Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Djufriah, rieka dan barang-barang buangan

Karangan flora hasil kerajinan tangan djufriah shindo-muchsin, dipamerkan dalam pameran tunggal di pasar seni ancol. wanita lain yang juga ahli seni flora adalah rieke hartono.

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIARPUN ruang pameran di hari pembukaan tidak sesak oleh hadirin, nyonya Djufriah Shindo-Muchsin telah berhasil mengundang Nyonya Daoed Joesoef, isteri Menteri P&K untuk meresmikan pameran Seni Flora, 27 Oktober lalu. Djufriah -- yang namanya pernah ditulis di koran-koran sekitar 10 tahun yang lalu dalam hubungan peristiwa Yusuf Muda Dalam -- mengadakan pameran tunggalnya yang pertama. Tidak kurang dari 63 buah karangan flora dipamerkan di Pasar Seni Ancol, bahkan dalam daftar stensilan yang tersedia, dipasang pula tarif dan judul dari tiap karangan. Mengingatkan orang pada pameran lukisan. Naik Turun Gunung "Bahan 99% berasal dari Indonesia," kata Djufriah, "juga dikumpulkan dari bahan sederhana yang ada di sekeliling kita." Misalnya sebuah karangan yang berjudul "burung cenderawasih", dibuat dari bahan-bahan rumput laut, akar bahar, tiram dan metal yang dibentuk jadi seperti kembang. Ditambah dengan beberapa bahan lainnya, "burung cenderawasih" yang berukuran "lukisan" 135 x 100 cm, dengan komposisi menarik, jadi karangan yang indah. Tapi harganya tak begitu menarik, Rp 250.000. Tapi Djufriah ada juga menjual yang seharga Rp 750, " supaya bisa terjangkau oleh siapa saja," ujarnya. Tentu dengan harga terendah seperti itu, bukanlah untuk karangan yang besar dan indah. Biarpun begitu, buah fikiran Djufriah -- yang kini mempunyai 20 orang karyawan -- patut dihargai. Karena dia telah memanfaatkan segala sesuatu yang biasa jadi barang buangan. Untuk istilah teknologinya yang kini lagi populer: recycling (olah kembali) -- yang kemudian bisa menghasilkan sesuatu yang berguna alias uang. Bahan baku yang dipakai Djufriah macam-macam. Yang berasal dari flora berupa ranting, kayu, bunga, daun, bonggol akar yang berjuntai dan macam-macam lagi. Untuk bahan pemantapan, dipakai pula aluminium, kuningan, gelas, plastik, dan sebagainya. "Pokoknya segala sampah yang kelihatannya tak berguna," kata Djufriah, "dan bisa disulap jadi hiasan yang menarik." Menurut Djufriah, ia sering mencari sendiri bahan-bahan itu. Di rawa-rawa, sampai gunung dan di laut. Semua bahan itu kemudian dibersihkan dengan zat kimia tertentu. Setelah dirancang untuk sesuatu karangan, disemproti warna tertentu. Misalnya, kulit tiram dirubahnya jadi medalion sebuah kalung. Bagaikan keranjang bunga, perut tiram diisinya dengan bunga-bunga kecil yang sudah diawetkan. Untuk perekat kabarnya lem khusus yang bisa tahan serangga. Djufriah yang kini bersuamikan seorang laki-laki Jepang ini pernah belajar ikebana di Tokyo, pada Institut Ikebana of Ikenobo. Sebelum mencoba bahan-bahan flora, ia telah berusaha mensablon atau mencetak beberapa motif pada kemeja pria dan wanita. Sebagian besar bahan baju yang diolahnya adalah kain sutera produksi kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Kemudian dipakainya juga bahan-bahan kain putih seperti blacu atau mori. Semua itu diusahakan lewat proses screen printing, yang juga pernah dipelajarinya ketika dia berada di Tokyo. "Cita-cita saya nanti," ujarnya, "bisa membuka kursus besar-besaran tentang seni flora." Selama ini, Djufriah hanya mendemonstrasikan keahliannya di hadapan kelompok tertentu, misalnya nyonya-nyonya Bhayangkara. Seorang wanita lain yang telah mencoba lebih dulu dari Djufriah ialah Nyonya Rieka Hartono D. Pusponegoro Suatan. Di kala gadis, Rieka terkenal sebagai peragawati, seangkatan dengan Rima Melati dan Gaby Mambo. Tahun 1964 Rieka berada di Tokyo dan tinggal selama 3,5 tahun di negeri sakura tersebut. Dia mempelajari hampir semuanya. Mulai dari ikebana, membuat boneka, dekorasi dan berbagai ketrampilan yang berbau seni. Tahun 1975, setelah melewati masa menikah sekian tahun, Rieka membentuk sebuah yayasan dengan tujuan mengajarkan kebolehannya dalam hal mengukir buah dan sayuran, mensablon, menganyam rotan dan sebagainya. Ketrampilan ini kini telah diikuti oleh 869 siswa di beberapa kota besar. Rieka pun mengadakan berbagai ceramah dan mendemonstrasikan ketrampilannya ini di berbagai kota, di depan para karyawati, grup-grup arisan, para guru sekolah, organisasi wanita. Dengan keuletannya itulah, pertengahan Oktober lalu, Rieka mengundang Menteri Muda Urusan Wanita Nyonya Lasiyah Sutanto. Sekaligus merayakan Yayasan Rieka's Atelier yang ke-3, dan menyaksikan acara pemberian ijazah kepada murid yang telah berhasil meniru ketrampilan Rieka. Sebagian besar murid-muridnya berasal dari luar Jakarta. Tanggal 19 Oktober yang lalu itu juga diadakan pameran karya murid-muridnya. Buah kering dari pohon flamboyan, kulit telur, kulit udang, kulit kacang, tali rami, pasir laut, pisang kering, diolah menjadi sesuatu yang menarik dan berarti, untuk hiasan. Rieka (35 tahun) kini dibantu 8 orang asisKn. Seorang murid dalam tempo 2 bulan, sudah bisa mempelajari 35 jenis bunga dari berbagai bahan. Terutama bagi mereka yang memang berminat besar dalam hal kerajinan ini seperti misalnya Titiek, 20 tahun, tadinya berada di Madiun dan bekerja pada sebuah toko. "Sebetulnya tidah sulit, asal ada kemauan," kata Titiek. Uang sekolah, Rp 10.000 sebulan. Pelajaran pertama mengukir segala macam sayuran dan buah. Buah dan sayur tersebut tidak terbuang percuma, "sebab kalau sudah diukir, bisa dimasak dan dimakan," kata Rieka. Titiek sendiri kini tak kembali ke Madiun, tapi telah mendapat pekerjaan dari Rieka, yaitu harus memberi pelajaran kepada 60 orang murid yang jadi tanggung Jawabnya. Bunga Krisan, Top Tahun lalu, ukir mengukir sayur mayur dan buah ini begitu populer di kalangan para ibu. Mereka nyaris asyik mengukir kentang, ketimbang mengupas biasa untuk masak sehari-hari. Sekarang ini, bunga krisan lagi top. Bahannya dari kulit kacang. Dengan telaten kulit kacang itu dikeringkan, disemprot dan dirangkai. Karangan lain yang juga lagi populer kulit jagung. Dengan cara mula-mula kulit ini direbus. Diberi wantex dijemur, disetrika, digunting menurut pola yang dikehendaki dan dirangkai. "Saya cuma 2 bulan belajar," kata Anie (17 tahun) dan "sudah bisa membuat hampir seluruh macam bunga." Kepandaian membuat bunga ini didapat Rieka dalam kunjungannya ke India, Bangkok dan beberapa negara Asia lainnya. Ketrampilan Rieka telah melebar ke berbagai wanita dan pria yang belajar dengan mempergunakan ketrampilan tangan dan daya kreasi tajam. "Kini, ibu-ibu yang ada di desa itu yang akan jadi sasaran saya," kata Rieka. Usaha Rieka selama ini, memang menjurus ke usaha sosial. Dia tidak pernah menjual hasil karyanya dalam pameran. Kalau ada pesanan, bayarannya pun disesuaikan dengan kemampuan si pemesan. Murid-muridnya, diharuskan mengumpulkan 1 kg beras, gula atau kacang hijau setiap bulan. Untuk apa? 'Untuk disumbangkan ke panti asuhan dan rumah orang jompo," ujar Rieka. Rumahnya yang tidak luas itu juga dipenuhi gadis gadis yang mondok. "Kebanyakan dari luar Jakarta," ujar Rieka, "dan setelah belajar selama 2 tahun, mereka bisa jadi asisten saya." Kini tinggal, seperti yang jadi ucapannya: "Bagaimana cara praktis untuk menghubungi ibu-ibu yang ada di daerah?". Harapannya ini dia letakkan ke pada Nyonya Lasiyah Sutanto. Tambah Rieka lagi. "Karena saya yakin, di daerah, bahan untuk karang mengarang sebuah rangkaian, akan lebih beragam dan lebih banyak." Himbauan Rieka ini mudah-mudahan saja bisa dipenuhi oleh Menteri Muda Urusan Wanita, yaitu mengajar ketrampilan Rieka ke semua penjuru tanah air. "Agar mereka lebih kreatif," ujar Rieka " dan tidak menggantungkan dirinya pada suami melulu." Di Santiago atau di Manila, ada toko-toko koperasi pusat penjualan barang-barang kerajinan dari ibu-ibu berbagai organisasi atau pribadi. Toko-toko ini cuma memungut keuntungan kecil saja, karena seluruh pembiayaan menjadi beban pemerintah. Para ibu di sana, bisa mendapat penghasilan dari hasil industri rumah mereka, tanpa harus meninggalkan kariernya sebagai Ibu rumah tangga. Persyaratan toko koperasi ini sederhana saja: pribadi atau organisasi boleh mengirim barangnya yang akan dijual, asal layak untuk dijual. Artinya: barang kerajinan tersebut harus bermutu. Toko koperasi model begini kini jadi kian membesar, demikian juga macam barang makin meningkat. Mulai dari baju bayi sampai ke mantel orang dewasa, dari cincin logam sampai ke tas kulit. Semuanya hasil pekerjaan tangan para ibu rumahtangga. Bisakah di Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus