Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Perang Troya tanpa Restu Dewa-Dewi

Sebuah perang terpanjang dalam mitologi Yunani diangkat ke layar lebar dengan menggerus banyak peran penting. Hiburan Hollywood dengan jubah Yunani.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TROY
Sutradara: Wolfgang Petersen
Skenario: David Benioff
Pemain: Brad Pitt, Peter O'Toole, Eric Bana, Orlando Bloom
Produksi: Warner Bros

Nun di pucuk Gunung Olympus, para dewa telah menyerukan sebuah perang bernama Troya sejak seribu tahun silam. Imortalitas, kehidupan abadi, telah membuat para dewa memperlakukan manusia di kaki gunung bak mainan yang nasibnya diputarbalikkan seenaknya.

Berdasarkan karya agung Iliad karya Homer, sutradara Wolfgang Peterson kemudian membuat sebuah interpretasi bebas tentang nasib para raja, ratu, dan anak mereka yang akhirnya terjebak dalam sebuah perang berkepanjangan. Mitologi Yunani dalam kultur Barat, seperti juga kisah panjang Mahabarata dan Baratayuda dalam kultur Timur, tentu saja melibatkan rangkaian kisah dalam kisah, dongeng berkepanjangan yang penuh dengan ribuan nama dewa-dewi, raja, ratu, pangeran, dan putri. Penulis skenario David Benioff dan sutradara Petersen harus memilih, menyisir, memotong, dan memangkas habis-habisan berbagai kisah latar belakang sejarah dewa-dewi ini yang membawa kepada perang Troya melawan Sparta.

Akibat "pembersihan" itu, Peterson harus menentukan sikap. Tak seperti film Helen of Troy (pemain: Sienna Guillory), yang bersetia pada cerita asli dan menaburkan semua tokoh, atau Clash of the Titans (Laurence Olivier) yang menampilkan sosok dewa-dewi, Petersen memilih berkisah tentang manusia. Tanpa dewa, tanpa kutukan, tanpa ramalan nasib atau hal-hal mistis lainnya. Semua terjadi sebagai sebab-akibat perbuatan manusia. Syahdan, Raja Priam dari Troya (penyajian agung dan dahsyat dari Peter O'Toole) mengirim kedua putranya, Hector (Eric Bana) dan Paris (Orlando Bloom), untuk menemui Menelaus (Brendan Gleeson) dan kakaknya yang korup, serakah, dan ekspansif, Agamemnon (Brian Cox). Pada saat kunjungan itulah, Paris bersirobok mata dengan wanita tercantik di dunia, Helen, yang ternyata sudah menjadi istri Menelaus. Hasrat dan cinta tak terbendung. Mereka bertaut dan Paris—meski diprotes sang abang, seorang kesatria yang setia kepada keluarganya—membawa lari Helen kembali ke Troya.

Inilah awal dari perang besar itu. Inilah Baratayuda versi Barat yang kemudian menurunkan segala kekuatan, ribuan kapal, dan para kesatria untuk pertempuran yang tak berkesudahan selama sepuluh tahun. Demi harga diri seorang lelaki, Menelaus maju menyerang Troya, dan sang abang dengan gempita mendorongnya dalam peperangan ini karena sudah lama ingin mengangkangi Troya.

Dari sini Peterson sudah meninggalkan Homer begitu jauh. Pertama, tentu dengan menghilangkan seluruh peran dewa dan kisah tiga dewi cantik yang bertemu dengan Paris—dan menganugerahkan Helen kepada Paris—artinya Peterson sudah menghapus masalah "takdir" dewa yang telah menjodohkan sejoli itu (meski secara de facto, Helen sudah menjadi istri Menelaus). Peterson juga sengaja menghilangkan tokoh Cassandra, adik kandung Hector, tokoh mitologi Yunani yang memiliki kemampuan meramal.

Tanpa konteks kutukan, ramalan, dan intrik di antara para dewa, peristiwa larinya Helen ke pelukan Troya menjadi seperti sebuah melodrama berjubah Yunani. Peterson kemudian memfokuskan pada perang besar yang melibatkan 50 ribu tentara yang divisualkan melalui 1.000 orang tentara dengan bantuan teknik CGI komputer, yang membuat layar penuh dengan seluruh perangkat perang yang megah dan dahsyat. Peperangan itu memang riuh-rendah. Tetapi Peterson tidak berhasil membuat sebuah koreografi pertempuran yang filmis.

Perhatian memang lebih difokuskan pada sosok Achilles (Brad Pitt), kesatria, panglima Yunani yang dikenal buas dan berperang bukan untuk negara, bukan untuk membela rakyat, apalagi untuk mengabdi pada Agamemnon yang serakah; melainkan agar namanya bisa dikenang sebagai kesatria pemberani. Kesatria dari Troya adalah Hector, yang meski tak setuju dengan tingkah laku adiknya, toh maju berperang melawan Achilles yang tak terkalahkan. Kedua kesatria ini menjadi fokus utama bukan hanya dalam adegan pertempuran satu lawan satu—yang menjadi adegan duel yang paling dahsyat dibandingkan dengan adegan-adegan kolosal yang klise—tetapi juga bagaimana mereka memperlakukan keluarga dan wanita yang dicintainya.

Harus diakui, meski Achilles lazimnya digambarkan sebagai sosok buas yang tak terkalahkan, gambaran itu luntur karena Petersen memilih seorang pria tampan berambut blonda yang berkali-kali dinobatkan sebagai pria terseksi di planet ini. Dan apa boleh buat, setelah Brad Pitt berkali-kali memilih peran di mana ia terlihat aneh atau buruk agar penonton tak menilai aktingnya ber-dasarkan ketampanan belaka, kali ini Pitt tampil sebagai seorang lelaki macho yang tampan dengan otot-otot yang menghiasi seluruh tangan dan kakinya. (Girls, coba deh tonton adegan telanjangnya di tempat tidur bersama Briseis, wanita cantik penjaga kuil: Wow!).

Meski Brad Pitt terlalu tampan dan "hot" untuk seorang Achilles yang buas, harus diakui, dia tetap meniupkan roh Achilles yang terpenting: sosok arogan, tak terkalahkan, dan sinis. Sesekali, Petersen membumbuinya dengan aroma Hollywood: kesatria ganteng kita ini bisa juga sentimentil. Dia menangis di hadapan jenazah lawannya yang dia bunuh.

Tokoh Helen (Diane Kruger) adalah pilihan cantik tapi kurang memiliki karisma; sementara Paris, pangeran bungsu Kerajaan Troya yang dalam kisah aslinya dibuang sejak kecil oleh sang raja—karena diramalkan akan menyebabkan Troya hancur—tidak tampil sebagai lelaki jantan. "I am a lover, not a fighter," katanya kepada Helen. Dan itu diterjemahkan oleh karakter ini dengan jatuh di kaki Menelaus saat pertarungan dan merangkak mencari perlindungan di kaki sang abang. Mengapa Paris berubah menjadi lelaki yang begitu tolol dan pengecut di tangan sutradara Peterson, hanya rumput di Hollywood yang mafhum.

Hanyalah Raja Priam yang diperankan Peter O'Toole yang tampil dengan majestic, agung penuh harga diri dan kemuliaan. Saksikan bagaimana aktor Inggris kawakan ini ketika menyelinap masuk ke kemah Achilles, mencium kedua tangan musuh, memohon agar jenazah putranya—yang dibunuh dan digelandang Achilles—dikembalikan agar bisa dimakamkan dengan upacara semestinya. "Besok, aku masih musuhmu," kata Achilles yang goyah. "Malam ini pun aku masih musuhmu, tetapi sesama musuh pun bisa saling menghormati." Arogansi Achilles runtuh. Dia terisak-isak di hadapan jenazah Hector yang baru saja dibunuhnya. Ini tentu saja gaya Hollywood, bukan Homer.

Tapi sudahlah. Hollywood jarang sekali bersedia mengeluarkan US$ 175 juta untuk sebuah film yang dibuat dengan jangka waktu yang begitu lama dengan serangkaian pemain terkemuka dengan honor yang mahal. Jadi, untuk hiburan mata (otot dan wajah Brad Pitt), why not?

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus