Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hilangnya Hamartia

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helen akhirnya kembali ke pangkuan Menelaus. Setelah kapal mereka diterjang ombak—delapan tahun terdampar dari Cyprus dan Mesir—keduanya selamat mencapai Sparta. Di kampung halamannya, mereka menikahkan putri mereka, Hermione dengan Neoptolemus, anak almarhum Achilles. Akan halnya Agamemnon, saat kembali ke Mycenae, belakangan dibunuh istrinya sendiri karena Agamemnon tega mengorbankan putrinya sendiri sebagai "persembahan dewa".

Kita tak bakal menyaksikan adegan ini dalam film Troy karya Wolfgang Petersen. Menelaus dan Agamemnon dalam film ini tewas demi kepuasan hati penonton. Risiko mengangkat sebuah mitologi memang adalah sebuah penyederhanaan. Mitologi di mana pun memiliki struktur yang berlapis-lapis. Mitologi Yunani mulanya adalah hieros logos, kisah suci yang kemudian diangkat menjadi literatur oleh Homer pada abad ke-8 SM. Cabang-cabang mitologi ini kemudian diperkaya oleh Hesiod sampai generasi Sophocles, Aeschylus. Tentu saja kisah-kisah ini tiba di tangan pembaca modern dengan banyak bumbu versi.

Film ini menampilkan semua hero dengan watak yang tegas. Padahal tokoh-tokoh mitologi Yunani adalah sosok problematik. Aristoteles menyebut setiap tokoh memiliki hamartia, pelanggaran fatal yang menuntun sang tokoh tersebut ke dalam tragedi. Lazimnya, mereka memahami nasibnya melalui sebuah oracle, ramalan, tapi toh tetap nekat melakukan hal-hal yang dilarang. Oedipus sesungguhnya pada mulanya menolak berperang.

Misalnya, Achilles sesungguhnya sejak kecil sudah tahu bahwa ia bakal terbunuh apabila ikut perang. Sejak umur sembilan tahun, ibu Achilles, Thetis, menyembunyikannya di Istana Lycomedes di Skykros. Di sana ia didandani seperti wanita dan sehari-hari berdiam bersama putri-putri. Oedipus, yang menyamar sebagai pedagang menjual aneka sulaman, diizinkan masuk wilayah keputren. Achilles tak kuasa dan tergerak melihat pedang Oedipus hingga terkuak penyamarannya.

Perang Troya pada dasarnya adalah juga perang antar-dewa. Di sisi Yunani, ada Hera, Athena, Poseidon, Hermes, dan Hephaistos. Sementara itu, di pihak Troya ada Ares, Apollo, Artemis, Leto, dan Aphrodite. Tiap-tiap dewa berusaha membantu. Kuda Achilles bernama Xanthus, yang tak bisa mati, adalah pemberian dewa. Ketika panah Paris diluncurkan ke Achilles, sesungguhnya Apollolah yang mengarahkannya ke tumit Achilles, satu-satunya bagian tubuh Achilles yang tak kebal—karena tak kena basuhan air Sungai Styx saat Thetis memandikan anaknya pada waktu bayi.

Karena Petersen memutuskan menghilangkan tokoh dewa di sini, akibatnya hamartia tak muncul. Hamartia adalah kesalahan melanggar petunjuk dewa. Sebagai gantinya, para sineas Troy cenderung realis dan membumi. Sejarawan memperkirakan, kepercayaan terhadap dewa-dewa dalam masyarakat Yunani berangsur-angsur menurun sejak Alexander The Great dari Makedonia menaklukkan seluruh Yunani. Film itu menampilkan "kesadaran modern" yang benihnya sudah terlihat sejak zaman Myceneane. Achilles dan legiunnya digambarkan berani memotong patung-patung dewa. Sebuah tafsir memang bisa bermuka dua seperti Janus. Ia bisa meruntuhkan sekaligus menambah pemaknaan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus