Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
Tujuh tahun lalu saya mengganti nama belakang saya—yang diambil dari nama depan ayah saya. Awalnya nama belakang saya adalah Tajuddin dengan dua d. Di kemudian hari, saya mengubahnya menjadi Tajudin dengan satu d. Ibu saya protes, karena almarhum ayah saya selalu menulis namanya dengan dua d. Bukan tidak menghormati orang tua jika saya tetap menuliskannya dengan satu d. Toh, di akta kelahiran dan paspor tetap tertulis dengan dua d. Secara de jure nama belakang saya masih Tajuddin.
Perubahan itu saya lakukan karena sebab yang sederhana, banyak orang yang salah mengeja nama saya saat memakai d ganda. Dan itu karena orang Indonesia tidak terbiasa dengan tasydid. Tasydid (berarti penguatan) adalah tanda baca dalam bahasa Arab, yang dipakai untuk menandakan adanya penggabungan dua huruf kembar yang bergandengan. Huruf yang ditasydid harus dibaca dengan tekanan lebih. Ketika kata-kata bertasydid itu masuk dalam bahasa Indonesia, kerap tasydidnya hilang, seperti ummat menjadi umat.
Dalam rubrik ini (Tempo, 8-14 September 2008), Saidiman mempermasalahkan hilangnya salah satu huruf ganda itu. Menurut Saidiman, penghilangan salah satu huruf kembar siam itu dapat mengubah makna. ”Perubahan makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia ini salah satunya disebabkan keengganan mengucapkan huruf-huruf tasydid secara akurat,” demikian ia menulis.
Keberatan Saidiman ini sebenarnya kurang tepat. Ini karena kata-kata bertasydid seperti yang dicontohkan Saidiman—umat dan kuliah—telah terserap ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata ini sudah menjadi milik bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Arab. Pengucapannya pun mengikuti cara orang Indonesia mengucapkannya. Ini adalah soal logat (berasal dari bahasa Arab, lughat, yang berarti bahasa).
Peristiwa ini terjadi di bahasa mana pun, tidak hanya di bahasa Indonesia. Orang Inggris mengucapkan al-kuhli dengan alcohol, manaaraat dengan minaret. Orang Arab mengucapkan Aaron dengan Harun, Petrus dengan Butros. Soal penulisan Muhammad dengan Mohamad seperti yang dipermasalahkan Saidiman, juga hanya soal logat. Orang-orang Arab di Afrika Utara, seperti Mesir, kerap menulis u dengan o. Itulah kenapa nama Umar Syarif dalam kreditasi film-film Hollywood ditulis Omar Sharif.
Ini berbeda dengan kesalahan penulisan Abu Bakar Baasyir oleh situs BBC. Mereka menulisnya dengan Bashir, seperti penguasa Sudan, Omar el-Bashir. Padahal, jelas, itu adalah dua kata yang berbeda. Kesalahan ini terjadi karena hilangnya apostrof atau koma atas. Huruf a kembar pun disangka ditulis karena harus dibaca panjang. Padahal, seharusnya ada jeda di antara dua a.
Di masa lalu, sebelum apostrof dibuang oleh Ejaan yang Disempurnakan, kesalahan baca itu tidak terjadi. Penghilangan itu membuat Jumat kini kerap dibaca tanpa jeda seperti kumat, padahal seharusnya Jum-at. Quran seharusnya dibaca Qur-an, bukan disambung seperti koran.
Penghilangan apostrof juga mengakibatkan perubahan makna. Ta’lim (berarti pengajaran), karena harus ditulis tanpa koma atas, berubah menjadi taklim yang berarti perbincangan. Takjil dan dakwah jadi susah dicari asal katanya dalam bahasa Arab, karena seharusnya ditulis ta’jil dan da’wah.
Tapi apakah itu berarti kita harus mengembalikan apostrof pada setiap kata yang berasal dari bahasa Arab? Tidak juga. Ketika kita memutuskan memakai huruf Latin untuk menuliskan bahasa Indonesia serta menyepakati sejumlah tanda baca, kata serapan mau tak mau harus menyesuaikan diri. Sekali lagi, ini diterapkan di banyak bahasa. Itulah kenapa post dalam bahasa Arab harus berubah menjadi bushthah, karena tak ada huruf p dalam bahasa mereka.
Selain soal tasydid, Saidiman menganggap ada penyimpangan makna dari kata makalah. Menurut dia, makalah berasal dari dua kata bahasa Arab: maa (apa) dan qaala (berkata). Seharusnya, kata dia, untuk artikel—yang ditulis dan bukan dikatakan itu—kata yang tepat adalah maa kataba. Artinya, apa yang ditulis. Tentu saja, ini salah kaprah, karena kata makalah berasal dari maqaalah yang berarti artikel atau esai. Maqaalah adalah satu kata, bukan dari dua kata seperti yang ditulis Saidiman.
Arti awal maqaalah memang diskusi, obrolan, tapi kemudian artinya berubah menjadi artikel. Ini terjadi karena di masa lalu transfer ilmu dilakukan dengan lisan dan dihafal. Ketika ilmu itu ditulis dalam sebuah buku, kata yang dipakai untuk ilmu yang ditransfer tidak berubah, tetap maqaalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo