Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dua kisah dalam analogi

Dari sudut sejarah, analogi memudahkan kita memperoleh kebijaksanaan dari peristiwa yang lalu. awal kolonialisme dengan demokrasi terpimpin diambil sebagai kerangka analogi, terwujud dalam perjuangan kemerdekaan

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGADAKAN analogi selalu ada bahayanya. Kita bisa terlanjur menyama-sebangun-kan dua hal yang kita bandingkan. Tetapi analogi, usaha memperbandingkan dan mencari kesamaan itu, ada juga fungsinya. Demikianlah, dengan analogi kita sesungguhnya dapat pula memperpendek proses pengenalan yang dilakukan terhadap sasaran yang dihadapi. Sebab dalam mengadakannya, biasanya kita lebih mengenal yang satu daripada yang lain atau, bisa juga, kita lebih kurang peka terhadap yang satu itu. Secara sosiologis, ia bisa mempertajam analisa. Dari sudut sejarah, analogi mempermudah kita untuk mendapatkan kebijaksanaan dari peristiwa di kelampauan. Dengan menyadari patokan ini barangkali tak ada salahnya kita mencoba sekali-kali melihat ke belakang. Antara masa awal kolonialisme modern di negeri yang kemudian akan bernama Indonesia ini dengan periode "Demokrasi Terpimpin", bisa diletakkan daiam kerangka analogi. Bukan pada sistim politik, ekonomi, atau, lebih bukan lagi, pada sumber dan ideologi dari pemangku kekuasaan. Tetapi kedua episode dari sejarah kita itu bisa dibandingkan pada situasi kultural-politik. Dalam lapangan ini keduanya memperlihatkan irama, bukan peristiwa, yang hampir bersamaan. Bermula dari terpakunya kalangan atas politik mencari kerangka penglihatan atas rLalitas, kemudian berakhir dengan kebangkrutan kerangka tersebut. Ketika realitas bertambah keras, maka keharusan subjektif yang dikenakan kepadanya tak bisa lagi berfungsi. Sehingga konflik yang keraspun terjadi -- suatu konllik yang menuju leburnya tata politik yang berlaku. Dalam kesadaran tradisional kita, fakta, bahwa kerajaan-kerajaan atau kesatuan politik di Nusantara telah didominasi secara politik dan militer oleh kekuatan asing adalah sesuatu yang tak bisa dimengerti. Bagaimana mungkin orang asing akan mengobrak-abrik dunia lama mereka, yang secara kultural dianggap sebagai pusat dunia? Lebih dari pada itu penguasa-penguasa tradisional, yang secara konseptual menganggap diri sebagai pemegang monopoli dari pengambilan inisiatif, kini telah tak dimungkinkan lagi mewujudkan pandangan ini dalam kenyataan politik. Mereka masing-masing, para penguasa tradisional itu, tak lagi dimungkinkan untuk berbuat sesuai dengan tuntutan dari fitrahnya sebagai elite pax excellence. Belanda telah bercokol untuk melihat keterbatasan berlakunya pandangan konseptual ini dalam kenyataan sosial-politik. Kegairahan Revolusioner Dan Ketertiban Pemetintahan Jika hal ini dibiarkan maka terasa bagi mereka dunia kultural yang dihayati akan lebur. Dengan keleburan ini maka dasar untuk hidup pun dipertanyakan pula. Tetapi hidup ingin dihayati. Begitulah jika kenyataan objektif ini terlalu sulit dipaksa untuk sesuai lagi dengan kerangka konseptual atau paradigma lama, maka kerangka itulah yang harus direvisi. Babad, tambo, pepatah dan sebagainya harus ditulis lagi atau setidaknya tafsiran yang dilekatkan padanya harus disesuaikan. Suatu suasana intellektual yang bersifat perantara harus diciptakan. Inilah dunia "schakel", " perantara ", yang lebih terpukau pada bagaimana harus melihat sesuatu daripada apa sesuatu itu sesungguhnya. Demikian halnya di Jawa. begitu di Bali dan tak ubahnya halnya dengan apa yang terjadi di Sumatera. Setidaknya contoh-contoh yang dikumpulkan oleh seorang administrator-ilmiawan Belanda (Korn) memperlihatkan usaha bagaimana "kekuasaan Barat itu" ingin dilihat oleh "pandangan Timur". Bukanlah riil yang harus dipersoalkan, tetapi definisi dari apa yang riil itu yang harus dicari dan kala pula diperjuangkan. Situasi demokrasi Terpimpin berbeda, tetapi mencari pemecahan yang sama. Latar belakang munculnya lain: bukan kehancuran politik lama, tapi yang lebih menonjol ialah kegelisahan dan ketidaksabaran untuk mencapai apa yang diinginkan. Dan bukanlah penguasa dan perumusan realitas yang didukung oleh kesahan tradisional yang melakukan kerja, tetapi pimpinan-pimpinan yang muncul dari perjuangan kemerdekaan. Namun kenyataan sosial-ekonomis yang terlalu lama "menyesuaikan" diri dengan keinginan politik yang telah lama diperjuangkan itu, menimbulkan kegelisahan yang dirasakan terlalu parah untuk dibiarkan. Maka, begitulah, kegelisahan yang sama dirasakan itu harus dihentikan. Ia harus digantikan oleh rasa kepastian akan kebenaran langkah yang tengah diambil oleh "elite" politik yang berkuasa: Tak ada yang salah pada kita secara konseptual, tetapi, memang kita diancam oleh kekuatan luar (sebutlah namanya "Oldefo" atau apa) dengan segala antek-anteknya. Apapun yang bersumber dari Pemimpin Besar Revolusi" haruslah benar, karena ia sejalan dengan "roda sejarah", seirama dengan dinamik revolusi. Maka terjelmalah dalam ideologi politik yang disebarkan perjumbuhan antara kegairahan revolusioner dengan keharusan akan ketertiban pemerintahan. Sementara itu revolusi mengikuti dinamiknya sendiri tanpa secara tuntas bisa disentuh oleh paradigma yang dipaksakan itu. Seperti halnya dengan sistim kolonial, keterpanaan terhadap definisi yang dibuat terhadap realitas, tanpa usaha yang lugas menghadapi kenyataan yang objektif itu, ada batasnya. Keharusan logis yang dimunculkan oleh realitas di zaman kolonial menyebabkan paradigma tersebut bukan saja makin tak berfungsi tetapi, malah, dirasakan sebagai suatu hal yang terkutuk. Dunia "pura-pura" yang diharuskan ada oleh paradigma tersebut terbentur keras oleh perkembangan dari realias sendiri. Dalam situasi kolonial, yang mempunyai sistim politik yang ketat, maka pilihan lain tak ada selain konflik yang keras. Dan konflik itu terjadi. Ini saat ketika apa yang disebut "pencaharian pada kenyataan sesungguhnya" terjadi. Pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan adalah perwujudannya yang bisa dilihat. Bismarck, Dan Pengalaman Kita Begitu di zaman kolonial, tak terlalu berbeda dengan situasi periode akhir dari "Demokrasi Terpimpin". Antara paradigma, yang dicoba untuk diwujudkan dalam tindakan politik oleh penguasa, dengan realitas yang berkembang, terlalu jauh bedanya, malah makin cenderung bertolak-belakang. Hingga terjadilah krisis yang hebat. Baiklah, secara politik peristiwa yang mengawali krisis hebat itu disebut penghianatan, dan korbannya kita hormati sebagai "Pahlawan Revolusi". Secara hukum hal ini harus dicela sebagai pelanggaran yang semestinya dihukum berat. Tetapi, dari sudut sosiologis, peristiwa yang mengawali dan mengikuti peletusan G-30-S, memperlihatkan betapa keterpukauan terkerangka penglihatan dapat melengahkan kita pada dinamik dan realitas sesungguhnya. Nyatalah bahwa tanpa selalu adanya dialog yang terus menerus antara kerangka konseptual dengan realitas yang sesungguhnya, keterpukauan terhadap kerangka tersebut hanyalah berakibat penipuan diri belaka. "Si tolol mengatakan bahwa ia belajar dari pengalaman", Bismarck, si negarawan yang dengan "darah dan besi" berhasil mempersatukan Jerman di abad lalu, konon pernah berkata. "Saya," katanya lagi "belajar dari pengalaman orang lain." Maksudnya ia mencari kebijaksanaan dari sejarah. Sejarah kita yang baru lalu itu, bukan hanya "pengalaman orang lain", tetapi adalah sesungguhnya masih sangat riil dalam diri kita. Ketika langkah diayunkan ke depan, kesadaran akan perspektif hari depan adalah pula sangat diperlukan. Tetapi sekali-kali, tanpa harus berhenti, pengalaman yang telah jadi bagian dari diri itu, perlu pula kita suruh berbicara. Tidak untuk apa-apa, hanya sekedar supaya perspektif kita lebih jelas. Sekedar saja, tetapi betapa besar sesungguhnya arti dari "sekedar" itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus