BIARPUN ruang pameran di hari pembukaan tidak sesak oleh
hadirin, nyonya Djufriah Shindo-Muchsin telah berhasil
mengundang Nyonya Daoed Joesoef, isteri Menteri P&K untuk
meresmikan pameran Seni Flora, 27 Oktober lalu. Djufriah -- yang
namanya pernah ditulis di koran-koran sekitar 10 tahun yang lalu
dalam hubungan peristiwa Yusuf Muda Dalam -- mengadakan pameran
tunggalnya yang pertama. Tidak kurang dari 63 buah karangan
flora dipamerkan di Pasar Seni Ancol, bahkan dalam daftar
stensilan yang tersedia, dipasang pula tarif dan judul dari tiap
karangan. Mengingatkan orang pada pameran lukisan.
Naik Turun Gunung
"Bahan 99% berasal dari Indonesia," kata Djufriah, "juga
dikumpulkan dari bahan sederhana yang ada di sekeliling kita."
Misalnya sebuah karangan yang berjudul "burung cenderawasih",
dibuat dari bahan-bahan rumput laut, akar bahar, tiram dan metal
yang dibentuk jadi seperti kembang. Ditambah dengan beberapa
bahan lainnya, "burung cenderawasih" yang berukuran "lukisan"
135 x 100 cm, dengan komposisi menarik, jadi karangan yang
indah. Tapi harganya tak begitu menarik, Rp 250.000.
Tapi Djufriah ada juga menjual yang seharga Rp 750, " supaya
bisa terjangkau oleh siapa saja," ujarnya. Tentu dengan harga
terendah seperti itu, bukanlah untuk karangan yang besar dan
indah. Biarpun begitu, buah fikiran Djufriah -- yang kini
mempunyai 20 orang karyawan -- patut dihargai. Karena dia telah
memanfaatkan segala sesuatu yang biasa jadi barang buangan.
Untuk istilah teknologinya yang kini lagi populer: recycling
(olah kembali) -- yang kemudian bisa menghasilkan sesuatu yang
berguna alias uang.
Bahan baku yang dipakai Djufriah macam-macam. Yang berasal dari
flora berupa ranting, kayu, bunga, daun, bonggol akar yang
berjuntai dan macam-macam lagi. Untuk bahan pemantapan, dipakai
pula aluminium, kuningan, gelas, plastik, dan sebagainya.
"Pokoknya segala sampah yang kelihatannya tak berguna," kata
Djufriah, "dan bisa disulap jadi hiasan yang menarik."
Menurut Djufriah, ia sering mencari sendiri bahan-bahan itu. Di
rawa-rawa, sampai gunung dan di laut. Semua bahan itu kemudian
dibersihkan dengan zat kimia tertentu. Setelah dirancang untuk
sesuatu karangan, disemproti warna tertentu. Misalnya, kulit
tiram dirubahnya jadi medalion sebuah kalung. Bagaikan keranjang
bunga, perut tiram diisinya dengan bunga-bunga kecil yang sudah
diawetkan. Untuk perekat kabarnya lem khusus yang bisa tahan
serangga.
Djufriah yang kini bersuamikan seorang laki-laki Jepang ini
pernah belajar ikebana di Tokyo, pada Institut Ikebana of
Ikenobo. Sebelum mencoba bahan-bahan flora, ia telah berusaha
mensablon atau mencetak beberapa motif pada kemeja pria dan
wanita. Sebagian besar bahan baju yang diolahnya adalah kain
sutera produksi kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Kemudian
dipakainya juga bahan-bahan kain putih seperti blacu atau mori.
Semua itu diusahakan lewat proses screen printing, yang juga
pernah dipelajarinya ketika dia berada di Tokyo. "Cita-cita saya
nanti," ujarnya, "bisa membuka kursus besar-besaran tentang seni
flora."
Selama ini, Djufriah hanya mendemonstrasikan keahliannya di
hadapan kelompok tertentu, misalnya nyonya-nyonya Bhayangkara.
Seorang wanita lain yang telah mencoba lebih dulu dari Djufriah
ialah Nyonya Rieka Hartono D. Pusponegoro Suatan. Di kala gadis,
Rieka terkenal sebagai peragawati, seangkatan dengan Rima Melati
dan Gaby Mambo. Tahun 1964 Rieka berada di Tokyo dan tinggal
selama 3,5 tahun di negeri sakura tersebut. Dia mempelajari
hampir semuanya. Mulai dari ikebana, membuat boneka, dekorasi
dan berbagai ketrampilan yang berbau seni.
Tahun 1975, setelah melewati masa menikah sekian tahun, Rieka
membentuk sebuah yayasan dengan tujuan mengajarkan kebolehannya
dalam hal mengukir buah dan sayuran, mensablon, menganyam rotan
dan sebagainya. Ketrampilan ini kini telah diikuti oleh 869
siswa di beberapa kota besar. Rieka pun mengadakan berbagai
ceramah dan mendemonstrasikan ketrampilannya ini di berbagai
kota, di depan para karyawati, grup-grup arisan, para guru
sekolah, organisasi wanita.
Dengan keuletannya itulah, pertengahan Oktober lalu, Rieka
mengundang Menteri Muda Urusan Wanita Nyonya Lasiyah Sutanto.
Sekaligus merayakan Yayasan Rieka's Atelier yang ke-3, dan
menyaksikan acara pemberian ijazah kepada murid yang telah
berhasil meniru ketrampilan Rieka. Sebagian besar murid-muridnya
berasal dari luar Jakarta. Tanggal 19 Oktober yang lalu itu juga
diadakan pameran karya murid-muridnya. Buah kering dari pohon
flamboyan, kulit telur, kulit udang, kulit kacang, tali rami,
pasir laut, pisang kering, diolah menjadi sesuatu yang menarik
dan berarti, untuk hiasan.
Rieka (35 tahun) kini dibantu 8 orang asisKn. Seorang murid
dalam tempo 2 bulan, sudah bisa mempelajari 35 jenis bunga dari
berbagai bahan. Terutama bagi mereka yang memang berminat besar
dalam hal kerajinan ini seperti misalnya Titiek, 20 tahun,
tadinya berada di Madiun dan bekerja pada sebuah toko.
"Sebetulnya tidah sulit, asal ada kemauan," kata Titiek. Uang
sekolah, Rp 10.000 sebulan. Pelajaran pertama mengukir segala
macam sayuran dan buah. Buah dan sayur tersebut tidak terbuang
percuma, "sebab kalau sudah diukir, bisa dimasak dan dimakan,"
kata Rieka. Titiek sendiri kini tak kembali ke Madiun, tapi
telah mendapat pekerjaan dari Rieka, yaitu harus memberi
pelajaran kepada 60 orang murid yang jadi tanggung Jawabnya.
Bunga Krisan, Top
Tahun lalu, ukir mengukir sayur mayur dan buah ini begitu
populer di kalangan para ibu. Mereka nyaris asyik mengukir
kentang, ketimbang mengupas biasa untuk masak sehari-hari.
Sekarang ini, bunga krisan lagi top. Bahannya dari kulit kacang.
Dengan telaten kulit kacang itu dikeringkan, disemprot dan
dirangkai. Karangan lain yang juga lagi populer kulit jagung.
Dengan cara mula-mula kulit ini direbus. Diberi wantex dijemur,
disetrika, digunting menurut pola yang dikehendaki dan
dirangkai. "Saya cuma 2 bulan belajar," kata Anie (17 tahun) dan
"sudah bisa membuat hampir seluruh macam bunga." Kepandaian
membuat bunga ini didapat Rieka dalam kunjungannya ke India,
Bangkok dan beberapa negara Asia lainnya.
Ketrampilan Rieka telah melebar ke berbagai wanita dan pria yang
belajar dengan mempergunakan ketrampilan tangan dan daya kreasi
tajam. "Kini, ibu-ibu yang ada di desa itu yang akan jadi
sasaran saya," kata Rieka. Usaha Rieka selama ini, memang
menjurus ke usaha sosial. Dia tidak pernah menjual hasil
karyanya dalam pameran. Kalau ada pesanan, bayarannya pun
disesuaikan dengan kemampuan si pemesan. Murid-muridnya,
diharuskan mengumpulkan 1 kg beras, gula atau kacang hijau
setiap bulan. Untuk apa? 'Untuk disumbangkan ke panti asuhan
dan rumah orang jompo," ujar Rieka. Rumahnya yang tidak luas itu
juga dipenuhi gadis gadis yang mondok. "Kebanyakan dari luar
Jakarta," ujar Rieka, "dan setelah belajar selama 2 tahun,
mereka bisa jadi asisten saya."
Kini tinggal, seperti yang jadi ucapannya: "Bagaimana cara
praktis untuk menghubungi ibu-ibu yang ada di daerah?".
Harapannya ini dia letakkan ke pada Nyonya Lasiyah Sutanto.
Tambah Rieka lagi. "Karena saya yakin, di daerah, bahan untuk
karang mengarang sebuah rangkaian, akan lebih beragam dan lebih
banyak."
Himbauan Rieka ini mudah-mudahan saja bisa dipenuhi oleh Menteri
Muda Urusan Wanita, yaitu mengajar ketrampilan Rieka ke semua
penjuru tanah air. "Agar mereka lebih kreatif," ujar Rieka " dan
tidak menggantungkan dirinya pada suami melulu." Di Santiago
atau di Manila, ada toko-toko koperasi pusat penjualan
barang-barang kerajinan dari ibu-ibu berbagai organisasi atau
pribadi. Toko-toko ini cuma memungut keuntungan kecil saja,
karena seluruh pembiayaan menjadi beban pemerintah. Para ibu di
sana, bisa mendapat penghasilan dari hasil industri rumah
mereka, tanpa harus meninggalkan kariernya sebagai Ibu rumah
tangga. Persyaratan toko koperasi ini sederhana saja: pribadi
atau organisasi boleh mengirim barangnya yang akan dijual, asal
layak untuk dijual. Artinya: barang kerajinan tersebut harus
bermutu. Toko koperasi model begini kini jadi kian membesar,
demikian juga macam barang makin meningkat. Mulai dari baju bayi
sampai ke mantel orang dewasa, dari cincin logam sampai ke tas
kulit. Semuanya hasil pekerjaan tangan para ibu rumahtangga.
Bisakah di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini