INI bukan pertemuan bisnis. Meski di Ruang VIP Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Senin petang pekan ini, tampak keluarga Achmad Bakrie dan sejumlah staf Bakrie Brothers - itu salah satu perusahaan yang masuk hitungan. Mereka menunggu pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 873 dari Tokyo.Akhirnya, pukul 18.40 pesawat itu mendarat. Di dalamnya ternyata terbaring Achmad Bakrie, pendiri Bakrie Brothers, yang pulang ke tanah air tinggal jasad. Innalillahi wa innalillahi rojiun. Almarhum meninggal Senin pekan ini pukul 09.15 pagi waktu setempat, ketika tengah dirawat di General Medical Hospital Sinjuku, Tokyo, dalam usia hampir 72 tahun. Bakrie, di rumah biasa dipanggil Atuk, sudah sekitar satu setengah tahun lampau kesehatannya merosot. Dan ada problem di jantungnya. Hari Ahad dua pekan lalu, keluarganya sepakat membawanya berobat ke Tokyo. Dua hari terakhir, suhu badannya naik-turun, mencapai 38 C dan kadar gulanya naik dari 200 menjadi 400, tutur Nirwan, salah satu anaknya yang - bersama ibunya, Nyonya Roosniah, dan 12 anggota keluarga lainnya - mendampingi Almarhum diterbangkan pulang. Dalam deretan penjemput, yang ketika beriringan panjangnya sekitar dua kilometer, tampak antara lain Menko Kesra Alamsjah - masih famili. Sementara itu, di rumah duka, jumlah pelayat melebihi jumlah tamu ketika Almarhum menikahkan putrinya. Dunia bisnis di Indonesia terusik sepeninggal Atuk. Ketokohannya di dunia dagang dan industri - terakhir dalam bidang pipa tanpa las untuk distribusi minyak telah mendapatkan pengesahan dari American Petroleum Institute (API), 1979. Itu juga berarti ketergantungan Indonesia akan bahan vital tersebut dari luar negeri akan berkurang. PT Seamless Pipe Indoneia Jaya, nama pabrik pipa itu, memang bukan cuma milik Bakrie. Diteken berdirinya pada Desember 1986, pabrik berkapasitas terpasang 300.000 ton per tahun ini 39% sahamnya dipegang Bakrie Brothers, 30% Pertamina, 20% Asia Pacific Pipe Investment (APPI), 6,1% PT Encona Engineering, dan 4,9% PT Krakatau Steel. Di Asia, sampai saat penandatanganan itu, industri pipa tanpa las baru ada di Jepang. "Jika ini lancar, alangkah besarnya negara kita di luar," kata Atuk suatu hari. Menyangkut perpipaan, Bakrie memang layak diandalkan Sudah sejak 1959 perusahaannya menghasilkan pipa, pada awalnya pipa union untuk listrik. Pada 1972, hasilnya ditingkatkan berupa pipa besar (dari setengah sampai enam inci), untuk air dan gas. Langkah ekspor pertama terjadi pada 1975. Yakni ke Singapura, Australia, dan Hong Kong. Seiring dengan perkembangan kemampuan teknologinya, pada 1978 ia mulai pula menghasilkan pipa minyak, yang diakui oleh API. Dan pada 1986 perusahaan ini berhasil menembus ke AS, yang terkenal memberlakukan syarat sangat ketat. Di luar industri, Bakrie Brothers juga bergerak dalam bidang agribisnis dan perdagangan - kendati dalam beberapa tahun belakangan ini porsinya lebih kecil dibandingkan industrinya. Tapi agribisnis bagi Atuk bersejarah. Ketika ia memulai berwira swasta dulu, di masa penjajahan, ketika ia baru 20 tahun, ia jadi perantara perdagangan kopi dan lada, di daerah kelahirannya, Kalianda, Lampung (1936-1937). Ia menyempatkan belajar di sekolah dagang Hendles Instituut Schoevers (1937-1939), kemudian, 1938-1940, menjadi penjaja keliling pada NV Van Gorkom, .sebuah perusahaan dagang Belanda. Hampir seluruh pelosok Sumatera Selatan ia jelajahi. "Di situ saya memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang barang-barang dan organisasi perusahaan modern," tutur lelaki kelahiran 1 Juni 1916 ini, suatu hari. Bakrie Brothers ia dirikan pada 1942, di Telukbetung. Mula-mula ia bergerak dalam perdagangan karet, lada, dan kopi. Di bawah pemerintah pendudukan Jepang, ketika dipindahkan ke Jakarta 1943, perusahaan itu harus berganti nama menjadi Jasumi Shokai. Tak lain karena Jepang tak suka mendengar nama yang berbau Barat. Tahun pertama setelah proklamasi, CV Bakrie Brothers dihidupkan lagi, dan berkembang sampai sekarang. "Dia orang yang paling dingin kepalanya untuk menghadapi segala macam kesulitan, seberat apa pun," tutur Aburizal alias Ical. "Dia bisa mengendapkan kesulitan, mengambil hikmahnya, dan setelah itu memutuskan suatu jalan keluar. Dia juga punya visi yang kuat. Ketika perdagangan impor menguntungkan pada 1950-an dan orang belum berpikir ke arah industri bidang industri ia masuki." Menurut Hamizar Hamid, yang sudah 40 tahun mengiringi perjalanan usaha Atuk, "Almarhum sangat gigih dan disiplin, terutama dalam soal penggunaan uang." Tak pernah, misalnya, menyisihkan uang perusahaan untuk keperluan rumah dan keluarga. Kendati demikian, dalam hubungan antarmanusia Atuk tidak kaku. Jika ada orang setaraf pembantu, di rumah atau di kantornya, punya hajat dan mengundangnya, Atuk pasti menyempatkan diri datang. Banyak orang yang mengagumi keberhasilannya. Tetapi, kata Atuk suatu hari pada Kompas Minggu, "Saya malu kalau diminta cerita tentang mengapa saya sukses. Kalau mengenai pengalaman hidup, tentang filosofi bolehlah. Kalau uang yang jadi ukuran, wah, tidak." Alasannya? "Ada buku yang mengatakan, A man who dreams about money is a beggar. A man who dreams about love is king." Ia memang gemar membaca, terutama buku-buku sejarah dan sebagian puisi-puisi berbahasa Belanda. Sebelum sakit parah, Atuk sudah mempersiapkan segalanya, kata orang. Pada akhir 1987, jabatan sebagai presiden direktur sudah ia serahkan kepada Ical. Kini di pundak anak sulung ini tergantung keinginan Almarhum, yang pernah mengatakan, "Angan-angan saya adalah jangan sampai perusahaan mi hanya sampai seumur saya saja. Atau sampai anak-anak saya saja. Tujuan saya, suatu hari kelak ia menjadi sebuah public company yang besar." Atuk atau Achmad Bakrie sudah meletakkan dasarnya. Mohamad Cholid & Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini