BUKIT Hagu, sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Aceh Utara.
Berjiran dengan lokasi LNG Arun. Tak berapa jauh pula dari
pabrik gula Cot Girek. Dari kota kecamatan Lhok Sukon berjarak
20 km. Dari perkampungan Cot Girek sendiri masih 12 km.
Penghuni desa ini 802 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 3794.
Angka ini merupakan jumlah terakhir setelah 7 kk tersedot
mencari nafkah di Kota Lhok Seumawe.
Desa Bukit Hagu dirancang tahun 1974, dengan alasan sehagai
basis tenaga kerja bagi pabrik gula Cot Girek. Dimulai ketika
Pak Harto, selepas menziarahi pabrik gula yang hampir sekarat
itu, membisikkan pada Gubernur Muzakkir Walad (waktu itu). agar
mencari lokasi untuk memindahkan penduduk dari Jawa untuk
dijadikan tenaga bagi menyelamatkan Cot Girek dari kekurangan
bahan baku. Dengan bertanaun tebu. Muzakkir cepat bertindak.
Segera ia memerintahkan stafnya mencari sebuah tempat bagi
pemukiman transmigrasi itu.
Ternyata pemilihan lokasi ini menjadi bahan pergunjingan di
kemudian hari. Letaknya tidak pada lintasan jalan raya
menjadikan desa transmigrasi Bukit Hagu terisolir. Drs Kasnadi
YS, Kanwil transmigrasi Propinsi Aceh, mengakui ketidakjelian
tim survey melirik tempat. Semula ia tercengang menerima proyek
ini dari pendahulunya. Tapi tak ada jalan lain untuk
menggesernya. Karena di sana telah menderu traktor dan sebagian
rumah telah dipajang. Ismail Husein dari Kadit Pemerintahan Aceh
mengakui pula kesalahan ini. Namun ia mengelak, dulunya tak ada
suatu pola yang jelas. Pokoknya terima saja dulu nanti behitung,
katanya.
Tahun 1976 desa Bukit Hagu mulai dihuni oleh transmigrasi asal
Lumajang. Tahap pertama 300 kk ditempatkan. Melihat medan
pemukimannya, sebagian mereka sempat ambil ancang-ancang untuk
mudik lagi ke daerah asal. Tapi niat ini urung karena ada janji
dari pemerintah untuk menampung keluhan mereka. "Janjinya, badan
jalan ke desa transmigrasi akan dimuluskan, trayek bis lokal
akan dibuka, ke tempat kerja di Cot Girek mereka akan dijemput
dan gaji sebagai buruh harian di pabrik gula agak menggiurkan,"
kata Ngadimin, salah serang penghuni desa ini. Tak ada alasan
untuk mengelak pada waktu itu.
Tapi janji itu kini berada di awang-awang. Ngadiman berangkat ke
tempat kerja sejauh 8 km harus dengan jalan kaki. Begitu pula
bila mau belanja di pasar Lhok Sukon yang terletak 20 km.
Sehingga bila di pabrik dapat libur, waktu habis untuk mencapai
pasar. "Kalau bawaannya ikan, sampai di rumah sudah lembek,
mas," tutur Basyori penghuni lain .
Untung saja para transmigrasi ini mendapat upah dari pabrik.
Bila tidak lokasi ini tentu sudah cerai berai. Dari tanaman padi
gegalah para transmigrasi hanya mendapat hasil 800 kg/ha. Dan
palawija bila pun ada, bukan main sulit untuk memasarkannya.
Pekerjaan di perkebunan tebu mengundang pula para pekerja wanita
dan anak. Ini berarti pendapatan para keluarga transmigrasi bisa
lebih baik. Keluarga Basyori umpamanya, dengan menjual tiga
tenaga bisa berpenghasilan Rp 1.500 sehari berikut sekali makan.
Masih dalam cerita bab sarana angkutan. Di tahun 1977 datang
Sesdalopbang Solichin GP ke Bukit Hagu. Sewaktu akan pulang ia
meninggalkan janji akan memberi dua buah bis bagi para
transmigrasi. Bis ini khusus menjalani trayek Lhok Sukon - Bukit
Hagu. Tapi lagi-lagi janji ini hilang ditelan waktu. Dari
Kasnadi YS datang ide bagus. Sebuah usaha angkutan "Pelita"
yang berdomisili di Lhok Seumawe diizinkan membuka trayek ke
proyek transmigrasi, tapi usaha inipun ternyata tidak jalan.
Buruknya sarana jalan mengakibatkan Pelita cuma bisa bertahan 1
bulan.
Fa. Asia
Tak payah dicari penyebab luluhnya jalan di sini. Sebuah
perusahaan Fa. Asia yang memiliki konsesi hutan di sebelah Desa
Bukit Hagu adalah sebagai biangnya. Truk gandengan beroda
sepuluh milik perusahaan perkayuan itu seenaknya melewati jalan
ke proyek. Pemakaian jalan proyek ini memang telah diprotes.
Tapi kurang mempan. Pernah ada jalan keluar mengatasi hal ini.
Yaitu Fa. Asia diharuskan memperbaiki sarana lalulintas ini.
"Perbaikan telah dilaksanakan, tapi keadaannya semakin parah,"
kata Kasnadi.
Hingga hari akhir bulan Juli lalu penduduk Bukit Hagu masih
utuh. Arealnya seluas 16.125 ha sebagian belum digarap. Tiap
kepala keluarga di sini memiliki 3 ha tanah. Satu hektar
diterima bersih sedang dua hektarnya lagi tanah dengan hutan
tebang. Basyori yang penghuni unit I mengatakan, bila hidupnya
masih tetap begini ia akan cari kerja lain saja. Ditudingnya
beberapa rekannya di petak II yang bekerja di Proyek LNG Arun
sebagai buruh kasar dengan berpenghasilan jauh lebih tinggi.
Penghuni desa ini selalu tergiur setiap kali ada kesempatan
bekerja di LNG Arun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini