PEMUDA kurus tinggi itu duduk setengah mengantuk di tepi Kali
Sibelis, 3 km di utara Kota Tegal, Jawa Tengah. Siang itu,
tubuhnya dinaungi sebuah kemah darurat beratap plastik. Di
dekatnya tergeletak peralatan memasak, kompor gas yang dipompa,
dua panci, dua tong kecil berisi air bersih, dan beberapa botol
berisi minuman. Dengan celana panjang yang lusuh, pemuda itu
terkadang keluar dari kemah dan melihat sekeliling sungai.
Samsudin, 22 tahun, bukan seorang pramuka. Ia penggembala bebek.
Bahkan lebih tepat disebut juragan bebek. Ia mempunyai lima
tenaga upahan untuk mengawasi sekitar 1.000 ekor bebek
gembalaannya.
Mengaku tak sempat menamatkan sekolah dasar, Samsudin mulai
menggiring bebek sejak 1980. Pada mulanya, ayahnya, Dalawan,
yang sudah jadi penggembala bebek sejak 1970, memberi modal 100
ekor bebek. Dengan modal itu, anak kedua dari sepuluh bersaudara
ini berkelana menggembalakan bebek dari desa ke desa di sekitar
Kecamatan Sumur Panggang, Tegal.
Tidak setiap sawah bisa digembalai bebek, apalagi kalau padinya
belum dipanen. "Bahkan setelah sawah dipanen, saya harus minta
ijin dulu apa boleh membawa bebek ke sana," tutur Samsudin.
Kalau diijinkan, tentu saja ia beruntung banyak. "Biaya
pemeliharaan tak ada sama sekali, bebek kenyang, dengan
butir-butir padi sisa panen," ujarnya.
Seratus bebek sebagai modal utamanya, setelah musim panen bisa
menghasilkan telur rata-rata 80 butir sehari. Sementara itu,
pedagang telur sudah siap menampungnya. Tahun 1980-an, Samsudin
ingat benar, harga telur bebek Rp 80 sebutir, sehingga
penghasilan kotor sehari Rp 6.400. "Jika tidak menemukan sawah
yang baru selesai dipanen, saya harus membeli makanan ternak,"
katanya. Berarti, sehari menghabiskan Rp 1.500 untuk 10 kg
bekatul berikut 2 kg konsentrat. Keuntungan bersih Rp 4.900
sehari ia belikan bebek yang siap bertelur seharga Rp 2.000
seekor -- sisanya untuk biaya makan dan tabungan. "Sekarang,
saya sudah punya seribu ekor lebih bebek dengan lima
penggembala," kata Samsudin datar.
Pemuda desa ini tampaknya sudah menguasai "manajemen
perbebekan". Tidak seperti penggembala kebanyakan yang puas
dengan sekitar 100 bebek dan mondar-mandir di sekitar
pekarangannya saja, Samsudin sudah melangkah jauh. Setelah
berhasil menambah gembalaannya berikut beberapa asisten,
sebagai manajer ia selalu berkeliling mengadakan "penelitian":
mencari areal sawah yang baru selesai dipanen. Tidak lagi
terbatas di wilayah legal, tapi sudah menjangkau Kabupaten
Brebes. Jika daerah itu ditemukan, seluruh bebeknya ia angkut
dengan truk menuju daerah sasaran. Dengan anak buahnya, mereka
mendirikan kemah darurat lengkap dengan peralatan memasak --
selama seminggu. "Hanya lauk yang tidak kami bawa dan kami tidak
membeli, " katanya. "Cukup merebus telur bebek."
Ketika ditemui minggu lalu, Samsudin sedang berkemah di pinggir
Kali Sibelis, 3 km dari desanya, Sutongan Lor, Tegal. Ia menyewa
tanah seluas 10 x 50 meter di tepi sungai itu untuk delapan buah
kandang bebek darurat yang terbuat darl pagar anyaman bambu
beralas jerami, dan beratap plastik. "Sewa tempat ini dua puluh
empat butir telur setiap minggu dalam waktu tak terbatas,"
ujarnya. Artinya, pemilik tanah tak akan mengusir penggembala
itu sepanjang Samsudin masih menyukai daerah itu. Meskipun musim
panen di sana sudah lama berlalu, Samsudin belum berniat pindah
karena di tempat itu ia dapat menggembalakan bebek-bebeknya di
sungai. "Tentu saja tak perlu menyewa sungai, 'kan pemiliknya
tidak ada," katanya tanpa nada melucu.
Berapa penghasilannya sekarang? "Hitung saja, setiap hari seribu
bebek itu bertelur sekitar 800 butir -- harga telur sekarang Rp
100," katanya lagi. Penghasilan kotor sekitar Rp 80.000 sehari.
Dipotong biaya makanan bebek, menurut Samsudin, keuntungan tak
mencapai Rp 10.000 sehari. Sementara itu, biaya makan
penggembala dan dirinya sehari sekitar Rp 2.000 -- karena tak
perlu membeli lauk lagi. "Gaji penggembala yang membantu saya
itu paling tinggi Rp 10.000 sebulan. Suharto itu gajinya baru Rp
8.000 karena ia belum ahli," kata Samsudin menunjuk seorang
lelaki. Juragan bebek itu mengangguk ketika disebutkan
penghasilan bersihnya sehari lebih dari Rp 50.000. Berarti,
pemuda desa ini mengantungi hasil Rp 1,5 juta sebulan.
Otak Samsudin terus berputar. Kini ia merintis adanya telur
bibit -- artinya yang bisa ditetaskan. Untuk itu, ia sudah
menyiapkan 20 bebek pejantan unggul. Sementara itu, dua anak
buahnya, Suwarso dan Suharto, mulai dididik menjadi penggembala
yang mandiri.
"Saya pasti mengikuti jejak Samsudin, pekerjaan ini tak sulit,"
kata Suwarso, 19 tahun, yang dipandang Samsudin ahli, karena ia
bisa mengetahui dengan persis jenis kelamin bebek sejak berusia
sehari. "Pencet dubur bebek itu. Jika di dalamnya kelihatan
warna putih, bebek itu jantan, jika kelihatan merah berarti
betina," kata Suwarso. Karena keahliannya itu, Samsudin
menggajinya Rp 10.000 sebulan.
Samsudin barangkali contoh pengembala bebek yang sukses dan
belum terkena sial. Artinya, bebeknya belum pernah kena
penyakit. Berlainan dengan Uju, penggembala bebek dari Kampung
Babakan Penghulu Desa Cisarante, Kecamatan Buahbatu, Kabupaten
Bandung. Penggembala itik sejak 1950 ini pernah memelihara 2.000
ekor bebek dengan menggaji enam orang pembantu. Tiba-tiba saja
bebeknya terserang penyakit lumpuh dan tak ada obat untuk
menyembuhkan penyakit itu. "Bebek terpaksa disembelih,"
tuturnya. Menurut Uju, penyakit lumpuh itu disebabkan bebeknya
makan bangkai belut dan kodok yang kena racun.
Walau begitu, sisa bebeknya masih cukup besar, sekitar 1.000
ekor di tahun 1980. Setiap hari bisa bertelur rata-rata 700
butir. Bebek biasanya selama tiga bulan terus bertelur, kemudian
istirahat sebulan dan selanjutnya bertelur lagi. Bebek Uju
termasuk itik unggul dari Ciawi yang terkenal bertubuh dan
bertelur besar. Seperti Samsudin, "daerah penggembalaan saya
berpindah-pindah. Hampir seluruh Jawa Barat pernah saya
kelilingi," kata ayah sembilan anak ini.
Perlengkapan kemah yang dibawa Uju dan enam penggembalanya
termasuk komplet: kelamhu, tikar, peralatan masak, dan lampu
petromak. Ia tak membawa tenda. "Kemah saya buat dari jerami,
tidur di bangunan jerami lebih hangat," katanya. Sedang untuk
hiburan, ia membawa radio.
Dalam sebulan Uju hanya berkumpul dengan anak dan istrinya
paling lama dua atau tiga hari. Tentu saja setiap pulang ia
membawa uang hasil penjualan telur di daerah penggembalaan.
Istrinya di kampung mengelola uang itu untuk membangun rumah
gedung. "Dari bebek ini saya juga membeli dua hektar sawah di
pinggir jalan Soekarno Hatta, Bandung," katanya. Jika
bebek-bebeknya sedang dalam masa produktif, penghasilannya bisa
mencapai sekitar Rp 1 juta per bulan.
Tapi satu tragedi datang, Uju secara tiba-tiba memutuskan
berhenti mengembara. Seorang anaknya, berusia 6 tahun, tewas
ditabrak mobil di kampungnya. Kecelakaan ini terjadi ketika Uju
berada di daerah pengembaraan di sekitar Karawang. "Setelah
peristiwa itu saya sadar, tujuan orang mencari rezeki adalah
untuk kebahagiaan keluarga. Kalau siang malam mencari rezeki
semenatara anak istri dibiarkan sendiri, 'kan bisa hancur," ujar
Uju mengenang tragedi dua tahun yang lalu itu. Akhirnya, ia
memutuskan hanya memelihara bebek secukupnya. Bisa digembalakan
sendiri dan cukup dibawa ke sekitar kampungnya. "hanya tujuh
puluh ekor saja, pokoknya bisa memenuhi kebutuhan
keluarga,"katanya. Namun, tabungan di masa jayanya masih
lumayan," tahun depan saya berniat naik haji," katanya.
Penggembala bebek di Desa Pancasan, Ajibarang, Banyumas, Jawa
Tengah, umumnya terdiri dari pemuda desa yang gemar bertualang.
Di desa ini ada 19 penggembala muda yang masing-masing memiliki
rata-rata 150 ekor bebek. "Lebih enak memelihara bebek ketimbang
jadi buruh bangunan," kata Akhmad Rosidin, drop out sekolah
teknik yang pernah lima tahun menjadi buruh bangunan di Jakarta.
Dengan 140 ekor bebek, Rosidin mengembara ke berbagai tempat di
Jawa Tengah, bahkan sampai menembus Ciamis, Jawa Barat. "Sebelum
berangkat, kami mengadakan penelitian. Soalnya, pernah rombongan
sudah siap menurunkan bebek dari truk, ternyata areal sawah itu
tak boleh digembalai bebek," katanya. Karena mereka mengembara
paling tidak berlima, penelitian ke suatu tempat cukup mengutus
seorang dari mereka. "Sebulan terkumpul sekitar Rp 300.000.
Lumayan dibandingkan ketika masih jadi kuli bangunan di
Jakarta," kata Rosidin sambil tertawa.
Sariono, 43 tahun, penggembala dari Desa Sedati, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, bersama sepuluh penggembala lainnya, sudah
menjelajahi hampir semua wllayah di Jawa Timur -- dari
Banyuwangi di ujung timur sampai Tulungagung di bagian barat.
Selain membawa 150 bebek peliharaannya, Sariono juga membawa
istri dan anak-anaknya yang belum sekolah. Ia mengaku setiap
kali menggembala di suatu daerah, "sebagai imbalannya kami
memberi telur pada petinggi desa dan pemilik sawah itu." Sariono
mengungkapkan, penghasilan bersihnya, setelah dipotong biaya
transpor dan makan, sekitar Rp 120.000 sebulan. "Saya bisa
membangun rumah dan membeli beberapa bengkok sawah, sisanya
ditabung untuk biaya anak sekolah," kata ayah empat anak ini
yang sudah menggembalakan bebek sejak 1970 ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini