Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dibelit Urusan Pembebasan

Sebelum ditembak, Jaksa Ferry Silalahi tengah menyiapkan kasasi perkara terorisme. Dia kecewa karena terdakwa dibebaskan.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pemakaman Adiyaksa, Cibinong, Bogor, almarhum Jaksa Ferry Silalahi telah beristirahat dengan tenang. Sang Jaksa, yang ditembak pada Rabu dua pekan lalu, meninggalkan sejumlah perkara yang belum selesai. Salah satunya adalah penanganan perkara terorisme dengan terdakwa Firmansyah alias Iskandar, Aang Hasanuddin, dan Fajri alias Yusuf. Kasus Firmansyah dan kawan-kawan kini menyedot perhatian karena tidak sedikit orang menduga: kematian Ferry berkaitan dengan perkara ini. Diproses dalam berkas terpisah, ketiga terdakwa telah divonis oleh Pengadilan Negeri Palu dengan hukuman masing-masing lima tahun penjara. Mereka lalu mengajukan banding. Tak lama sebelum Ferry ditembak, putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah turun. Isinya? Menyatakan mereka tidak bersalah. Pengadilan tinggi juga memerintahkan agar ketiga terdakwa dibebaskan dari tahanan. Pembebasan itulah yang membuat Ferry kecewa, lalu mengajukan kasasi. Di sisi lain, eksekusi pelepasan Firmansyah dan kawan-kawan dari tahanan juga tertunda, sehingga memancing protes dari para terdakwa. Perkara yang ditangani Ferry memang cukup pelik. Ketiga terdakwa—Firmansyah, Aang, dan Fajri—dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme karena dinilai menyembunyikan Achmad Roichan, yang sedang dicari polisi. Saat itu Roichan menjadi buron lantaran dianggap melindungi Muchlas, seorang pelaku peledakan bom di Bali. Dikejar-kejar oleh polisi, Roichan akhirnya lari ke Palu. Di sana ia tinggal di rumah Firmansyah di Jalan Hayun. Si buron juga kerap bertemu dengan Fajri dan Aang di pengajian. Bahkan Fajri sering memberinya uang dan mengantar Roichan ke pengajian. Karena tidak melaporkan keberadaan Roichan, padahal polisi telah menyebar fotonya, jaksa menuduh mereka menyembunyikan buron. Hanya, tuduhan tersebut dibantah oleh Asludin Hatjani, penasihat hukum para terdakwa. Menurut si pengacara, kliennya benar-benar tak tahu tentang selebaran polisi karena mereka orang yang sederhana, cuma pedagang kecil. "Televisi saja mereka tak punya, apalagi langganan koran," ujar Asludin. Di pengadilan banding, para terdakwa bisa bernapas lega karena dinyatakan tidak bersalah. Di mata majelis hakim pimpinan Mahdi Soroinda Nasution, nama Roichan tidak termasuk dalam daftar tersangka yang kemudian disidangkan di pengadilan di Bali. Mahdi juga menyatakan bahwa Roichan bukan pelaku, terlibat, atau terkait dengan tindak pidana teroris kasus bom Bali. Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, Bagus Sugiri, menyatakan majelis hakim telah memutus perkara ini secara profesional dan tak terpengaruh nuansa politis kasus terorisme itu. "Pengadilan bukan tukang stempel yang ikut arus dalam perkara," ujarnya kepada TEMPO. Bagi Bagus, tak ada alasan untuk tetap menghukum para terdakwa jika tak ada bukti kuat, meski hampir semua terdakwa terorisme di Pengadilan Negeri Denpasar diputus bersalah. Putusan tersebut akhirnya ditolak tim jaksa penuntut yang terdiri dari Ferry Silalahi, Eddy Dikdaya, dan Syahrul Alam. Sabtu dua pekan lalu mereka menyatakan kasasi. Alasannya? Vonis tersebut tidak mempertimbangkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar yang akhirnya menghukum Roichan sembilan tahun penjara. Roichan dinyatakan terbukti menyembunyikan pelaku bom Bali, terdakwa Muchlas. Lagi pula, vonis untuk Roichan telah dikuatkan oleh pengadilan banding. Sebaliknya, bagi Firmansyah dan kawan-kawan, putusan yang diterimanya amat menggembirakan. Apalagi pengadilan juga memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Realisasinya pun sudah di depan mata. Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah telah mengeluarkan surat nomor W26.DAHN.01.10-347 pada 1 Juni lalu. Isinya, memerintahkan agar pihak rumah tahanan segera mengeluarkan para terdakwa. Surat tersebut berpijak pada pedoman pengadilan selama ini, yakni jika amar putusan bebas, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum, meski jaksa mengajukan banding atau kasasi. Hanya, para terdakwa tak segera menghirup kebebasan karena, sebagai eksekutor pembebasan, kejaksaan tidak segera melaksanakannya. Alasannya, mereka belum menerima salinan putusan. Inilah yang membuat Asludin, anggota Tim Pengacara Muslim (TPM), memprotes. "Itu kan merampas kemerdekaan orang," ujarnya. Asludin juga mengungkapkan bahwa surat eksekusi yang diteken Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, Bagus Sugiri, itu sebetulnya sudah ditembuskan kepada Ketua MA, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Dirjen Pemasyarakatan, dan semua instansi terkait termasuk Ketua Kejaksaan Negeri Palu dan Ketua Pengadilan Negeri Palu. Gara-gara soal pembebasan terdakwa tersebut, menurut penuturan seorang rekannya, Ferry pernah diteror. Almarhum pun pernah mengaku bertemu Fajri di tahanan. Saat itu terdakwa meminta agar dirinya segera dilepas, tapi Ferry menolak. Namun, Asludin menyangkal kliennya terlibat dalam penembakan sang Jaksa. Dia berkeyakinan, tak mungkin kliennya melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri. Endri Kurniawati, Darlis Muhammad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus