Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Pasien lugu dan dokter tak mampu

Dokter gigi Dedy Setiadi di Cirebon melakukan operasi usus buntu terhadap Warjono, 16 tahun. Akibatnya pasien menggawat dan akan cacat fisik. Dedy di cabut izin prakteknya. Dua perawat dimutasikan.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruangan seluas 2 x 3 m itu ada dua meja. Satu untuk menyimpan alat-alat "bedah" dan satu lagi meja panjang untuk pemeriksaan pasien. Udara di situ terasa lembap, tidak ada lampu khusus untuk bedah, pokoknya sama sekali tidak memenuhi syarat untuk pelaksanaan operasi. Tapi di situlah Dokter Gigi (drg.) Dedy Setiadi mengoperasi Warjono, Desember silam. Ruang praktek drg. Dedy berada dalam kompleks asrama perawat putra Cirebon. Jangan salah, sang dokter, yang lulusan FKG Universitas Gadjah Mada dan berumur 37 tahun itu, bukanlah mengoperasi gusi pasiennya, tapi membedah usus buntunya. Adapun pasien yang bernama Warjono dan berumur 16 tahun itu, agaknya, tak mengetahui apa bedanya dokter gigi dan spesialis bedah. Ia datang ke situ dibawa dua perawat RS Sunan Gunungjati, Vauzi, 21 tahun, dan Hasan Sadeli, 22 tahun. Tindakan inilah awal malapetaka yang kemudian menimpa Warjono. Apa yang terjadi? Dua hari setelah operasi usus buntu yang dilakukan drg. Dedy, - selagi operasi ia dibantu Vauzi dan Hasan Sadeli - badan Warjono panas. Dari bekas jahitan di perut keluar nanah. Dedy pun panik. Akhirnya Warjono - sehari-hari adalah pelajar pada sebuah SMA swasta di Cirebon - dikirim ke RS Hasan Sadikin, Bandung. Ia langsung dimasukkan ke unit gawat darurat. "Ketika saya menerima Warjono, pasien itu sudah lama keadaan gawat. Jika tak segera diobati, kemungkinan ia meninggal," kata Warko Karnadihardja, dokter yang menangani Warjono di unit itu. "Pada rongga perut bekas operasi sudah terdapat kuman yang menyebar dan terdapat gumpalan nanah bercampur darah. Sedangkan ususnya mengalami kelengketan," sambungnya. Warko menjelaskan, kerusakan rongga perut tak lain karena penanganan operasi yang tak becus. "Dokter yang melakukan operasi tersebut tak mampu mengatasi pendarahan yang berlangsung ketika operasi," ujar Warko lagi. Di sinilah awal mula terungkapnya operasi liar yang dilakukan drg. Dedy Setiadi. Kepala Kanwil Depkes Jawa Barat, setelah meminta pertanggungjawaban dokter yang dinilai nekat ini 4 Februari lalu, mencabut izin praktek Dedy Setiadi selaku dokter gigi. "Jelas, dokter itu bersalah. Ia telah merugikan citra profesi dokter di masyarakat," kata dr. Rustandi, Kakanwil Depkes Jawa Barat itu. Tak jelas mengapa kedua perawat, Vauzi dan Hasan Sadeli, membawa Warjono ke tempat praktek Dedy, dan bukan ke poliklinik RS Sunan Gunungjati. Dan sang dokter gigi Dedy bukannya menasihatkan agar pasien dibawa ke dokter ahli, tapi memutuskan untuk menangani sendiri. Tak jelas apa motifnya. Tapi menurut pengakuannya ia pernah berhasil melakukan operasi kecil, ketika bertugas di RS Tasikmalaya beberapa tahun lalu. Dan setelah memeriksa Warjono, ia sampai pada kesimpulan bahwa pemuda itu mengidap penyakit usus buntu yang harus segera dioperasi. Hanya dengan peralatan transfusi, infus, dan obat-obatan ala kadarnya, operasi pun berlangsung pukul 14.30, 19 Desember lampau. Tim dokter ahli di RSHS akhirnya melakukan operasi ulang dan kondisi kritis Warjono dapat diatasi. Tapi tim itu berkesimpulan, pemuda ini akan mengalami cacat fisik Warjono menderita pelengketan usus atau ilieus, sehmgga ia akan mengalami perut kembung dan pencernaannya kurang normal. Sampai satu bulan lebih Warjono dirawat di RSHS Bandung. Walaupun kini sudah boleh pulang, ia masih harus menjalani kontrol. Peristiwa malapraktek yang nyaris membawa korban jiwa itu menarik perhatian banyak pihak. Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) Provinsi Jawa Barat, dalam sidangnya 30 Januari lalu, menyimpulkan bahwa Dedy Setiadi telah melakukan pelanggaran bidang etik kedokteran yang dinilai berat, yakni pelanggaran dalam bidang profesi kesehatan, pelanggaran dalam bidang administrasi kepegawaian, di samping melakukan tindakan melawan hukum. Selain menyarankan pencabutan izin prakteknya, panitia itu juga mengusulkan agar menyerahkan penyelesaian pelanggaran hukum ini kepada yang berwenang, seraya diperiksa secara cer- mat oleh psikolog. "Pelangaran ini berat memang Tapi itu risikonya. Siapa berani main api ya terbakar," kata Iman Hilman, Ketua P3EK Jawa Barat, kepada Agung Firmansyah dari TEMPO. Menurut Kepala RSHS Bandung itu, pelanggaran ini sudah berkali-kali ia lakukan. Saran-saran itu disambut baik oleh IDI Cabang Jawa Barat. "Saya setuju pencabutan izin praktek dokter gigi itu. Tapi aspek kemanusiaan harus diperhatikan, jangan sampai membunuh masa depannya. Kecuali kalau dia tidak bisa mengubah sikap," kata dr. Rachman Maas, Ketua IDI Jawa Barat. Komentar senada juga datang dari drg. M. Syarkawi Hasan, yang adalah Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Pusat. Menurut Syarkawi, peristiwa ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. "Kami merasa terpukul, seharusnya itu tak terjadi," katanya masygul. Katanya, setiap calon dokter gigi memang diajari operasi bedah. Tapi dalam praktek ia hanya boleh melakukan bedah mulut, yang lain di luar itu bukanlah wewenangnya. Kedua tokoh itu tak menyinggung rusak jasmani yang dialami Warjono, satu hal serius yang semestinya bisa diperkarakan ke pengadilan. Di depan sidang P3EK di Bandung, yang dihadiri berbagai organisasi profesi kedokteran dan beberapa pejabat dari Kanwil Depkes Ja-Bar, Dedy mengakui segala kesalahannya. "Saya mengaku bersalah, telah melakukan pekerjaan di luar wewenang profesi saya," ujarnya berterus terang. Ia juga menga- kui, perbuatannya tidak bertujuan mendapatkan imbalan materi. "Semata-mata cuma ingin menolong," katanya. Tapi sidang berkesimpulan, perbuatan itu ada hubungannya dengan kebutuhan materi. Bahkan kedua perawat yang membantu jalannya operasi masing-masing menerima imbalan dari Dokter Dedy Rp 20 ribu. Akibat membantu operasi itu, Vauzi dan Hasan Sadeli pun kena tindak. Mereka dimutasikan, dari bagian medis ke bagian cuci dan setrika. Di Cirebon, semua pihak yang terkait dalam peristiwa ini membungkam. Bahkan di mana Warjono kini berada, dirahasiakan. "Kami dilarang memberi keterangan soal operasi itu kepada pers," kata Vauzi gemetar. Kepala RS Gunungjati Cirebon, tempat Dedy dan kedua perawat itu bertugas, tak pula bersedia memberi keterangan. "Semuanya sudah selesai. Kami tak perlu memberi komentar lagi," kata Kepala RS Gunungjati, dr. Ono Dewanto. Demikian pula Dedy Setiadi. Ditemui di rumahnya di kompleks Perumnas Cirebon, ayah empat anak itu tampak santai. "Saya sudah pasrah, tak perlu memberikan keterangan lagi," katanya lirih. Tapi dikatakannya, selama ini ia belum pernah melakukan praktek sebagai dokter gigi di luar rumah sakit. "Izinnya saja baru keluar dua bulan lalu, dan belum sempat saya gunakan," katanya. Surat izin itulah yang kini dicabut Kakanwil Depkes Jawa Barat. Hasan Syukur, Agung Firmansyah (Bandung), Ahmadie Thaha (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus