Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEDI Subandi merasa bersyukur. ”Sudah tenang, masalah yang selama ini membebani saya sudah terangkat,” katanya. Dia mengaku tak lagi stres karena sudah terbebas dari sakit dada yang terus menderanya selama dua tahun belakangan.
Untuk pergi atau pulang, warga Jalan Jurang, Bandung, itu harus istirahat 10 menit setelah melalui jalan tanjakan, untuk mengurangi rasa sakitnya. Padahal, untuk melewati gang rumahnya, ada beberapa tanjakan. Maklum saja, karena Dedi tinggal di daerah padat, yang hanya bisa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki.
Karena tak tahan, Dedi, yang bekerja sebagai tenaga keamanan parkir sepeda motor di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, memeriksakan diri ke rumah sakit terdekat. Tiap periksa, Dedi harus merogoh koceknya Rp 40 ribu buat dokter dan Rp 300 ribu untuk menebus obat. Padahal upah yang diterima Dedi sebagai pegawai lepas hanya Rp 300 ribu sebulan. Biayanya memang besar, karena penyakitnya juga tak main-main. Dokter menvonisnya sakit jantung.
Melihat penderitaan Dedi yang tak kunjung berujung, keluarga mendorongnya agar melakukan pemeriksaan tuntas ke Rumah Sakit Hasan Sadikin menggunakan fasilitas untuk orang miskin. Istrinya bergerak cepat mengurus segala surat yang diperlukan, mulai rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, kecamatan, sampai pemerintah daerah.
Akhir Juli lalu tim dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin memeriksa Dedi menyeluruh selama sepekan. Setelah dimasukkan kateter untuk meneropong jantungnya, ternyata kondisinya sudah payah. ”Ketiga pembuluh koronernya menyempit dan tersumbat, jalan satu-satunya operasi bypass,” ujar dokter ahli jantung Achmad Fauzi Yahya.
Dua pekan setelah pemeriksaan komplet, Dedi mulai masuk rumah sakit. Setelah tiga hari menunggu, Dedi masuk ruang operasi. ”Saya lihat ada 15 dokter yang menangani,” katanya kagum. Mulai yang periksa gigi, mata, sampai bagian dalam lainnya. Alhamdulillah, operasi lancar.
Akhir Agustus lalu, dia sudah kembali ke rumahnya yang hanya seukuran 3 x 4 meter. ”Inilah hasilnya,” ujarnya sambil memperlihatkan bekas pembedahan di bagian kaki dan dada yang masih belum mengering kepada Tempo pekan lalu.
Dedi termasuk beruntung, karena bisa melakukan operasi bypass gratis lantaran biayanya ditanggung Jaminan Kesehatan Masyarakat. Padahal uang yang dibutuhkan untuk membayar operasi mencapai Rp 70 juta. ”Untuk obat-obatan lanjutan, seperti obat pengencer darah, diambil dari zakat para dokter di sini,” ujar Fauzi.
Keberuntungan juga datang pada Erna Mulyani, 21 tahun. Berkat penanganan tim poli jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin, kini penjaga toko di Ciparay, Kabupaten Bandung, itu sudah bisa tersenyum. Dua juga sudah bisa lari pagi. Dia tak lagi merasakan nyeri di dada kirinya. Jauh berbeda dengan beberapa bulan lalu. Saat itu ia hanya bisa terkapar jika dada kirinya ngilu tak keruan hingga sulit bernapas.
Riwayat kesehatan Erna ternyata sudah buruk sejak kecil. Itu terlihat dari bentuk dadanya yang menggembung seperti dada burung. Namun, karena hanya anak seorang buruh tani, ia tak bisa berbuat banyak. Selepas sekolah menengah kejuruan di Baleendah, Erna melamar kerja sebagai buruh ke beberapa pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Tapi dia tak diterima dengan alasan kesehatan.
Akhirnya ada sebuah toko yang menerimanya bekerja tanpa tes kesehatan. Nah, dengan uang yang tak seberapa, Erna baru berani memeriksakan diri ke dokter umum. Dokter mendiagnosisnya sakit paru. Namun, setelah minum obat, kesehatan Erna tak juga ada perkembangan. Ini yang mendorongnya memeriksakan diri lebih komprehensif. Akhirnya, setelah dilakukan foto rontgen, ternyata bukan parunya, tapi jantungnyalah yang bermasalah.
Dokter menyuruh Erna melakukan operasi. Namun, bukan perkara mudah, selain takut pada pisau bedah, operasi jantung butuh duit yang tak sedikit, sekitar Rp 58 juta.
Lalu Erna dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Di sana dokter mendeteksinya terkena atrial septal defect, suatu penyakit jantung bawaan yang terjadi karena adanya lubang pada sekat serambi kiri dan kanan jantungnya sehingga membuat jantung jadi membesar.
Sebulan setelah mendaftar, Erna dijadwalkan dioperasi pada 21 Agustus. Tim poli jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin memutuskan mengambil tindakan operasi penutupan sekat jantung. ”Kalau terlambat, sudah, tidak dapat dioperasi,” kata dokter Rama Nursjiwan. Ongkos operasi senilai Rp 54 juta menjadi nol rupiah berkat Jaminan Kesehatan Masyarakat. ”Sekarang sudah lumayan. Lebih fit. Saya bisa segera bekerja lagi,” ujarnya.
Seorang pasien lagi adalah tukang batu—sebut saja bernama Asep—yang terkena serangan jantung. Ketika dokter meminta persetujuannya melakukan intervensi jantung—pemasangan balon dan cincin (stent)—dia hanya diam, tegang. ”Terserah dokter,” katanya singkat. Dokter pun meyakinkan semua tindakan medis benar-benar gratis. Stent dan balon sudah disuplai dari Departemen Kesehatan. Kuli bangunan itu akhirnya setuju.
Asep tak menduga sebelumnya, dapat memperoleh perawatan ”mewah” cuma-cuma. Bila tak menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat, biaya pemasangan stent butuh Rp 30 juta.
Dedi, Erna, dan Asep adalah tiga dari lima penderita jantung yang dioperasi gratis bulan lalu. Menurut Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin Profesor Cissy Kartasasmita, operasi jantung gratis bagi warga miskin memang mulai dilakukan lagi tahun ini. Beberapa tahun lalu sempat ada, tapi terhenti karena keterbatasan tenaga, dana, serta banyaknya peralatan yang rusak. Tahun ini ada beberapa tenaga baru di bagian jantung. Selain itu, rumah sakit mendapat tambahan dana subsidi.
Menurut Cissy, di masa mendatang, rumah sakit yang dipimpinnya akan menjadi beking Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, untuk menangani pasien miskin melakukan operasi jantung. Maklum, Rumah Sakit Harapan Kita mulai kewalahan. ”Apalagi penderita jantung di Jawa Barat termasuk tinggi. Setidaknya sekitar 7.000 orang per tahun,” katanya. Dari angka tersebut, sebagian besar merupakan penderita jantung koroner—penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia. Dengan bantuan intervensi kardiologi, angka kematian penderita mulai dapat ditekan.
Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, setiap warga miskin yang memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat sebenarnya bisa dilayani. ”Semua rumah sakit pemerintah harus melayani, untuk semua penyakit,” katanya kepada Rini Kustiani dari Tempo pekan lalu.
Anggaran yang disediakan pemerintah untuk program ini pada 2008, Rp 4,6 triliun, yang dialokasikan untuk 76,4 juta jiwa. Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Departemen Kesehatan Chalik Masulili menambahkan, 888 rumah sakit umum dan swasta bisa menerima peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat. Besaran dana yang disalurkan untuk peserta program Jaminan Kesehatan ini, 20 persen dari total anggaran Departemen Kesehatan. Dari jumlah itu, hanya dua persen digunakan untuk menangani penyakit yang membutuhkan penanganan serius atau operasi besar.
Ahmad Taufik, Widiarsi Agustina (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo