Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Reformasi Struktural

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni Puspa Purbasari *

Tanda-tanda memburuknya ekonomi Indonesia tampak jelas tahun ini. Inflasi meningkat, mendekati angka 8 persen; pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,7 persen; defisit neraca transaksi berjalan membengkak menjadi 4 persen terhadap produk domestik bruto; defisit fiskal hampir menyentuh 2,5 persen terhadap PDB; dan cadangan devisa anjlok menjadi US$ 95 miliar—tahun lalu masih US$ 112 miliar.

Selain faktor internal, isu akan dihentikannya kebijakan dolar murah oleh The Fed membuat nilai tukar rupiah melemah, hampir ke tingkat 12 ribu per dolar. Bank Indonesia pun harus melakukan sejumlah langkah sekaligus: menjinakkan inflasi, menstabilkan rupiah, dan memastikan cadangan devisa aman. Untuk itu, suku bunga acuan BI dinaikkan, yang semula 6 persen pada Juni tahun ini menjadi 7,5 persen. Akibatnya dapat diduga, biaya pinjaman naik dan pertumbuhan melambat.

Sejumlah ekonom berpendapat sebaiknya kita tak usah cemas menghadapi defisit neraca transaksi berjalan, karena antara transaksi berjalan dan transaksi finansial ada hubungan mekanik yang membuat kondisi keduanya berbalikan: bila transaksi berjalan defisit, neraca finansial biasanya surplus, begitu sebaliknya. Tapi kali ini kita patut cemas. Selain sudah berlangsung delapan triwulan terakhir (sejak triwulan keempat 2011), defisit ini terjadi karena faktor struktural: subsidi energi yang besar dan kakunya sisi penawaran atau produksi.

Defisit inilah yang kemudian "memaksa" BI dan pemerintah menaikkan suku bunga, agar investor mau masuk dan membiayai defisit. Masuknya investasi inilah yang akhirnya membuat sisi debit dan sisi kredit neraca pembayaran seimbang. Jadi, di balik "keseimbangan" antara transaksi berjalan dan transaksi finansial, ada cost of fund yang semakin mahal dan risiko yang semakin besar bagi ekonomi domestik bila terjadi guncangan eksternal.

Statistik menunjukkan imbal hasil obligasi pemerintah naik dari 5 persen pada awal tahun menjadi lebih dari 8 persen. Credit default swap (premi asuransi yang harus dibayar oleh pemegang obligasi kepada perusahaan asuransi yang menjamin pembayaran utangnya bila obligor tak dapat membayar) meningkat dari 120 basis point tahun lalu menjadi lebih dari 270 basis point.

Kedua masalah struktural di atas—subsidi energi dan kakunya sisi penawaran—hanya dapat dituntaskan lewat kombinasi kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan reformasi struktural. Di sisi moneter, BI telah menaikkan suku bunga acuan dan "membiarkan" rupiah melemah. BI (akhirnya) mengerti bahwa mereka tidak mungkin mencapai the impossible trinity, yaitu otonomi kebijakan moneter, kurs yang stabil, dan rezim kapital bebas sekaligus. Jadi, salah satu dari ketiganya harus dilepas. Karena itulah suku bunga "terpaksa" dinaikkan agar rupiah tidak terjun bebas dan keseimbangan eksternal tercapai.

Tapi, bila hanya sektor moneter yang menanggung beban penyesuaian ekonomi makro, harganya sangat mahal karena tingkat bunga akan terus naik dan pertumbuhan ekonomi terpuruk. Jadi, penyesuaian ekonomi harus disokong oleh BI bersama pemerintah. Bahkan kontribusi pemerintah harus lebih besar karena subsidi energi dan kakunya sektor penawaran adalah masalah struktural, bukan moneter.

Pada 2013, subsidi energi (bahan bakar minyak dan listrik) mencapai hampir Rp 300 triliun atau seperempat dari belanja pemerintah pusat. Dampak kenaikan harga BBM dan listrik pun seperti pasir ditelan ombak karena melemahnya rupiah. Bahkan, untuk solar, besaran subsidi per liter semakin besar. Subsidi membuat harga energi di mata konsumen murah, sehingga mendorong konsumsi. Akibatnya, impor minyak naik dan defisit neraca transaksi berjalan semakin besar. Solusinya adalah memangkas subsidi ini.

Berapa opportunity cost yang hilang akibat subsidi energi ini? Bila belanja modal pemerintah pusat pada 2013 sekitar Rp 193 triliun, kita kehilangan kesempatan untuk setidaknya melipatduakan jumlah belanja ini. Semestinya kita bisa membangun lebih banyak infrastruktur baru atau memelihara prasarana yang lama. Jalan, jembatan, listrik, pelabuhan, pipa gas, air bersih, bendungan, serta sarana dan prasarana transportasi dapat didanai berikut biaya pembebasan lahannya yang biasanya harus dicicil dan malah menimbulkan spekulasi. Tentu, agar penggunaan dana optimal dan reformasi ini didukung publik, semua harus dilakukan dengan cepat, minus korupsi. Tanpa eksekusi yang cepat, rakyat hanya akan merasakan pahitnya reformasi, dan pihak-pihak yang dirugikan dalam agenda reformasi akan "mendapat angin".

Jadi, jelas bahwa pemangkasan subsidi energi, selain dapat memperbaiki neraca transaksi berjalan secara langsung, bisa melonggarkan kekakuan sisi penawaran kita dengan tersedianya lebih banyak infrastruktur. Studi menunjukkan kurva penawaran agregat Indonesia bersifat inelastis. Artinya, produksi barang dan jasa kita tidak responsif terhadap perubahan harga. Akibatnya, ketika permintaan meningkat, harga akan naik tajam karena produksi sulit digenjot. Dengan kata lain, sisi penawaran kedodoran menghadapi permintaan yang tinggi. Kebijakan BI yang meningkatkan BI Rate memang dapat memperlambat laju permintaan, tapi harus dikompensasi dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Mengatakan soal penyediaan lebih banyak infrastruktur, peningkatan produktivitas, atau mengubah produksi berbasis pada komoditas pada pengetahuan memang mudah. Namun the devil in the details, dalam banyak hal, terkait dengan iklim usaha, regulasi, kebijakan pemerintah, hingga pada ­leadership. Masalahnya adalah defisit neraca transaksi berjalan (yang disebabkan oleh impor minyak) bukannya diobati dengan secara langsung mengurangi impor minyak, melainkan malah diatasi dengan pembatasan impor barang konsumsi.

Inilah yang terjadi sepanjang tahun 2012, dan harga BBM baru dinaikkan pada akhir Juni 2013, dan empat paket kebijakan pemerintah muncul pada akhir Agustus 2013. Padahal porsi barang konsumsi, seperti beras, daging, buah, sayur, kedelai, mainan anak, dan kendaraan penumpang, hanya 8 persen dari total impor, sedangkan impor minyak mencapai 23 persen. Celakanya, meskipun persentasenya kecil terhadap total impor, impor barang konsumsi ini signifikan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sekaligus untuk menambal kurangnya produksi domestik akibat penawarannya yang tidak elastis tadi. Akibat dari pembatasan impor ini, suplai barang di dalam negeri berkurang, harga-harga naik, dan daya beli masyarakat turun.

Tentu saja impor bukanlah jawaban jangka panjang, bahkan belum tentu bisa menjadi solusi jangka pendek manakala defisit sudah kronis dan kurs melemah. Lagi pula tak ada negara yang bisa berutang terus-menerus atau bisa sejahtera tanpa produksi. Namun memangkas impor barang konsumsi untuk menambal defisit akibat impor minyak jelas-jelas salah wesel, karena kita sesungguhnya menciptakan distorsi baru di atas distorsi lama.

Logika yang sama juga terjadi untuk usul pelarangan repatriasi keuntungan perusahaan asing, pembatasan penggunaan jasa transportasi barang milik asing, atau kewajiban memarkir hasil ekspor di dalam negeri untuk sementara waktu. Ilmu ekonomi menasihatkan agar kebijakan sedapat mungkin langsung menuju akar masalahnya (first best policy); jangan dengan menciptakan satu distorsi untuk mengobati distorsi lain (second best policy); apalagi menciptakan distorsi baru tanpa mengobati distorsi lama.

Memang reformasi struktural itu berat dan tidak populer, tapi harus dilakukan kalau pemerintah peduli pada keselamatan ekonomi nasional. Harga BBM harus dinaikkan lagi, dan hambatan dalam produksi, investasi, ataupun ekspor-impor dikurangi. Menaikkan harga BBM tak harus dilalui dengan aneka wacana dan kehebohan seperti yang sudah-sudah.

Kita bisa mencontoh masa lalu, ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada pukul 21, yang kenaikannya berlaku efektif tiga jam setelahnya. Maka antrean hanya terjadi dalam tiga jam dan inflasi meningkat setelah harga BBM betul-betul dinaikkan; bukan beberapa bulan sebelum kenaikan seperti selama ini.

Dengan cara itu pula, pemerintah dapat menaikkan harga beberapa kali dalam setahun (bergantung pada keadaan ekonomi dan psikologi masyarakat). Kenaikannya juga dalam jumlah kecil, misalnya Rp 500 per liter, bukan diakumulasi hingga menjadi sebuah shock harga sebesar Rp 2.000 per liter. Dengan kenaikan yang kecil, ongkos sosial dari kebijakan pun diharapkan tidak besar.

Bila pemerintah enggan melakukan reformasi struktural dan justru menerbitkan kebijakan kontraproduktif lagi, apa yang diramalkan Jim Collins dalam bukunya, How the Mighty Fall, akan terjadi. Bahwa kejatuhan itu biasanya diawali dengan kepongahan atas prestasi yang didapat, yang diikuti dengan pengingkaran terhadap risiko yang ada, dan dilanjutkan dengan solusi-solusi yang tidak tepat ketika terjadi bahaya. "Decline can be avoided, decline can be detected, decline­ can be reversed," kata Collins. Kini semua bergantung pada pemerintah.

*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus