MENGADAKAN analogi selalu ada bahayanya. Kita bisa terlanjur
menyama-sebangun-kan dua hal yang kita bandingkan. Tetapi
analogi, usaha memperbandingkan dan mencari kesamaan itu, ada
juga fungsinya.
Demikianlah, dengan analogi kita sesungguhnya dapat pula
memperpendek proses pengenalan yang dilakukan terhadap sasaran
yang dihadapi. Sebab dalam mengadakannya, biasanya kita lebih
mengenal yang satu daripada yang lain atau, bisa juga, kita
lebih kurang peka terhadap yang satu itu.
Secara sosiologis, ia bisa mempertajam analisa. Dari sudut
sejarah, analogi mempermudah kita untuk mendapatkan
kebijaksanaan dari peristiwa di kelampauan.
Dengan menyadari patokan ini barangkali tak ada salahnya kita
mencoba sekali-kali melihat ke belakang. Antara masa awal
kolonialisme modern di negeri yang kemudian akan bernama
Indonesia ini dengan periode "Demokrasi Terpimpin", bisa
diletakkan daiam kerangka analogi.
Bukan pada sistim politik, ekonomi, atau, lebih bukan lagi, pada
sumber dan ideologi dari pemangku kekuasaan. Tetapi kedua
episode dari sejarah kita itu bisa dibandingkan pada situasi
kultural-politik. Dalam lapangan ini keduanya memperlihatkan
irama, bukan peristiwa, yang hampir bersamaan.
Bermula dari terpakunya kalangan atas politik mencari kerangka
penglihatan atas rLalitas, kemudian berakhir dengan kebangkrutan
kerangka tersebut. Ketika realitas bertambah keras, maka
keharusan subjektif yang dikenakan kepadanya tak bisa lagi
berfungsi. Sehingga konflik yang keraspun terjadi -- suatu
konllik yang menuju leburnya tata politik yang berlaku.
Dalam kesadaran tradisional kita, fakta, bahwa kerajaan-kerajaan
atau kesatuan politik di Nusantara telah didominasi secara
politik dan militer oleh kekuatan asing adalah sesuatu yang tak
bisa dimengerti. Bagaimana mungkin orang asing akan
mengobrak-abrik dunia lama mereka, yang secara kultural dianggap
sebagai pusat dunia? Lebih dari pada itu penguasa-penguasa
tradisional, yang secara konseptual menganggap diri sebagai
pemegang monopoli dari pengambilan inisiatif, kini telah tak
dimungkinkan lagi mewujudkan pandangan ini dalam kenyataan
politik. Mereka masing-masing, para penguasa tradisional itu,
tak lagi dimungkinkan untuk berbuat sesuai dengan tuntutan dari
fitrahnya sebagai elite pax excellence. Belanda telah bercokol
untuk melihat keterbatasan berlakunya pandangan konseptual ini
dalam kenyataan sosial-politik.
Kegairahan Revolusioner Dan Ketertiban Pemetintahan
Jika hal ini dibiarkan maka terasa bagi mereka dunia kultural
yang dihayati akan lebur. Dengan keleburan ini maka dasar untuk
hidup pun dipertanyakan pula. Tetapi hidup ingin dihayati.
Begitulah jika kenyataan objektif ini terlalu sulit dipaksa
untuk sesuai lagi dengan kerangka konseptual atau paradigma
lama, maka kerangka itulah yang harus direvisi. Babad, tambo,
pepatah dan sebagainya harus ditulis lagi atau setidaknya
tafsiran yang dilekatkan padanya harus disesuaikan. Suatu
suasana intellektual yang bersifat perantara harus diciptakan.
Inilah dunia "schakel", " perantara ", yang lebih terpukau pada
bagaimana harus melihat sesuatu daripada apa sesuatu itu
sesungguhnya. Demikian halnya di Jawa. begitu di Bali dan tak
ubahnya halnya dengan apa yang terjadi di Sumatera. Setidaknya
contoh-contoh yang dikumpulkan oleh seorang
administrator-ilmiawan Belanda (Korn) memperlihatkan usaha
bagaimana "kekuasaan Barat itu" ingin dilihat oleh "pandangan
Timur". Bukanlah riil yang harus dipersoalkan, tetapi definisi
dari apa yang riil itu yang harus dicari dan kala pula
diperjuangkan.
Situasi demokrasi Terpimpin berbeda, tetapi mencari pemecahan
yang sama. Latar belakang munculnya lain: bukan kehancuran
politik lama, tapi yang lebih menonjol ialah kegelisahan dan
ketidaksabaran untuk mencapai apa yang diinginkan. Dan bukanlah
penguasa dan perumusan realitas yang didukung oleh kesahan
tradisional yang melakukan kerja, tetapi pimpinan-pimpinan yang
muncul dari perjuangan kemerdekaan.
Namun kenyataan sosial-ekonomis yang terlalu lama "menyesuaikan"
diri dengan keinginan politik yang telah lama diperjuangkan itu,
menimbulkan kegelisahan yang dirasakan terlalu parah untuk
dibiarkan. Maka, begitulah, kegelisahan yang sama dirasakan itu
harus dihentikan. Ia harus digantikan oleh rasa kepastian akan
kebenaran langkah yang tengah diambil oleh "elite" politik yang
berkuasa: Tak ada yang salah pada kita secara konseptual,
tetapi, memang kita diancam oleh kekuatan luar (sebutlah namanya
"Oldefo" atau apa) dengan segala antek-anteknya. Apapun yang
bersumber dari Pemimpin Besar Revolusi" haruslah benar, karena
ia sejalan dengan "roda sejarah", seirama dengan dinamik
revolusi.
Maka terjelmalah dalam ideologi politik yang disebarkan
perjumbuhan antara kegairahan revolusioner dengan keharusan akan
ketertiban pemerintahan. Sementara itu revolusi mengikuti
dinamiknya sendiri tanpa secara tuntas bisa disentuh oleh
paradigma yang dipaksakan itu.
Seperti halnya dengan sistim kolonial, keterpanaan terhadap
definisi yang dibuat terhadap realitas, tanpa usaha yang lugas
menghadapi kenyataan yang objektif itu, ada batasnya. Keharusan
logis yang dimunculkan oleh realitas di zaman kolonial
menyebabkan paradigma tersebut bukan saja makin tak berfungsi
tetapi, malah, dirasakan sebagai suatu hal yang terkutuk.
Dunia "pura-pura" yang diharuskan ada oleh paradigma tersebut
terbentur keras oleh perkembangan dari realias sendiri.
Dalam situasi kolonial, yang mempunyai sistim politik yang
ketat, maka pilihan lain tak ada selain konflik yang keras. Dan
konflik itu terjadi. Ini saat ketika apa yang disebut
"pencaharian pada kenyataan sesungguhnya" terjadi. Pergerakan
kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan adalah perwujudannya yang
bisa dilihat.
Bismarck, Dan Pengalaman Kita
Begitu di zaman kolonial, tak terlalu berbeda dengan situasi
periode akhir dari "Demokrasi Terpimpin". Antara paradigma, yang
dicoba untuk diwujudkan dalam tindakan politik oleh penguasa,
dengan realitas yang berkembang, terlalu jauh bedanya, malah
makin cenderung bertolak-belakang. Hingga terjadilah krisis yang
hebat.
Baiklah, secara politik peristiwa yang mengawali krisis hebat
itu disebut penghianatan, dan korbannya kita hormati sebagai
"Pahlawan Revolusi". Secara hukum hal ini harus dicela sebagai
pelanggaran yang semestinya dihukum berat. Tetapi, dari sudut
sosiologis, peristiwa yang mengawali dan mengikuti peletusan
G-30-S, memperlihatkan betapa keterpukauan terkerangka
penglihatan dapat melengahkan kita pada dinamik dan realitas
sesungguhnya.
Nyatalah bahwa tanpa selalu adanya dialog yang terus menerus
antara kerangka konseptual dengan realitas yang sesungguhnya,
keterpukauan terhadap kerangka tersebut hanyalah berakibat
penipuan diri belaka.
"Si tolol mengatakan bahwa ia belajar dari pengalaman",
Bismarck, si negarawan yang dengan "darah dan besi" berhasil
mempersatukan Jerman di abad lalu, konon pernah berkata. "Saya,"
katanya lagi "belajar dari pengalaman orang lain." Maksudnya ia
mencari kebijaksanaan dari sejarah. Sejarah kita yang baru lalu
itu, bukan hanya "pengalaman orang lain", tetapi adalah
sesungguhnya masih sangat riil dalam diri kita.
Ketika langkah diayunkan ke depan, kesadaran akan perspektif
hari depan adalah pula sangat diperlukan. Tetapi sekali-kali,
tanpa harus berhenti, pengalaman yang telah jadi bagian dari
diri itu, perlu pula kita suruh berbicara. Tidak untuk apa-apa,
hanya sekedar supaya perspektif kita lebih jelas. Sekedar saja,
tetapi betapa besar sesungguhnya arti dari "sekedar" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini