LELAKI itu memamerkan otot-ototnya yang menonjol. Ia tampak kekar dan kuat. Itulah gambaran pria hebat, yang terpampang hampir pada semua merk jamu yang menjanjikan keperkasaan. Padahal, pemakaian jamu kebugaran, yang oleh masyarakat dianggap dapat menunjang kerja fisik dan prestasi kerja, ternyata tidak meningkatkan kapasitas kerja fisik (KKF) secara nyata. Hal itu diungkapkan Abdul Hamid Joesoef, 52 tahun, dalam disertasi untuk meraih gelar doktor bidang ilmu fisiologi kedokteran di Unpad, Bandung, belum lama ini. Dengan disertasi berjudul "Pengaruh latihan fisik dan atau pemakaian jamu kebugaran, terhadap kapasitas kerja fisik kelompok umur dewasa muda", staf senior FK Unpad ini lulus dengan predikat pujian (cumlaude). Dalam penelitian yang lamanya sekitar 6 minggu itu, promovendus menyimpulkan, antara lain, bahwa KKF merupakan indikator bagi kebugaran jasmani secara umum. Tepatnya lagi, KKF merupakan tolok ukur kebugaran sistem kardiorespirasi dan efisiensi fungsi otot. Dalam kata lain, "KKF merupakan komponen dasar, dalam mencapai produktivitas kerja dan prestasi olah raga," kata Abdul Hamid pada TEMPO. Menurut dokter yang alumni FK Unpad ini, pengertian sehat bukan hanya bebas dari penyakit. Kapasitas kerja fisik juga menentukan faktor sehat seseorang. KKF bisa dikatakan baik jika kondisi fisik seseorang tetap bugar alias fit, walaupun ia bekerja berat dalam waktu yang cukup lama. Resep untuk membina KKF secara fisiologis dapat dilakukan melalui latihan fisik yang teratur. Untuk itu patokannya: lama latihan lebih dari 3 menit, dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu. Latihan rutin itu sering tak bisa dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang sibuk. Akibatnya, untuk meraih kondisi fisik prima, mereka cenderung memilih jalan pintas. Ada yang mencoba dengan meminum vitamin, mineral, doping, maupun dengan jamu tradisional. Padahal, jamu kebugaran umumnya hanya berisi minyak atsiri, kulkumin, likusida, dan zat pati. "Bahan-bahan itu hanya akan bekerja sebagai perangsang pencernaan dan nafsu makan," kata Abdul Hamid. Itu berarti, jamu tak mempengaruhi struktur fungsi anatomis jantung dan peredaran darah, hingga tidak ditemukan titik tangkap mekanisme kerja peningkatan KKF. Sarjana yang pernah memperdalam ilmu di Rijks Universiteit Groningen, Belanda, ini memang belum tuntas meneliti pengaruh jamu terhadap kebugaran fisik. "Khasiat jamu secara terinci, khususnya terhadap KKF, belum diketahui secara pasti. Perlu ditunjang dari farmakolog," ujar dokter yang aktif di KONI Ja-Bar ini. Namun, berdasarkan penelitian yang menggunakan 200 naracoba kelompok mahasiswa terlatih (FPOK), pemberian jamu tertentu, yang lazim dianggap masyarakat dapat menunjang kerja fisik dan prestasi kerja, ternyata, tidak meningkatkan KKF secara nyata. "Sebelum minum jamu dan sesudah minum jamu, mereka sama saja," kata bapak lima putra ini. Landasan teorinya: kerja otot sehari-hari, atau pada saat melakukan kegiatan olah raga, mengandung unsur intensitas dan lama kerja. Bentuk interaksi kedua unsur di atas tecermin menjadi kualitas aktivitas fisik selama kerja yang dilakukan. KKF sebagai sumber potensi metabolisme energi, menurut Abdul Hamid, akan menentukan besarnya intensitas kerja. Di samping itu, intensitas kerja pada keadaan mantap optimal ditentukan pula oleh kemampuan tubuh untuk mengatur keseimbangan jumlah asam laktat di otot, antara produksi dan disintegrasinya di hati. Menurut dokter yang mengaku jarang olah raga ini, efek peningkatan KKF dapat tercapai dalam jangka waktu tertentu, sebagai periode adaptasi efek latihan. "Hal ini berkat hubungan penyesuaian fungsi organ tubuh terhadap beban latihan yang mereka hadapi," katanya. Dokter Sadoso Sumosardjuno sepakat dengan hasil penelitian tersebut. Menurut ahli kesehatan olah raga ini, berdasarkan pengamatannya, jamu memang belum mampu mengatrol tingkat kebugaran. "Untuk mencapai kebugaran yang penting latihan teratur," kata kolumnis mingguan Bola itu. Gatot Triyanto dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini