ANDI, sebut saja namanya begitu, sepintas tampak montok dan menggemaskan. Tapi sebenarnya bocah berusia dua tahun itu tak sesehat penampilannya. Si buyung anak tunggal Nani—bukan nama sebenarnya—ini belum juga bisa berjalan. Hingga dua September lalu, Andi layaknya anak umur sembilan bulan saja. Ia hanya bisa merangkak ke sana kemari. "Saya sempat bingung. Dukun-dukun di kampung udah enggak bisa ngatasi," kata Nani, yang tinggal di Cikampek, Jawa Barat.
Lelah berurusan dengan dukun, dua bulan lalu Nani membawa anaknya berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Melalui pengobatan rutin, sehari sekali minum pil hormon tiroid, kondisi Andi berangsur membaik. Hanya dalam tempo dua bulan setelah minum obat, kaki Andi sudah mulai lincah bergerak mencoba berjalan kaki. Belum lancar, memang, tapi Nani yakin anaknya bakal segera fasih berjalan.
Andi, menurut Jose Batubara, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Cipto Mangun-kusumo (RSCM), adalah contoh anak dengan kelainan bawaan hipotiroid kongenital. Kelainan bawaan ini memang tergolong jarang, hanya muncul pada satu dari 3.000-5.000 kelahiran. Namun, bila dilihat dalam skala nasional, hipotiroid bisa menjadi masalah besar. Dengan pertumbuhan penduduk 1,4 persen per tahun dan jumlah penduduk 204 jiwa, ada sekitar 2,8 bayi lahir setiap tahun di Indonesia. Walhasil, secara teoretis, diperkirakan tiap tahun ada 500-900 bayi yang lahir dengan membawa kelainan hipotiroid.
Kelainan bawaan hipotiroid kongenital, yang menyebabkan anak menjadi bermental terbelakang itu, ternyata bisa dicegah. Pengobatannya pun mudah. Karena itu, ketika di Jakarta bulan lalu dibuka klinik genetika oleh lembaga Eijkman bekerja sama dengan RSCM, hal ini termasuk yang diangkat ke permukaan. Deteksi dini kelainan hipotiroid adalah salah satu fasilitas yang bisa dimanfaatkan dari klinik genetika pertama di Indonesia itu.
Namun, apa itu hipotiroid kongenital? Kelainan itu terjadi bila kelenjar tiroid si pen-derita—terletak di bagian depan leher—sejak lahir tak sanggup bekerja optimal mencukupi kebutuhan tubuh atas hormon tiroid. "Penyebabnya masih misterius sehingga kita juga belum tahu cara mencegahnya," kata Jose.
Berbeda dengan penyebabnya yang masih misterius, dampak kekurangan tiroid ini cukup gamblang. Maklum, hormon tiroid termasuk pemain inti dalam mengatur irama metabolisme dan pertumbuhan. Tanpa tiroid yang cukup, sel saraf, sel otak, otot kaki dan tangan tak bisa berkembang bagus. Akibatnya, anak lamban bergerak dan susah tumbuh cerdas. Irama metabolisme pun kacau sehingga si anak tak memproduksi keringat, buang air seminggu sekali, kulit kering, dan memiliki suara tangisan yang parau. Lazimnya, anak hipotiroid kongenital punya ciri khusus yang bisa langsung dikenali, seperti lidah besar, rambut jarang, pendek atau bahkan kerdil, pusar panjang atawa udel bodong, plus profil wajah yang terkesan menua
Dampak buruk kelainan tersebut ternyata bisa dicegah. Dengan pasokan pil hormon tiroid seumur hidup—harganya sekitar Rp 1.000 per butir—anak-anak seperti Andi punya kesempatan tumbuh normal dan cerdas. Syaratnya, pengobatan harus dilakukan sedini mungkin. Golden periode alias masa emasnya adalah saat bayi berusia dua minggu sampai satu bulan. Lewat dari itu, "Sebagian kerusakan internal sudah tak dapat lagi diperbaiki," kata Jose. Semakin lama pengobatan ditunda, kerusakan yang muncul pun kian menyebar.
Pengobatan Andi, misalnya, sudah tergolong telat. Memang, kelincahan otot-otot gerak masih bisa dipulihkan setelah diberi pasokan pil hormon tiroid. Tapi sel-sel kelabu otak yang telanjur tumbuh "kerdil" tak bisa lagi dipaksa tumbuh menyamai anak normal. Itulah sebabnya anak hipotiroid kongenital umumnya tumbuh dengan IQ 70-90 poin sehingga masuk kategori bermental terbelakang (mentally retarded).
Nah, mengingat dampak berat yang harus ditanggung anak-anak hipotiroid, Jose menyerukan kepada pemerintah agar menggelar program screening terhadap bayi baru lahir (neonatal) secara nasional. Setiap bayi yang lahir segera diambil sampel darahnya dari tumit kaki, dan segera dites kecukupan hormon TSH dan T4-nya—keduanya adalah hormon yang menjadi dalang pembentukan tiroid. Begitu ada kecurigaan, si bayi hendaknya segera menjalani tes darah komplet guna memastikan adanya hipotiroid kongenital. Walhasil, kelainan cepat ketahuan dan terapi bisa dilakukan tanpa membuang waktu. Bayi-bayi juga tak kehilangan kesempatan tumbuh dan meraih poin IQ yang tinggi.
Seruan serupa juga muncul dari Riyadi Fadil, spesialis anak dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Riyadi, yang juga anggota Tim Tumbuh Kembang Anak, meyakinkan bahwa Indonesia memang membutuhkan program screening bayi nasional.
Riyadi menjelaskan, setahun lalu Tim Tumbuh Kembang Anak pernah melakukan riset mengenai hipotiroid. Empat rumah sakit, yakni Hasan Sadikin, Boromeus, Kebon Jati, dan Al-Islam, terlibat dalam penelitian ini. Lebih dari 1.000 bayi baru lahir di keempat rumah sakit tersebut langsung diambil sampel darahnya untuk dites. Hasilnya, dua bayi terdeteksi mengalami hipotiroid kongenital. "Ini adalah bukti yang cukup kuat untuk mengusulkan program screening nasional," kata Riyadi.
Menurut Jose ataupun Riyadi, Departemen Kesehatan mestinya segera menggelar program screening terhadap bayi baru lahir secara nasional seperti yang sudah dilakukan berbagai negara termasuk Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ongkos screening yang Rp 10 ribu-20 ribu mestinya tak terlalu mahal, terutama jika dibanding manfaatnya. "Jangan sampai anak-anak kita menderita karena sesuatu yang bisa dicegah," Jose mengingatkan.
Mardiyah Chamim dan Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini