Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sabda sang sultan

Sultan hasanuddin mengutuk segerombolan anak muda. mereka dianggap tak berani ikut dalam lomba layar jakarta-amsterdam. padahal ada pinisi adiguna, banyak pelaut bugis. kita kurang perhatian ke soal laut.

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA-SUARA gaib terus saja menggema di persada bumi kita ini. Coba, orang merasa pasti mendengar macam-macam suara. Tapi kalau sumbernya dicari, tidak ketemu. Yang ketemu katanya cuma maya saja. Bagaimana ini? Misalnya bunyi "panas". Yang disangka akan mengaku ternyata tidak mengaku melontarkan "panas". Jangan memanas-manasi es panas, katanya, sebab nanti malah bisa jadi dingin. Begitu juga tentang bunyi "hangat" atau "menghangat". Sumbernya yang berhasil dirunut ternyata hanya berkata begini: "Hangat apa? Ah, rasanya hiasa-biasa saja. Telingamu barangkali yang hangat." Kegaiban lain yang baru-baru ini dialami seregu anak muda tak mudah dilupakan dan diceritakam Mereka datang nonton sebuah patung yang berdiri di depan Benteng Ujungpandang. Patung buatan Sam dan Yacob ini menampilkan Sultan Hasanuddin naik kuda. Sang malik menuding ke laut, dan kabarnya ini bermakna banyak. Cuma, tafsir tidak bisa sama. "Limabelas juta rupiah, hanya untuk membayar patun, yang menuding ke laut? Kita ini hidup di abad mana? Kenapa tidak bikin patung yang menuding ke langit? Sekarang ini zanan kapal terbang dan satelit." Mengesankan juga ucapan Joni Lembong ini. Tapi rupanya dia ini pemuda yang ketinggalan sepur. Coba, temannya menimpal: "Hoo, sekarang ini zaman nostalgia bung!" Nah, ini tentu sulit dibantah, biarpun nostalgia Hawaii malah berkurang. Sudah ratusan juta rupiah telah ditanam untuk mengobarkan semangat rindu-dendam buatan ini. Tapi mundur tiga abad dan menonjolkan raja Gowa? Ini apa maksudnya? "Buat lari ke alam mimpi," cicit Teti. "Buat mengenang kejayaan masa silam doang," cetus Dado. "Kejayaan apa sih?" tanya Robi. "Hei, bangsa yang tidak menghargai pahlawan-pahlawannya adalah bangsa cengeng!" sambar si Tartor. "Pahlawan? Apa itu pahlawan?" Tartor menjawab: "Pahlawan itu idola, bung!" Lho, kita semua juga memuja idola, seru semua serempak. Dan ketika bantah-bentoh ini sedang ngawur-ngawurnya, tiba-tiba menggeletarlah bahana hebat di angkasa. "Sudah! . . . Diam! . . . " Semua tertegun tercengang-bcngang. Apaitu? Siapa itu? Dari mana? Suara patung? Tidak bisa .Rasanya dari langit, Ah, dari laut. Suara gaib memang. Bulu-bulu menggerman ketika dari bumantara, atau dari dasar bumi, atau dari laut selebu, kabar akbar mendambun: "Ya! Aku menunjuk ke lautan! Ganjil buat kalian yang berdiang di kota-kota! Terima kasih atas kedatanganmu! Hayo, sekarang kalian menyanyi. Lagu apa saja yang top dan pop dan nos dan nas. Hayo satu-satu. Awas kalau tidak mau." Anak-anak berdiri jegang berpandangan. Ngeri betul ini. Tapi ini bukan permintaan sulit. Maklumlah, bangsa kita doyan lagu. Maka satu-satu mengerahkan keberaniannya melantamkan lagu yang paling fav. Ya ya, musik Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tapi tuan rumah yang bagaimana? Rupanya sang Gaib tidak puas. "Lagu-lagu apa itu? Aku minta lagu-lagu tentang lautan dan samudera dan pencalang dan lancaran dan bidar! Kok tentang mobil tua . . . !" Nah, anak-anak tentu bengong. Mana ada lagu-lagu seperti itu? Otak diperas, tapi tidak ketemu. Eh, nanti dulu, ada juga. tapi bagaimana ya? "Hei, lu hafal lagu Ambon? Isinya suka ada laute-laute tuh." bisik si Jane Panda kepada Frangki Sineten. Ah, nggak tahu ah. "Kalian ini rupanya buaya daratan semua ya? Setan metropolitan. Anak jalanan. Mana anak lautan? Hei, kalian punya pramuka laut? Ingat, dulu di zaman kepanduan ada pandu laut! Kalian mau bikin jamboree di mana? Di tengah daratan lagi?" Waduh . . . Ini suara pasti dari laut. Dewa laut barangkali. "Aku Sultan Hasanuddin! Aku malu kepada kalian. Tapi kalian tidak kenal malu. Ditantang lomba layar dari Jakarta ke Rotterdam, kalian tidak ikut. Buat apa itu kapal pinisi Adiguna? Mana pelaut-pelaut Bugis itu? Mana itu pemuda Indonesia? Jangan tinggi kelepur rendah tikam! Dulu kapal-kapal Belanda kulawan mati-matian. Tapi kalian sekarang tidak berani melawan perahu layar Belanda, padahal cuma balapan saja. Bagaimana ini? Belum apa-apa kalian sudah menyerah. Paling jelek, kalian tidak memberi keterangan apa-apa, dan juga tidak minta keterangan. Pemerintah, KONI, KNPI ALRI, PELNI, pramuka mahasiswa, surat kabar, semua bungkam seribu basa. Tapi kalau nona Riwayatie muncul di Seoul, wah, mencak-mencak. Kalau soal bulutangkis dan sepakbola dan tinju, ramainya tidak ketulungan. Itu soal daratan melulu!" Gawat ini. Sudah diam seribu lagu, diam seribu basa pula. Ada seribu apa lagi! "Seribu lukisan! Seribu seminar! Seribu pekan olah raga! Seribu protes! Seribu film, seribu sajak, seribu cerpen, seribu novel . . . semua kosong lautan dan pelaut! Kqahatan meningkat, tapi tidak ada perompak satu pun yang ikut main. Lihat rakyat Belanda. Mereka sampai punya lagu nasional tentang bajak laut si Piet Hein. Dan ini lagu wajib bagi anak sekolah dasar! Keruan saja mereka bisa menang dalam lomba layar Jakarta-Rotterdam itu. Menang nomor satu, nomor dua, dan nomor lima. Tapi kalian cuma kuas-kais kembarkembur jombrat-jambret di kota saja." Si Joni Lembong yang tidak mau terima semua ucapan itu menggerutu. Sultan ini rupanya belum tahu bahwa lambang negara kita ini Garuda. Itu berarti langit, bukan laut. "Hei, Joni, lambang Amerika juga garuda. Tapi lihat. Bulan lalu mereka ikut balapan kapal layar dari Inggris ke Amerika. Hampir 5000 kilometer, oleh 88 kapal. Dan siapa yang paling depan? Seorang kakek Amerika berusia 65 tahun. Phil Weld. Sekarang Gerard D'Aboville dari Prancis mau sendirian mendayung sampan menyeberangi samudera Atlantik, dan dengan persetujuan istri dan anaknya. Tapi kau bisanya cuma mendayung biduk di Situ Bagendit dan Ciburuy. Itu pun dulu. Sekarang kau minta motor tempel. Huh!" Anak-anak saling berpandangan, lalu cekikikan. Iii lucu! Tahu dari mana Sultan itu? Kita yang belum pernah mendayung, kok dibilang bisa mendayung!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus