Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengembara dari sawah ke sawah

Pengembalaan bebek yang bisa menghasilkan uang dari penjualan telornya. (pan)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMUDA kurus tinggi itu duduk setengah mengantuk di tepi Kali Sibelis, 3 km di utara Kota Tegal, Jawa Tengah. Siang itu, tubuhnya dinaungi sebuah kemah darurat beratap plastik. Di dekatnya tergeletak peralatan memasak, kompor gas yang dipompa, dua panci, dua tong kecil berisi air bersih, dan beberapa botol berisi minuman. Dengan celana panjang yang lusuh, pemuda itu terkadang keluar dari kemah dan melihat sekeliling sungai. Samsudin, 22 tahun, bukan seorang pramuka. Ia penggembala bebek. Bahkan lebih tepat disebut juragan bebek. Ia mempunyai lima tenaga upahan untuk mengawasi sekitar 1.000 ekor bebek gembalaannya. Mengaku tak sempat menamatkan sekolah dasar, Samsudin mulai menggiring bebek sejak 1980. Pada mulanya, ayahnya, Dalawan, yang sudah jadi penggembala bebek sejak 1970, memberi modal 100 ekor bebek. Dengan modal itu, anak kedua dari sepuluh bersaudara ini berkelana menggembalakan bebek dari desa ke desa di sekitar Kecamatan Sumur Panggang, Tegal. Tidak setiap sawah bisa digembalai bebek, apalagi kalau padinya belum dipanen. "Bahkan setelah sawah dipanen, saya harus minta ijin dulu apa boleh membawa bebek ke sana," tutur Samsudin. Kalau diijinkan, tentu saja ia beruntung banyak. "Biaya pemeliharaan tak ada sama sekali, bebek kenyang, dengan butir-butir padi sisa panen," ujarnya. Seratus bebek sebagai modal utamanya, setelah musim panen bisa menghasilkan telur rata-rata 80 butir sehari. Sementara itu, pedagang telur sudah siap menampungnya. Tahun 1980-an, Samsudin ingat benar, harga telur bebek Rp 80 sebutir, sehingga penghasilan kotor sehari Rp 6.400. "Jika tidak menemukan sawah yang baru selesai dipanen, saya harus membeli makanan ternak," katanya. Berarti, sehari menghabiskan Rp 1.500 untuk 10 kg bekatul berikut 2 kg konsentrat. Keuntungan bersih Rp 4.900 sehari ia belikan bebek yang siap bertelur seharga Rp 2.000 seekor -- sisanya untuk biaya makan dan tabungan. "Sekarang, saya sudah punya seribu ekor lebih bebek dengan lima penggembala," kata Samsudin datar. Pemuda desa ini tampaknya sudah menguasai "manajemen perbebekan". Tidak seperti penggembala kebanyakan yang puas dengan sekitar 100 bebek dan mondar-mandir di sekitar pekarangannya saja, Samsudin sudah melangkah jauh. Setelah berhasil menambah gembalaannya berikut beberapa asisten, sebagai manajer ia selalu berkeliling mengadakan "penelitian": mencari areal sawah yang baru selesai dipanen. Tidak lagi terbatas di wilayah legal, tapi sudah menjangkau Kabupaten Brebes. Jika daerah itu ditemukan, seluruh bebeknya ia angkut dengan truk menuju daerah sasaran. Dengan anak buahnya, mereka mendirikan kemah darurat lengkap dengan peralatan memasak -- selama seminggu. "Hanya lauk yang tidak kami bawa dan kami tidak membeli, " katanya. "Cukup merebus telur bebek." Ketika ditemui minggu lalu, Samsudin sedang berkemah di pinggir Kali Sibelis, 3 km dari desanya, Sutongan Lor, Tegal. Ia menyewa tanah seluas 10 x 50 meter di tepi sungai itu untuk delapan buah kandang bebek darurat yang terbuat darl pagar anyaman bambu beralas jerami, dan beratap plastik. "Sewa tempat ini dua puluh empat butir telur setiap minggu dalam waktu tak terbatas," ujarnya. Artinya, pemilik tanah tak akan mengusir penggembala itu sepanjang Samsudin masih menyukai daerah itu. Meskipun musim panen di sana sudah lama berlalu, Samsudin belum berniat pindah karena di tempat itu ia dapat menggembalakan bebek-bebeknya di sungai. "Tentu saja tak perlu menyewa sungai, 'kan pemiliknya tidak ada," katanya tanpa nada melucu. Berapa penghasilannya sekarang? "Hitung saja, setiap hari seribu bebek itu bertelur sekitar 800 butir -- harga telur sekarang Rp 100," katanya lagi. Penghasilan kotor sekitar Rp 80.000 sehari. Dipotong biaya makanan bebek, menurut Samsudin, keuntungan tak mencapai Rp 10.000 sehari. Sementara itu, biaya makan penggembala dan dirinya sehari sekitar Rp 2.000 -- karena tak perlu membeli lauk lagi. "Gaji penggembala yang membantu saya itu paling tinggi Rp 10.000 sebulan. Suharto itu gajinya baru Rp 8.000 karena ia belum ahli," kata Samsudin menunjuk seorang lelaki. Juragan bebek itu mengangguk ketika disebutkan penghasilan bersihnya sehari lebih dari Rp 50.000. Berarti, pemuda desa ini mengantungi hasil Rp 1,5 juta sebulan. Otak Samsudin terus berputar. Kini ia merintis adanya telur bibit -- artinya yang bisa ditetaskan. Untuk itu, ia sudah menyiapkan 20 bebek pejantan unggul. Sementara itu, dua anak buahnya, Suwarso dan Suharto, mulai dididik menjadi penggembala yang mandiri. "Saya pasti mengikuti jejak Samsudin, pekerjaan ini tak sulit," kata Suwarso, 19 tahun, yang dipandang Samsudin ahli, karena ia bisa mengetahui dengan persis jenis kelamin bebek sejak berusia sehari. "Pencet dubur bebek itu. Jika di dalamnya kelihatan warna putih, bebek itu jantan, jika kelihatan merah berarti betina," kata Suwarso. Karena keahliannya itu, Samsudin menggajinya Rp 10.000 sebulan. Samsudin barangkali contoh pengembala bebek yang sukses dan belum terkena sial. Artinya, bebeknya belum pernah kena penyakit. Berlainan dengan Uju, penggembala bebek dari Kampung Babakan Penghulu Desa Cisarante, Kecamatan Buahbatu, Kabupaten Bandung. Penggembala itik sejak 1950 ini pernah memelihara 2.000 ekor bebek dengan menggaji enam orang pembantu. Tiba-tiba saja bebeknya terserang penyakit lumpuh dan tak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu. "Bebek terpaksa disembelih," tuturnya. Menurut Uju, penyakit lumpuh itu disebabkan bebeknya makan bangkai belut dan kodok yang kena racun. Walau begitu, sisa bebeknya masih cukup besar, sekitar 1.000 ekor di tahun 1980. Setiap hari bisa bertelur rata-rata 700 butir. Bebek biasanya selama tiga bulan terus bertelur, kemudian istirahat sebulan dan selanjutnya bertelur lagi. Bebek Uju termasuk itik unggul dari Ciawi yang terkenal bertubuh dan bertelur besar. Seperti Samsudin, "daerah penggembalaan saya berpindah-pindah. Hampir seluruh Jawa Barat pernah saya kelilingi," kata ayah sembilan anak ini. Perlengkapan kemah yang dibawa Uju dan enam penggembalanya termasuk komplet: kelamhu, tikar, peralatan masak, dan lampu petromak. Ia tak membawa tenda. "Kemah saya buat dari jerami, tidur di bangunan jerami lebih hangat," katanya. Sedang untuk hiburan, ia membawa radio. Dalam sebulan Uju hanya berkumpul dengan anak dan istrinya paling lama dua atau tiga hari. Tentu saja setiap pulang ia membawa uang hasil penjualan telur di daerah penggembalaan. Istrinya di kampung mengelola uang itu untuk membangun rumah gedung. "Dari bebek ini saya juga membeli dua hektar sawah di pinggir jalan Soekarno Hatta, Bandung," katanya. Jika bebek-bebeknya sedang dalam masa produktif, penghasilannya bisa mencapai sekitar Rp 1 juta per bulan. Tapi satu tragedi datang, Uju secara tiba-tiba memutuskan berhenti mengembara. Seorang anaknya, berusia 6 tahun, tewas ditabrak mobil di kampungnya. Kecelakaan ini terjadi ketika Uju berada di daerah pengembaraan di sekitar Karawang. "Setelah peristiwa itu saya sadar, tujuan orang mencari rezeki adalah untuk kebahagiaan keluarga. Kalau siang malam mencari rezeki semenatara anak istri dibiarkan sendiri, 'kan bisa hancur," ujar Uju mengenang tragedi dua tahun yang lalu itu. Akhirnya, ia memutuskan hanya memelihara bebek secukupnya. Bisa digembalakan sendiri dan cukup dibawa ke sekitar kampungnya. "hanya tujuh puluh ekor saja, pokoknya bisa memenuhi kebutuhan keluarga,"katanya. Namun, tabungan di masa jayanya masih lumayan," tahun depan saya berniat naik haji," katanya. Penggembala bebek di Desa Pancasan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, umumnya terdiri dari pemuda desa yang gemar bertualang. Di desa ini ada 19 penggembala muda yang masing-masing memiliki rata-rata 150 ekor bebek. "Lebih enak memelihara bebek ketimbang jadi buruh bangunan," kata Akhmad Rosidin, drop out sekolah teknik yang pernah lima tahun menjadi buruh bangunan di Jakarta. Dengan 140 ekor bebek, Rosidin mengembara ke berbagai tempat di Jawa Tengah, bahkan sampai menembus Ciamis, Jawa Barat. "Sebelum berangkat, kami mengadakan penelitian. Soalnya, pernah rombongan sudah siap menurunkan bebek dari truk, ternyata areal sawah itu tak boleh digembalai bebek," katanya. Karena mereka mengembara paling tidak berlima, penelitian ke suatu tempat cukup mengutus seorang dari mereka. "Sebulan terkumpul sekitar Rp 300.000. Lumayan dibandingkan ketika masih jadi kuli bangunan di Jakarta," kata Rosidin sambil tertawa. Sariono, 43 tahun, penggembala dari Desa Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, bersama sepuluh penggembala lainnya, sudah menjelajahi hampir semua wllayah di Jawa Timur -- dari Banyuwangi di ujung timur sampai Tulungagung di bagian barat. Selain membawa 150 bebek peliharaannya, Sariono juga membawa istri dan anak-anaknya yang belum sekolah. Ia mengaku setiap kali menggembala di suatu daerah, "sebagai imbalannya kami memberi telur pada petinggi desa dan pemilik sawah itu." Sariono mengungkapkan, penghasilan bersihnya, setelah dipotong biaya transpor dan makan, sekitar Rp 120.000 sebulan. "Saya bisa membangun rumah dan membeli beberapa bengkok sawah, sisanya ditabung untuk biaya anak sekolah," kata ayah empat anak ini yang sudah menggembalakan bebek sejak 1970 ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus