Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Merogoh Rimba Dan Riam

Ekspedisi lintas Kalimantan yang dipimpin Gordon Benton, bangsa Inggris, yang berangkat dari ujung utara berhasil ke ujung selatan. Ekspedisi lintas Mahakam Barito, orang Amerika & pribumi dengan nama Bhwe.(sd)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALIMANTAN sekarang amat menggiurkan. Rimbanya yang masih "tingting" gemerisik memanggil para pencinta alam. Beberapa ekspedisi telah mencoba memotong pulau yang besar itu dan menghasilkan pujian-pujian yang makin menambat hati. Terutama sekali mereka bicara tentang sejumlah penduduk yang sangat ramah tamah yang mereka temui dalam peralanan. Pada tanggal 1 Mei yang lalu misalnya, 6 orang yang tergabung dalam "Ekspedisi Trans Kalimantan" mencoba merogoh dari ujung utara Kalimantan. Setelah 3 orang di antaranya mengundurkan diri, tiga lainnya di bawah pimpinan Gordon Benton (46 tahun) seorang arsitek Inggeris yang bekerja di Jakarta mencapai Tanjung Selatan pagi hari, hari Selasa tanggal 11 Juli. Total jenderal tidak kurang dari 2000 km yang telah mereka lintasi. Perjalanan itu telah membawa mereka bersentuhan dengan alam yang masih buas. Memhawa mereka naik ke puncak Gunung Kinabalu yang tingginya 5000 m. Mereka melihat dari dekat jeram-jeram yang deras. Dan pada akhir perjalanan mereka, jasmani mereka yang sudah kehilangan bobot beberapa kilogram mulai terasa sangat melelahkan. Tapi sementara itu mereka mendapatkan kesempatan yang sulit untuk dilupakan. Bagaimana mereka belajar mendapatkan air dari pohon lina. Menangskap langsung ikan-ikan di bawah batu dengan tangan, memetik buah-buahan dari rantingnya di hutan, serta mendapatkan sayur dari pohon pakis di tepi sungai. "Perjalanan itu saya lakukan karena senang sport saja, saya bukan antropolog," kata Gordon kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO, memulai kisahnya. Lelaki yang penuh jenggot itu sebelumnya sudah pernah memasuki Serawak dan Kalimantan Tengah. "Jadi bagi saya kebiasaan dan kebudayaan di pedalaman Kalimantan tidak asing lagi." Di dalam ekspedisinya terdapat seorang dokter yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan oleh anggota tim sendiri sekaligus untuk membantu rakyat yang bertemu di sepanjang jalan. Akan tetapi niat ini tidak sepenuhnya berhasil, karena kesulitan hidup di hutan menyebabkan dokter tersebut tidak sempat mengikuti perjalanan sampai rampung. "Kalau saya akan membentuk tim lain kali, akan hati-hati dalam menyeleksi, minimal mereka harus bisa bahasa Indonesia," kata Gordon. "Kalau bisa bahasa Indonesia tidak sulit biarpun di pedalaman Kalimantan yang jarang didatangi orang luar. " Di dalam ekspedisi lintas Kalimantan itu ia memang hanya ditemani oleh orang asing, jadi kesulitan bahasa terasa sangat besar. Ditanya kenapa ia tidak mengajak orang pribumi saja, Gordon menjelaskan bahwa ekspedisinya mulai dari luar daerah Indonesia. Kalau mengajak orang Indonesia harus pakai paspor dan visa," kata Gordon menjelaskan kesulitannya. "Kedua, saya sulit mengajak orang yang belum saya kenal betul. Dan ketiga kalau anggota team terlalu banyak akan sulit mengatur kebutuhan dan obat-obatan." Ekspedisi yang dipimpin Gordon berharga Rp 4 juta. Ia menyatakan puas sekali. Tak kurang dari 300 kg berat perlengkapannya. Ini membutuhkan 7 sampai 12 orang pembantu. Ia sangat tertarik pada alam dan keramahan penduduk. Banyak desa dan kampung yang tertera di dalam peta tidak ada bekasnya lagi. Ia perkirakan sudah lenyap sekitar 40 tahun yang lalu. Akhirnya Gordon membuat peta sendiri. Ia juga sempat mengumpulkan beberapa ratus kata yang diketemukannya dalam perjalanan. Kalau di Samarinda ia langsung disambut dengan tangan tertadah --untuk minta-minta -- oleh sejumlah penduduk di pedalaman Gordon melihat hidup penduduk cukup. "Harga ayam di pedalaman Rp 500," kata Gordon. Ia tidak melihat kemiskinan, tapi makan cukup, hutan masih kaya dengan pepaya, jeruk, pisang, rambutan. Seorang penduduk berkata kepada Gordon. "Ambil saja buah-buahan itu kalau anda ingin makan, sesudah itu buang bijinya di sini, dalam sepuluh tahun nanti biji tersebut akan menjadi pohon yang berbuah." Gordon takjub mendengar penjelasan sederhana itu. "Terasa oleh saya mereka mengenal dengan baik ekologi," ujarnya mengenangkan. Sebagai penjelajah Gordon punya pengalaman panjang. Ia sempat memanjat puncak Kilimanjaro di Afrika, beberapa buah gunung di Inggeris dan Pulau Jawa -- termasuk Pangrango, Gede dan Bromo. Mengenai Kalimantan ia hanya bisa berkata: "Pokoknya walaupun capek, saya puas sekali, udara segar, tiap malam melihat bintang-bintang dan makanan pun enak." Tapi satu ketika ia tertegun mendengar pertanyaan seorang penduduk. "Pak Gordon, kenapa kalau bapak makan, tidak sembahyang terlebih dahulu?" Gordon berfikir dulu sebelum menjawab. Akhirnya ia hanya bisa berkata: "Yah, kebiasaan tersebut di Eropa tidak dilakukan lagi." Tak lama setelah Gordon berhasil, ada lagi ekspedisi yang menamakan dirinya Borneo Head Waters's Expedition (Ekspedisi Hulu Sungai Kalimantan) meninggalkan Samarinda tanggal 1 Juni yang lalu. Mereka terdiri dari 4 orang Amerika (Frank Morgan, Dan A. Emmett, Dr. James Baker, Jack Corman) dan 2 pribumi (Sinarmas Djati, Ariani Sulaiman). Mereka diperlengkapi 3 buah perahu karet, 3 motor tempel, alat-alat tidur, makanan kaleng, 8 drum bensin dan obat-obatan. Ekspedisi ini telah disiapkan selama 5 bulan. Sebelum perjalanan lintas Sungai Mahakam-Barito itu dimulai, medan tersebut sudah dijajaki dari udara dengan pesawat Cessna selama 4 jam hasil pinjaman dari MAF (Missionary Aviation Fellowship). Pimpinan berada di tangan Sinarmas Djati, seorang anggota MAPALA-UI yang kebetulan berasal dari Dayak Bahao. Ia berhasil membawa tugasnya itu dan menyelesaikan target dalam tempo 5 minggu. Adapun Ariani Sulaiman, biasa dipanggil Rini, pelajar SMA Tarakanita kelas II jurusan Pas-Pal di Jakarta, hampir saja dilarang orang tuanya mengikuti ekspedisi itu. Ia berusaha membujuk dengan bercerita banyak tentang Kaliman tan dan orang-orang Dayak. Rini yang langsing manis dan berkacamata memang pernah keliling Kalimantan selama 3 minggu bersama Mrs. Birutte Brindamore, sarjana Amerika ahli Uwa-uwa di Tanjung Puting. Akhirnya orang tuanya memberi izin dengan syarat tidak mengganggu pelajaran sekolah. Kemudian ia berhasil pula mendapatkan izin dari sekolahnya. Film Tarzan 'Perjalanan lintas sungai yang mulai dari Long Bangun itu cantik sekali,' kata Rini. Ia sama sekali tidak takut. "Sa ya justru senang karena ada tantangan," ujarnya, "naik perahu karet enak seperti mengendalikan kuda liar, apalagi kalau ada riam yang besar." Sekali tempo ia terkejut juga jika melihat rombongan babi hutan menyeberangi sungai. Atau kalau melihat beberapa orang penduduk dengan tombak di tangan membunuh babi-babi tersebut dengan tenang. Ia teringat seorang kawannya yang kuliah biologi yang minta dicarikan kutu dari pedalaman. "Wah susah," kata Rini, "susah cari kutu, babi saja bersih." Selama perjalanan Rini bertugas menjadi tukang masak bersama Frank Morgan. Ia masak daun singkong dan ikan teri asin. Ternyata musafir-musafir itu menyikat begitu saja masakannya. Alam yang cantik, lingkungan yang masih segar agaknya membuat orang-orang enak makan apa saja. Sayang sekali masa liburan sekolah pendek, Rini terpaksa menghentikan perjalanannya mendekati Tiong O Ham. Ia menyesal dan ingin sekali kembali melihat bagaimana hewan-hewan hidup di alam bebas. Terutama Uwa-uwa. "Setelah rombongan kembali, saya iri mendengar pengalaman mereka yang menarik," kata Rini. Sinarmas Djati membenarkan bahwa lintas hulu sungai itu memang tak terlupakan. Perjalanan dari Long Iram sampai ke Long Bangun memang membosankan. Tapi bayangkan mulai Long Bangun -- sebuah kota kecil di tepi Sungai Mahakam yang berpenduduk 3000 jiwa --alam berubah. Arus sungai bertambah deras, lalu tampak batu-batu sebesar rumah. Penumpang terpaksa turun dan perahu ditarik dari tepi. Sepanjang tepi sungai terdengar suara burung dan orang hutan seperti dalam film-film Tarzan. Lebih dari itu, banyak sekali pohon buah-buahan yang menggiurkan. Yang istimewa adalah anggerek-anggerek hutan, amat merangsang. "Di samping batu sebesar rumah, kita juga menjumpai arus berputar yang dapat membuat balok kayu sebesar ban traktor hanyut dengan tegak lurus," kata Sinar. Arus berbahaya itu tentu saja harus dihindari. Perahu kembali ditarik dari tepi sungai. Yang paling menegangkan adalah ketika melintasi Riam Udang yang panjang bengkoknya mirip udang. "Saya merasa senang sekali kalau menemui riam-riam yang berat, riam-riam dan sungai di Pulau Jawa nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang ada di sana," kata Sinar membanggakan apa yang dilaluinya. Di Long Tujoq rombongan disambut dengan upacara adat. Seekor anak ayam dipotes lehernya, kemudian darahnya ditaruh di kening Sinar. Mereka juga mendapat manik-manik dan disuapi nasi ketan. Malamnya disuguhkan tarian, semua anggota rombongan ikut menari. Menyenangkan sekali. Tetapi sesudah itu di tempat yang bernama Tiang O Hang rombongan terpaksa bekerja keras membantu penduduk yang diserang wabah muntah berak. Mereka bertahan 2 hari di sana membantu seorang mantri kesehatan yang bertugas menjaga kesehatan penduduk tanpa punya obat-obatan. Dokter hanya ada di Long Iram -- 5 hari perjalanan dengan perahu motor itupun kalau sungai tidak banjir. "Keluhan penduduk di sana hanya satu, tidak ada obat," kata Sinar. Desa terakhir yang dikunjungi bernama Nahabuan. Di sana kapal moto diganti dengan perahu kayu. Panjangnya 7 meter, lebar 60 cm. Tak kurang dan 7 buah perahu yang dipergunakan. Sebanyak 28 orang penduduk dari 6 desa ikut dikerahkan dengan upah Rp 1.000 perorang setiap hari. Penduduk tertua Nahabuan menanyakan kenapa perjalan an di atas air itu diteruskan padahal di depan mereka ada air terjun tinggi. Sinar berusaha menjelaskan bahwa perjalanan itu sudah diniatkan dengan tekad. Perjalanan berlangsung siang hari. Kalau malam tiba, mereka mencari tempat tinggi untuk berkemah. Pembagian tugas yang diatur berjalan dengan rapi, karena semua anggota tampak berdisiplin. Semua tindakan terlebih dahulu dengan konsultasi pada Sinar. "Setiap kali kami ragu bila bertemu dengan simpang sungai, peta, kompas dan doa menjadi senjata yang ampuh," kata Sinar. Demikianlah desa demi desa dilalui. Setiap desa memberikan kemungkinan menukar garam, pakaian safari (model yang paling digemari), renda dan kain warna-warni untuk wanita -- untuk mendapatkan sayur, ayarn dan beras penduduk. Dikejar Di hulu Sungai Mahakam yaitu Sungai Lisut dan Siluang kedalaman sungai hanya mencapai lutut. Semua perahu ditinggalkan. Semua orang berjalan kaki selama satu minggu, masing-masing dengan ransel 30 kg di punggung. "Lutut dan telapak kaki seluruh peserta luka seringkali terpeleset menginjak batu," kata Sinar. Ia membandingkan lintas sungai jauh lebih berat dari jalan di gunung. "Seberat-berat di gunung di sana tanah kering, tapi lihatlah kaki Frank Morgan hancur dan bernanah." Lewat sungai itu rombongan kemudian mendaki gunung dan masuk ke dalam hutan selama 5 hari untuk mencapai Sungai Busang -- hulu Sungai Barito. Ke 28 penduduk yang menyertai mereka terpaksa kembali ke Nahabuan karena di desanya sedang masa menanam padi. "Pemandangan di Sungai Busang terindah selama perjalanan," kata Sinar. Ia bercerita tentang anggerek hutan yang hitam dan merah. Batu-batu yang tersusun rapih, air terjun kecil serta ikan tembalak yang mirip ikan mas dengan tubuh sebesar manusia. Ikan itu jinak sekali. Frank Morgan sempat menombaknya untuk santap malam. Dengan air sungai yang jernih, udara sesejuk udara di Bandung, kelelahan perjalanan sempat dilupakan. Di Tomboloi kampung kecil pertama di hulu Barito, mereka dikejar oleh sekitar 50 orang pemuda kampung. Sambil berteriak-teriak pemuda-pemuda dengan kantong jimat di pinggang siap menyerang dengan tombak, mandau dan sumpit mereka. Tapi setelah bertegur sapa dengan Sinar, setelah tahu Sinar orang mereka, Sinar dipeluknya. Suasana yang tegang itu berakhir dengan damai. Sama sekali tak ada bahaya dari penduduk. Yang terberat selama perjalanan menurut Sinar justru menghadapi riam-riam. Tak heran kalau penduduk setempat juga sering berkata: "Bapak tolong ajarkan ilmunya, ilmu apa itu llmu melewati riam?" Biasanya dijawab oleh Sinar. "Hanya berdoa kepada Tuhan." Tak kurang dari 2000 km jarak perjalanan yang dipimpin oleh Sinarmas Djati. Pemuda kelahiran Tanjung Selor, Tarakan, ini adalah pegawai CV Kaona Engineering. Untuk tugas memandu orang-orang Amerika itu, ia memperoleh uang saku 375 dollar Amerika setiap hari. Tak kurang dari Rp 3,36 juta. Berdasarkan perjanjian, 60% hasil itu milik perusahaan. Sisanya menjadi hak Sinar. Lumayan juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus