Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Janji untuk sebuah desa

Penduduk desa transmigran bukit hagu, masih terisolir. janji pemerintah untuk memperbaiki jalan, dan segera akan membuka trayek bus lokal, dll. ke sana belum ada realisasinya.

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKIT Hagu, sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Aceh Utara. Berjiran dengan lokasi LNG Arun. Tak berapa jauh pula dari pabrik gula Cot Girek. Dari kota kecamatan Lhok Sukon berjarak 20 km. Dari perkampungan Cot Girek sendiri masih 12 km. Penghuni desa ini 802 kepala keluarga, dengan jumlah jiwa 3794. Angka ini merupakan jumlah terakhir setelah 7 kk tersedot mencari nafkah di Kota Lhok Seumawe. Desa Bukit Hagu dirancang tahun 1974, dengan alasan sehagai basis tenaga kerja bagi pabrik gula Cot Girek. Dimulai ketika Pak Harto, selepas menziarahi pabrik gula yang hampir sekarat itu, membisikkan pada Gubernur Muzakkir Walad (waktu itu). agar mencari lokasi untuk memindahkan penduduk dari Jawa untuk dijadikan tenaga bagi menyelamatkan Cot Girek dari kekurangan bahan baku. Dengan bertanaun tebu. Muzakkir cepat bertindak. Segera ia memerintahkan stafnya mencari sebuah tempat bagi pemukiman transmigrasi itu. Ternyata pemilihan lokasi ini menjadi bahan pergunjingan di kemudian hari. Letaknya tidak pada lintasan jalan raya menjadikan desa transmigrasi Bukit Hagu terisolir. Drs Kasnadi YS, Kanwil transmigrasi Propinsi Aceh, mengakui ketidakjelian tim survey melirik tempat. Semula ia tercengang menerima proyek ini dari pendahulunya. Tapi tak ada jalan lain untuk menggesernya. Karena di sana telah menderu traktor dan sebagian rumah telah dipajang. Ismail Husein dari Kadit Pemerintahan Aceh mengakui pula kesalahan ini. Namun ia mengelak, dulunya tak ada suatu pola yang jelas. Pokoknya terima saja dulu nanti behitung, katanya. Tahun 1976 desa Bukit Hagu mulai dihuni oleh transmigrasi asal Lumajang. Tahap pertama 300 kk ditempatkan. Melihat medan pemukimannya, sebagian mereka sempat ambil ancang-ancang untuk mudik lagi ke daerah asal. Tapi niat ini urung karena ada janji dari pemerintah untuk menampung keluhan mereka. "Janjinya, badan jalan ke desa transmigrasi akan dimuluskan, trayek bis lokal akan dibuka, ke tempat kerja di Cot Girek mereka akan dijemput dan gaji sebagai buruh harian di pabrik gula agak menggiurkan," kata Ngadimin, salah serang penghuni desa ini. Tak ada alasan untuk mengelak pada waktu itu. Tapi janji itu kini berada di awang-awang. Ngadiman berangkat ke tempat kerja sejauh 8 km harus dengan jalan kaki. Begitu pula bila mau belanja di pasar Lhok Sukon yang terletak 20 km. Sehingga bila di pabrik dapat libur, waktu habis untuk mencapai pasar. "Kalau bawaannya ikan, sampai di rumah sudah lembek, mas," tutur Basyori penghuni lain . Untung saja para transmigrasi ini mendapat upah dari pabrik. Bila tidak lokasi ini tentu sudah cerai berai. Dari tanaman padi gegalah para transmigrasi hanya mendapat hasil 800 kg/ha. Dan palawija bila pun ada, bukan main sulit untuk memasarkannya. Pekerjaan di perkebunan tebu mengundang pula para pekerja wanita dan anak. Ini berarti pendapatan para keluarga transmigrasi bisa lebih baik. Keluarga Basyori umpamanya, dengan menjual tiga tenaga bisa berpenghasilan Rp 1.500 sehari berikut sekali makan. Masih dalam cerita bab sarana angkutan. Di tahun 1977 datang Sesdalopbang Solichin GP ke Bukit Hagu. Sewaktu akan pulang ia meninggalkan janji akan memberi dua buah bis bagi para transmigrasi. Bis ini khusus menjalani trayek Lhok Sukon - Bukit Hagu. Tapi lagi-lagi janji ini hilang ditelan waktu. Dari Kasnadi YS datang ide bagus. Sebuah usaha angkutan "Pelita" yang berdomisili di Lhok Seumawe diizinkan membuka trayek ke proyek transmigrasi, tapi usaha inipun ternyata tidak jalan. Buruknya sarana jalan mengakibatkan Pelita cuma bisa bertahan 1 bulan. Fa. Asia Tak payah dicari penyebab luluhnya jalan di sini. Sebuah perusahaan Fa. Asia yang memiliki konsesi hutan di sebelah Desa Bukit Hagu adalah sebagai biangnya. Truk gandengan beroda sepuluh milik perusahaan perkayuan itu seenaknya melewati jalan ke proyek. Pemakaian jalan proyek ini memang telah diprotes. Tapi kurang mempan. Pernah ada jalan keluar mengatasi hal ini. Yaitu Fa. Asia diharuskan memperbaiki sarana lalulintas ini. "Perbaikan telah dilaksanakan, tapi keadaannya semakin parah," kata Kasnadi. Hingga hari akhir bulan Juli lalu penduduk Bukit Hagu masih utuh. Arealnya seluas 16.125 ha sebagian belum digarap. Tiap kepala keluarga di sini memiliki 3 ha tanah. Satu hektar diterima bersih sedang dua hektarnya lagi tanah dengan hutan tebang. Basyori yang penghuni unit I mengatakan, bila hidupnya masih tetap begini ia akan cari kerja lain saja. Ditudingnya beberapa rekannya di petak II yang bekerja di Proyek LNG Arun sebagai buruh kasar dengan berpenghasilan jauh lebih tinggi. Penghuni desa ini selalu tergiur setiap kali ada kesempatan bekerja di LNG Arun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus