuma balapan saja. Bagaimana ini? Belum
apa-apa kalian sudah menyerah. Paling jelek, kalian tidak
memberi keterangan apa-apa, dan juga tidak minta keterangan.
Pemerintah, KONI, KNPI ALRI, PELNI, pramuka mahasiswa, surat
kabar, semua bungkam seribu basa. Tapi kalau nona Riwayatie
muncul di Seoul, wah, mencak-mencak. Kalau soal bulutangkis dan
sepakbola dan tinju, ramainya tidak ketulungan. Itu soal daratan
melulu!"
Gawat ini. Sudah diam seribu lagu, diam seribu basa pula. Ada
seribu apa lagi!
"Seribu lukisan! Seribu seminar! Seribu pekan olah raga! Seribu
protes! Seribu film, seribu sajak, seribu cerpen, seribu novel
. . . semua kosong lautan dan pelaut! Kqahatan meningkat, tapi
tidak ada perompak satu pun yang ikut main. Lihat rakyat
Belanda. Mereka sampai punya lagu nasional tentang bajak laut si
Piet Hein. Dan ini lagu wajib bagi anak sekolah dasar! Keruan
saja mereka bisa menang dalam lomba layar Jakarta-Rotterdam itu.
Menang nomor satu, nomor dua, dan nomor lima. Tapi kalian cuma
kuas-kais kembarkembur jombrat-jambret di kota saja."
Si Joni Lembong yang tidak mau terima semua ucapan itu
menggerutu. Sultan ini rupanya belum tahu bahwa lambang negara
kita ini Garuda. Itu berarti langit, bukan laut.
"Hei, Joni, lambang Amerika juga garuda. Tapi lihat. Bulan lalu
mereka ikut balapan kapal layar dari Inggris ke Amerika. Hampir
5000 kilometer, oleh 88 kapal. Dan siapa yang paling depan?
Seorang kakek Amerika berusia 65 tahun. Phil Weld. Sekarang
Gerard D'Aboville dari Prancis mau sendirian mendayung sampan
menyeberangi samudera Atlantik, dan dengan persetujuan istri dan
anaknya. Tapi kau bisanya cuma mendayung biduk di Situ Bagendit
dan Ciburuy. Itu pun dulu. Sekarang kau minta motor tempel.
Huh!"
Anak-anak saling berpandangan, lalu cekikikan. Iii lucu! Tahu
dari mana Sultan itu? Kita yang belum pernah mendayung, kok
dibilang bisa mendayung!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini