Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Para Pengejar Keajaiban Suara

Pencinta perangkat audio papan atas kian berkembang mantap. Ada yang serius, ada juga yang sekadar membeli gengsi.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bayangkan Norah Jones bernyanyi spesial untuk Anda. Nona manis ini berdiri begitu dekat. Suaranya mengalun penuh jiwa, lembut, hangat, jernih. Suara yang sanggup membetot seluruh isi benak. ”Come away with me....” Serasa keindahan Mbak Norah hadir cuma untuk Anda.

Memang, kehadiran Norah Jones hanyalah khayalan. Tapi dijamin seratus persen imajinasi ini terasa begitu hidup bila Anda menggunakan perangkat audio papan atas yang lazim disebut high-end atau high-fidelity. Begitu disetel, sinyal suara yang keluar dari peralatan itu langsung menyergap, memanjakan kuping, dan membuat segenap sel kelabu otak bekerja menghadirkan si penyanyi di hadapan mata. Persis seperti menikmati panggung musik live.

Dan itu bukan omong kosong. Pekan lalu, tim TEMPO menjajal perangkat audio premium di butik audio The Reference di Mal Mangga Dua, Jakarta. Pemutar cakram padat (CD) yang digunakan bermerek Rondo, buatan Burmester dari Jerman. Pengeras suaranya Strauss produksi Vienna Acoustics, kampiun produsen audio dari Austria. Kabel listrik penghubung peralatan juga kelas wahid, yakni Nordost, yang terbikin dari tembaga plus perak murni berlapis emas.

Hasilnya? ”Dahsyat,” kata Greene Hartanto, penggemar audio—biasa dijuluki audiofil—yang siang itu mampir di The Reference. Ketika rekaman live BB King diputar, telinga Greene langsung mendeteksi letak alat-alat musik pendukung penampilan penyanyi blues legendaris ini. ”Piano di kiri, bas di kanan, flute di kanan depan,” tuturnya. Ketika lagu Sweet Little Angel memasuki bagian chorus, Greene berkomentar, ”Hmm..., penyanyinya lagi jalan-jalan di panggung, nih.”

Djon Welly, pemilik The Reference, menjelaskan bahwa perangkat audio kelas high-end sepintas terkesan kuno. ”Old-fashioned,” tuturnya. Pada setiap alat paling-paling cuma ada dua kenop, tombol power dan volume. Segalanya serba simpel.

Tapi, yang serba sederhana ini dibuat dengan presisi tinggi sehingga mampu menghadirkan suara yang sangat mirip aslinya. ”Nyaris tak ada kortingan,” ujarnya. Serak di tenggorokan penyanyi, getaran perkusi, gesekan drum, semuanya utuh. Keaslian suara makin sempurna jika kita mendengarnya sambil duduk khidmat di posisi sweet spot, titik paling strategis di antara kedua speaker dan pemutar CD.

Bandingkan dengan kualitas suara perangkat audio kelas low-end, yang harganya di bawah Rp 15 juta. Produk kategori ini ditandai dengan kemasan mengkilap, fancy, banyak kenop, dan berteknologi tinggi. Tape-radio-pemutar CD-amplifier-speaker semuanya dipaket jadi satu. Bagi kuping yang telanjur mencandu musik bermutu, kualitas suara alat ini jauh dari memuaskan. Kabelnya tidak mengalirkan arus listrik yang bersih, speaker-nya tak sanggup menyaring suara, amplifier-nya tidak bertugas dengan baik. ”Suara yang muncul terkorting minimal 50 persen,” kata Djon.

Pasti butuh ongkos mahal untuk mendengarkan musik tanpa kortingan. Para audiofil mesti siap merogoh saku dalam-dalam. Pengeras suara Strauss-Vienna Acoustics, umpamanya, senilai Rp 60 juta. Ini pun masih tergolong moderat karena tidak sedikit loudspeaker yang berharga Rp 200 juta-500 juta. Pemutar cakram CD yang sepenuhnya buatan tangan juga bernilai puluhan sampai ratusan juta rupiah. Belum lagi serangkaian kabel khusus yang mesti ditebus dengan Rp 4 juta sampai Rp 12 juta.

Sammy Lukman, 60-an tahun, warga Jalan Tamim, Bandung, membenarkan bahwa audiofil adalah hobi mahal. Tapi, namanya juga kecintaan, soal mahal-murah tidak relevan. ”Kepuasan mendengar musik indah itu tak ternilai harganya,” katanya. Begitu nada-nada musik yang bermutu menyergap gendang telinga, yang ada hanyalah suasana rileks. Otot-otot yang tegang melemas, sel-sel otak terasa seperti dipijat, hati pun tenteram. Tuturnya: ”Di mana lagi bisa dapat relaksasi ajaib macam begini?”

Sammy yang pedagang ini jatuh cinta pada musik sejak masih kecil. ”Dulu, aki saya sering putar piringan hitam dengan gramofon,” katanya. Musik blues, jazz, keroncong mengguyur batin Sammy. Kebiasaan ini terus terbawa sampai Sammy beranak-pinak. Sammy juga terus berusaha memperbarui perangkat audio miliknya. Biasanya dia membeli barang baru dan melempar koleksi lamanya ke penggemar lain yang berminat. Sayang, Sammy tak mau membeberkan berapa nilai koleksinya yang terus-menerus ia perbarui ini. ”Yang jelas, tidak ternilai,” tuturnya.

Benny Manopo, pemilik butik audio Sydney di Mal Mangga Dua, membenarkan bahwa sebagian besar penggila audio berperilaku serupa Sammy. Maklum, teknologi terus berkembang. Pada sisi lain, telinga si penggemar juga terus menuntut kualitas suara yang makin dan makin bagus. Maka, terciptalah fenomena high-end that never end. Mereka yang sudah punya speaker seharga Rp 15 juta ingin menjajal produk lain seharga Rp 50 juta. Begitu seterusnya. Batasnya cuma luas dan kedalaman kantong.

Sebelum krisis menggebrak, pelanggan Sydney didominasi audiofil kelas menengah (mid-end). Kini, setelah perekonomian lumayan membaik, pelanggan lama ini bergerak menuju kelas hi-end. Umumnya pelanggan ini berasal dari kalangan pengusaha dan eksekutif papan atas. Mantan menteri Bambang Subianto dan Menteri Kwik Kian Gie termasuk nama yang beredar di kalangan audiofil.

Sebenarnya audiofil bukan hanya bersandar pada isi dompet. Ada yang tak kalah penting, yakni kemampuan teknik. Sebagian audiofil, Djon Welly mengkritik, punya uang berlimpah tetapi kurang wawasan. ”Cuma membeli gengsi,” kata Djon. Orang-orang semacam ini tak segan belanja peralatan audio sampai miliaran rupiah. Tapi, lantaran pengetahuan kurang, mereka mengabaikan posisi kabel, kualitas arus listrik, dan setting peralatan. Akibatnya, perangkat supermahal cuma menghasilkan suara yang mutunya tak jauh beda dengan perangkat kelas low-end. Djon menambahkan, ia kerap diundang ke Cirebon, Semarang, Surabaya untuk membenahi perangkat senilai Rp 1 miliar-2 miliar yang gagal memunculkan suara indah.

Sepakat dengan Djon, Sammy menganggap audiofil adalah hobi yang menuntut kreativitas tinggi. Penggila audio mesti inovatif, mampu mengutak-atik dan menaikkan kualitas barang. Dengan eksperimen ini, perangkat puluhan juta bisa menghadirkan suara kelas ratusan juta. ”Ini baru audiofil beneran,” kata Sammy. Para audiofil beneran ini kerap menggelar pertemuan, kongko-kongko sambil bertukar jurus dan gagasan. ”Di Bandung, biasanya kita ngumpul sebulan sekali,” kata Sammy.

Yusuf Sugiri, 30-an tahun, termasuk audiofil yang gemar utak-atik. Warga Jalan Sudirman, Bandung, ini mengakui kantongnya tak cukup kuat untuk memuaskan hobinya. Secara autodidak, Yusuf bereksperimen memperbaiki speaker kelas menengah. Lalu, dengan bantuan komputer, Yusuf merancang crossover. Inilah alat yang berfungsi memisahkan suara berfrekuensi rendah, menengah, dan tinggi dari amplifier menuju speaker.

Utak-atik ala Yusuf cukup berhasil. ”Saya sudah membuktikannya,” kata Greene Hartanto. Dengan bantuan Yusuf, mutu speaker milik Greene yang berharga Rp15 juta kini bisa disejajarkan dengan produk hi-end berharga dua kali lipat. Greene pun berujar, ”Puas rasanya.”

Mardiyah Chamim


Tentang Hi-Fi

Sistem stereo dengan pengeras suara dua kanal, kiri-kanan, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1958. Ketika itu orang masih mendengarkan piringan hitam yang diputar dengan gramofon dan turntable.

Pemisahan suara kiri-kanan ini punya tujuan penting: agar suara manusia dan instrumen musik dari piringan hitam bisa mengisi bidang di tengah. Suara yang dihasilkan pun memiliki perspektif dan kedalaman sehingga bisa menampilkan kesan realistis. Tuntutan reproduksi suara yang bermutu yang bisa dinikmati melalui komponen audio rumah inilah yang kemudian menghasilkan istilah high fidelity (hi-fi).

Dekade 1970 diwarnai kebangkitan industri elektronik Jepang. Sistem audio stereo (kaset, amplifier, turntable) kelas menengah bisa dinikmati masyarakat luas. Tahun 1982, Philips dan Sony meluncurkan musik dalam format CD. Tonggak inilah yang membawa dunia pada era digital. Tapi tak semua orang suka musik digital yang dianggap ”kering”, kurang nuansa. Maka, produsen peralatan audio di Amerika, Eropa membuat perangkat yang bisa menerjemahkan data digital menjadi analog. Semuanya demi menghasilkan suara ori-sinal lagi murni. Perangkat inilah yang kini dikenal dengan istilah high-end yang jadi darling para audiofil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus