BERAPA harga sebuah bola mata? Muhidin, 22 tahun, yang kehilangan sebelah matanya setelah dioperasi dokter ahli mata G.M. Husaini di Rumah Sakit Umum Sukabumi, menggugat dokter tersebut ke pengadilan dengan tututan ganti rugi sebesar Rp 120 juta. Jumlah itu berarti 4 kali lipat dari gugatan ayah Muhidin, Ma'mun, yang dua tahun lalu ditolak Pengadilan Negeri Sukabumi. Tapi, seperti juga dua tahun lalu, kali ini Husaini menggugat balik Muhidin untuk membayar ganti rugi Rp 240 juta. "Tujuan saya bukan mendapatkan uang ganti rugi, tapi untuk merehabilitasi nama baik saya dan sekaligus membuktikan saya tidak bersalah," kata Husaini, yang juga kepala RSU Syamsudin itu. Sebaliknya, Muhidin bersikeras menuduh dokter itu bersalah. "Saya sudah begitu menderita. Kenapa saya harus dituntut balik dengan ganti rugi begitu besar?" kata guru Madrasah Aliyah Diniyah Sukabumi itu, lugu. Ayahnya, Letda. Purnawirawan Ma'mun, menimpali, "Biar mati, akan saya hadapi. Tuntutan itu tak akan saya terima, kami tidak punya apa-apa." Seperti juga gugatan yang lalu, Muhidin menganggap Husaini telah mengoperasi matanya tanpa izinnya. "Saya cuma disodori formulir dan langsung ditandatangani. Kalau tahu saya akan dioperasi dan akibatnya akan begini, tentu saya tolak," kata pemuda lajang yang sebelah kakinya pincang itu. Sebaliknya, Husaini menyangkal tidak memberi penjelasan sebelum operasi dilakukannya. "Saya kira penjelasan sudah maksimal. Tentu saja itu dilakukan oleh perawat, karena secara administratif memang harus begitu," kata alumnus Unpad itu. Rasmawati, perawat yang membantu Husaini ketika operasi berlangsung, mengakui tidak memberi tahu akibat operasi itu kepada Muhidin, sebelum operasi dilakukan. Ia hanya menanyakan apakah orangtua Muhidin akan menandatangani izin operasi itu. "Ia menjawab, biar saya saja," tutur Rasmawati kepada majelis hakim, ketika menjadi saksi dua tahun lalu. Lepas dari soal perizinan, menurut Husaini, pembedahan yang dilakukannya bersifat gawat darurat. Artinya, pertolongan harus segera dilakukan untuk mencegah keadaan yang lebih fatal. Muhidin, kata Husaini, menderita endophthalmitis, yaitu radang mata yang menimbulkan ulkus atau borok, akibat munculnya gumpalan nanah pada bola matanya. Bila tidak segera ditolong, katanya, infeksi itu akan merambat ke mata sebelahnya, dan Muhidin terancam kebutaan total. "Yang lebih berbahaya, infeksi itu bisa menimbulkan peradangan otak," ujar Husaini. Artinya, nyawa Muhidin terancam. Persoalan yang disengketakan itu sebenarnya sama saja dengan gugatan yang diajukan ayah Muhidin, Ma'mun, yang ditolak hakim. "Gugatan itu tidak memenuhi persyaratan formal hukum acara perdata. Tapi gugatan itu bisa diajukan kembali," kata ketua majelis hakim, Iman Farwis Syafiie. Kelemahannya itu, Ma'mun maju ke pengadilan tanpa pelimpahan kuasa hukum dari anaknya. Kesalahan lainnya, Ma'mun menggugat Husaini selaku pribadi. "Sedangkan Husaini melakukan operasi dalam rangka tugas kedinasan," kata Iman Farwis. Adakah dengan memperbaiki gugatan itu Muhidin akan meraih kemenangan? "Sidang gugatan ini mulai lagi dari nol. Materi gugatan, penasihat hukum, dan juga majelis hakimnya baru. Ibarat pertandingan, wasit baru meniup peluit," ujar Iman Farwis. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Katono Mohamad, masih bersikap seperti dua tahun lalu. "Jika Muhidin dan pembelanya bersiteguh menuntut, maka kami juga membela Husaini," kata Kartono. Sebab katanya, tanda tangan Muhidin adalah bukti kuat bahwa Husaini telah memberi tahu bahwa mata pasien itu akan dioperasi. Ketua Perhimpunan Hukum Kesehatan Fred Ameln, pun menganggap izin untuk operasi mata Muhidin itu sudah ada dan sah. Apalagi dalam kasus gawat darurat, kata Ameln, dokter boleh bertindak tanpa izin siapa-siapa. "Dalam kasus Muhidin, apakah sltuasmya memang darurat, perlu diminta keterangan saksi ahli," kata Ameln.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini