KALIMANTAN sekarang amat menggiurkan. Rimbanya yang masih
"tingting" gemerisik memanggil para pencinta alam. Beberapa
ekspedisi telah mencoba memotong pulau yang besar itu dan
menghasilkan pujian-pujian yang makin menambat hati. Terutama
sekali mereka bicara tentang sejumlah penduduk yang sangat ramah
tamah yang mereka temui dalam peralanan.
Pada tanggal 1 Mei yang lalu misalnya, 6 orang yang tergabung
dalam "Ekspedisi Trans Kalimantan" mencoba merogoh dari ujung
utara Kalimantan. Setelah 3 orang di antaranya mengundurkan
diri, tiga lainnya di bawah pimpinan Gordon Benton (46 tahun)
seorang arsitek Inggeris yang bekerja di Jakarta mencapai
Tanjung Selatan pagi hari, hari Selasa tanggal 11 Juli. Total
jenderal tidak kurang dari 2000 km yang telah mereka lintasi.
Perjalanan itu telah membawa mereka bersentuhan dengan alam yang
masih buas. Memhawa mereka naik ke puncak Gunung Kinabalu yang
tingginya 5000 m. Mereka melihat dari dekat jeram-jeram yang
deras. Dan pada akhir perjalanan mereka, jasmani mereka yang
sudah kehilangan bobot beberapa kilogram mulai terasa sangat
melelahkan. Tapi sementara itu mereka mendapatkan kesempatan
yang sulit untuk dilupakan. Bagaimana mereka belajar mendapatkan
air dari pohon lina. Menangskap langsung ikan-ikan di bawah batu
dengan tangan, memetik buah-buahan dari rantingnya di hutan,
serta mendapatkan sayur dari pohon pakis di tepi sungai.
"Perjalanan itu saya lakukan karena senang sport saja, saya
bukan antropolog," kata Gordon kepada Bachrun Suwatdi dari
TEMPO, memulai kisahnya. Lelaki yang penuh jenggot itu
sebelumnya sudah pernah memasuki Serawak dan Kalimantan Tengah.
"Jadi bagi saya kebiasaan dan kebudayaan di pedalaman Kalimantan
tidak asing lagi." Di dalam ekspedisinya terdapat seorang
dokter yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan oleh anggota tim
sendiri sekaligus untuk membantu rakyat yang bertemu di
sepanjang jalan. Akan tetapi niat ini tidak sepenuhnya berhasil,
karena kesulitan hidup di hutan menyebabkan dokter tersebut
tidak sempat mengikuti perjalanan sampai rampung.
"Kalau saya akan membentuk tim lain kali, akan hati-hati dalam
menyeleksi, minimal mereka harus bisa bahasa Indonesia," kata
Gordon. "Kalau bisa bahasa Indonesia tidak sulit biarpun di
pedalaman Kalimantan yang jarang didatangi orang luar. " Di
dalam ekspedisi lintas Kalimantan itu ia memang hanya ditemani
oleh orang asing, jadi kesulitan bahasa terasa sangat besar.
Ditanya kenapa ia tidak mengajak orang pribumi saja, Gordon
menjelaskan bahwa ekspedisinya mulai dari luar daerah Indonesia.
Kalau mengajak orang Indonesia harus pakai paspor dan visa,"
kata Gordon menjelaskan kesulitannya. "Kedua, saya sulit
mengajak orang yang belum saya kenal betul. Dan ketiga kalau
anggota team terlalu banyak akan sulit mengatur kebutuhan dan
obat-obatan."
Ekspedisi yang dipimpin Gordon berharga Rp 4 juta. Ia menyatakan
puas sekali. Tak kurang dari 300 kg berat perlengkapannya. Ini
membutuhkan 7 sampai 12 orang pembantu. Ia sangat tertarik pada
alam dan keramahan penduduk. Banyak desa dan kampung yang
tertera di dalam peta tidak ada bekasnya lagi. Ia perkirakan
sudah lenyap sekitar 40 tahun yang lalu. Akhirnya Gordon membuat
peta sendiri. Ia juga sempat mengumpulkan beberapa ratus kata
yang diketemukannya dalam perjalanan.
Kalau di Samarinda ia langsung disambut dengan tangan tertadah
--untuk minta-minta -- oleh sejumlah penduduk di pedalaman
Gordon melihat hidup penduduk cukup. "Harga ayam di pedalaman Rp
500," kata Gordon. Ia tidak melihat kemiskinan, tapi makan
cukup, hutan masih kaya dengan pepaya, jeruk, pisang, rambutan.
Seorang penduduk berkata kepada Gordon. "Ambil saja buah-buahan
itu kalau anda ingin makan, sesudah itu buang bijinya di sini,
dalam sepuluh tahun nanti biji tersebut akan menjadi pohon yang
berbuah." Gordon takjub mendengar penjelasan sederhana itu.
"Terasa oleh saya mereka mengenal dengan baik ekologi," ujarnya
mengenangkan.
Sebagai penjelajah Gordon punya pengalaman panjang. Ia sempat
memanjat puncak Kilimanjaro di Afrika, beberapa buah gunung di
Inggeris dan Pulau Jawa -- termasuk Pangrango, Gede dan Bromo.
Mengenai Kalimantan ia hanya bisa berkata: "Pokoknya walaupun
capek, saya puas sekali, udara segar, tiap malam melihat
bintang-bintang dan makanan pun enak." Tapi satu ketika ia
tertegun mendengar pertanyaan seorang penduduk. "Pak Gordon,
kenapa kalau bapak makan, tidak sembahyang terlebih dahulu?"
Gordon berfikir dulu sebelum menjawab. Akhirnya ia hanya bisa
berkata: "Yah, kebiasaan tersebut di Eropa tidak dilakukan
lagi."
Tak lama setelah Gordon berhasil, ada lagi ekspedisi yang
menamakan dirinya Borneo Head Waters's Expedition (Ekspedisi
Hulu Sungai Kalimantan) meninggalkan Samarinda tanggal 1 Juni
yang lalu. Mereka terdiri dari 4 orang Amerika (Frank Morgan,
Dan A. Emmett, Dr. James Baker, Jack Corman) dan 2 pribumi
(Sinarmas Djati, Ariani Sulaiman). Mereka diperlengkapi 3 buah
perahu karet, 3 motor tempel, alat-alat tidur, makanan kaleng, 8
drum bensin dan obat-obatan.
Ekspedisi ini telah disiapkan selama 5 bulan. Sebelum perjalanan
lintas Sungai Mahakam-Barito itu dimulai, medan tersebut sudah
dijajaki dari udara dengan pesawat Cessna selama 4 jam hasil
pinjaman dari MAF (Missionary Aviation Fellowship). Pimpinan
berada di tangan Sinarmas Djati, seorang anggota MAPALA-UI yang
kebetulan berasal dari Dayak Bahao. Ia berhasil membawa tugasnya
itu dan menyelesaikan target dalam tempo 5 minggu.
Adapun Ariani Sulaiman, biasa dipanggil Rini, pelajar SMA
Tarakanita kelas II jurusan Pas-Pal di Jakarta, hampir saja
dilarang orang tuanya mengikuti ekspedisi itu. Ia berusaha
membujuk dengan bercerita banyak tentang Kaliman tan dan
orang-orang Dayak. Rini yang langsing manis dan berkacamata
memang pernah keliling Kalimantan selama 3 minggu bersama Mrs.
Birutte Brindamore, sarjana Amerika ahli Uwa-uwa di Tanjung
Puting. Akhirnya orang tuanya memberi izin dengan syarat tidak
mengganggu pelajaran sekolah. Kemudian ia berhasil pula
mendapatkan izin dari sekolahnya.
Film Tarzan
'Perjalanan lintas sungai yang mulai dari Long Bangun itu cantik
sekali,' kata Rini. Ia sama sekali tidak takut. "Sa ya justru
senang karena ada tantangan," ujarnya, "naik perahu karet enak
seperti mengendalikan kuda liar, apalagi kalau ada riam yang
besar." Sekali tempo ia terkejut juga jika melihat rombongan
babi hutan menyeberangi sungai. Atau kalau melihat beberapa
orang penduduk dengan tombak di tangan membunuh babi-babi
tersebut dengan tenang. Ia teringat seorang kawannya yang kuliah
biologi yang minta dicarikan kutu dari pedalaman. "Wah susah,"
kata Rini, "susah cari kutu, babi saja bersih."
Selama perjalanan Rini bertugas menjadi tukang masak bersama
Frank Morgan. Ia masak daun singkong dan ikan teri asin.
Ternyata musafir-musafir itu menyikat begitu saja masakannya.
Alam yang cantik, lingkungan yang masih segar agaknya membuat
orang-orang enak makan apa saja. Sayang sekali masa liburan
sekolah pendek, Rini terpaksa menghentikan perjalanannya
mendekati Tiong O Ham. Ia menyesal dan ingin sekali kembali
melihat bagaimana hewan-hewan hidup di alam bebas. Terutama
Uwa-uwa. "Setelah rombongan kembali, saya iri mendengar
pengalaman mereka yang menarik," kata Rini.
Sinarmas Djati membenarkan bahwa lintas hulu sungai itu memang
tak terlupakan. Perjalanan dari Long Iram sampai ke Long Bangun
memang membosankan. Tapi bayangkan mulai Long Bangun -- sebuah
kota kecil di tepi Sungai Mahakam yang berpenduduk 3000 jiwa
--alam berubah. Arus sungai bertambah deras, lalu tampak
batu-batu sebesar rumah. Penumpang terpaksa turun dan perahu
ditarik dari tepi. Sepanjang tepi sungai terdengar suara burung
dan orang hutan seperti dalam film-film Tarzan. Lebih dari itu,
banyak sekali pohon buah-buahan yang menggiurkan. Yang istimewa
adalah anggerek-anggerek hutan, amat merangsang.
"Di samping batu sebesar rumah, kita juga menjumpai arus
berputar yang dapat membuat balok kayu sebesar ban traktor
hanyut dengan tegak lurus," kata Sinar. Arus berbahaya itu tentu
saja harus dihindari. Perahu kembali ditarik dari tepi sungai.
Yang paling menegangkan adalah ketika melintasi Riam Udang yang
panjang bengkoknya mirip udang. "Saya merasa senang sekali kalau
menemui riam-riam yang berat, riam-riam dan sungai di Pulau Jawa
nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang ada di sana," kata
Sinar membanggakan apa yang dilaluinya.
Di Long Tujoq rombongan disambut dengan upacara adat. Seekor
anak ayam dipotes lehernya, kemudian darahnya ditaruh di kening
Sinar. Mereka juga mendapat manik-manik dan disuapi nasi ketan.
Malamnya disuguhkan tarian, semua anggota rombongan ikut menari.
Menyenangkan sekali. Tetapi sesudah itu di tempat yang bernama
Tiang O Hang rombongan terpaksa bekerja keras membantu penduduk
yang diserang wabah muntah berak. Mereka bertahan 2 hari di sana
membantu seorang mantri kesehatan yang bertugas menjaga
kesehatan penduduk tanpa punya obat-obatan. Dokter hanya ada di
Long Iram -- 5 hari perjalanan dengan perahu motor itupun kalau
sungai tidak banjir. "Keluhan penduduk di sana hanya satu, tidak
ada obat," kata Sinar.
Desa terakhir yang dikunjungi bernama Nahabuan. Di sana kapal
moto diganti dengan perahu kayu. Panjangnya 7 meter, lebar 60
cm. Tak kurang dan 7 buah perahu yang dipergunakan. Sebanyak 28
orang penduduk dari 6 desa ikut dikerahkan dengan upah Rp 1.000
perorang setiap hari. Penduduk tertua Nahabuan menanyakan kenapa
perjalan an di atas air itu diteruskan padahal di depan mereka
ada air terjun tinggi. Sinar berusaha menjelaskan bahwa
perjalanan itu sudah diniatkan dengan tekad.
Perjalanan berlangsung siang hari. Kalau malam tiba, mereka
mencari tempat tinggi untuk berkemah. Pembagian tugas yang
diatur berjalan dengan rapi, karena semua anggota tampak
berdisiplin. Semua tindakan terlebih dahulu dengan konsultasi
pada Sinar. "Setiap kali kami ragu bila bertemu dengan simpang
sungai, peta, kompas dan doa menjadi senjata yang ampuh," kata
Sinar. Demikianlah desa demi desa dilalui. Setiap desa
memberikan kemungkinan menukar garam, pakaian safari (model yang
paling digemari), renda dan kain warna-warni untuk wanita --
untuk mendapatkan sayur, ayarn dan beras penduduk.
Dikejar
Di hulu Sungai Mahakam yaitu Sungai Lisut dan Siluang kedalaman
sungai hanya mencapai lutut. Semua perahu ditinggalkan. Semua
orang berjalan kaki selama satu minggu, masing-masing dengan
ransel 30 kg di punggung. "Lutut dan telapak kaki seluruh
peserta luka seringkali terpeleset menginjak batu," kata Sinar.
Ia membandingkan lintas sungai jauh lebih berat dari jalan di
gunung. "Seberat-berat di gunung di sana tanah kering, tapi
lihatlah kaki Frank Morgan hancur dan bernanah."
Lewat sungai itu rombongan kemudian mendaki gunung dan masuk ke
dalam hutan selama 5 hari untuk mencapai Sungai Busang -- hulu
Sungai Barito. Ke 28 penduduk yang menyertai mereka terpaksa
kembali ke Nahabuan karena di desanya sedang masa menanam padi.
"Pemandangan di Sungai Busang terindah selama perjalanan," kata
Sinar. Ia bercerita tentang anggerek hutan yang hitam dan merah.
Batu-batu yang tersusun rapih, air terjun kecil serta ikan
tembalak yang mirip ikan mas dengan tubuh sebesar manusia. Ikan
itu jinak sekali. Frank Morgan sempat menombaknya untuk santap
malam. Dengan air sungai yang jernih, udara sesejuk udara di
Bandung, kelelahan perjalanan sempat dilupakan.
Di Tomboloi kampung kecil pertama di hulu Barito, mereka dikejar
oleh sekitar 50 orang pemuda kampung. Sambil berteriak-teriak
pemuda-pemuda dengan kantong jimat di pinggang siap menyerang
dengan tombak, mandau dan sumpit mereka. Tapi setelah bertegur
sapa dengan Sinar, setelah tahu Sinar orang mereka, Sinar
dipeluknya. Suasana yang tegang itu berakhir dengan damai. Sama
sekali tak ada bahaya dari penduduk. Yang terberat selama
perjalanan menurut Sinar justru menghadapi riam-riam. Tak heran
kalau penduduk setempat juga sering berkata: "Bapak tolong
ajarkan ilmunya, ilmu apa itu llmu melewati riam?" Biasanya
dijawab oleh Sinar. "Hanya berdoa kepada Tuhan."
Tak kurang dari 2000 km jarak perjalanan yang dipimpin oleh
Sinarmas Djati. Pemuda kelahiran Tanjung Selor, Tarakan, ini
adalah pegawai CV Kaona Engineering. Untuk tugas memandu
orang-orang Amerika itu, ia memperoleh uang saku 375 dollar
Amerika setiap hari. Tak kurang dari Rp 3,36 juta. Berdasarkan
perjanjian, 60% hasil itu milik perusahaan. Sisanya menjadi hak
Sinar. Lumayan juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini