Karena kekurangan pilot Indonesia akan memakai penerbang yang berusia lebih dari 60 tahun? Mereka sehat dan masih layak terbang. PENGGEMAR serial Airwolf tentu mengenal Dominique. Pilot tua yang saban Kamis malam muncul di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) itu tangkas menerbangkan helikopter di atas padang gurun, laut, serta hutan. Dan itu bukan mustahil kesempatan seperti Dominique bakal dinikmati pilot Indonesia. Ketika menurut peraturan harus pensiun, mereka bisa terbang, meski sudah berumur 60 tahun. Sebab, dikaji dari segi kesehatan, mereka kelihatannya potensial. Demikian antara lain kesimpulan seminar "Pendayagunaan Penerbang Sipil Usia 60 Tahun ke Atas Ditinjau dari Aspek Kesehatan Penerbangan". Seminar ini diadakan Sabtu pekan silam oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta. Para pilot senior memang belum mau disebut "besi tua" yang ringkih sehingga gampang dibuang. Tenaganya masih diperlukan. "Sampai tahun 2000 kita butuh 3.300 penerbang, tetapi yang bisa disediakan hanya dua ribu," kata Sunaryo Yosopratomo, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dan kekurangan dimaksud, menurut Dirut Garuda Soeparno, untuk mengantisipasi angkutan udara yang punya potensi besar. Disebutkan bahwa Amerika, dengan penduduk 240 juta, yang terbang tiap tahun 400 juta. Indonesia, yang penduduknya 179 juta, setahun yang terbang hanya 10 juta. Untuk memanfaatkan potensi tersebut, tentu diperlukan pesawat, lapangan terbang, dan penerbangnya. Namun, jumlah penerbang yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Maka, alternatifnya adalah mengaktifkan penerbang senior. Rupanya, banyak negara mengatasi problem tadi dengan mengubah batas usia. Israel, Sri Lanka, serta Jepang, misalnya, memajukannya hingga 63, 64, dan 65 tahun. Asal sehat dan pengawasannya ketat, pilot yang terbang pada usia lebih dari 60 tahun tidak menjadi soal. Ini juga sudah dilakukan di Lufthansa, Swiss Air China Airlines, dan Qantas. Sebenarnya, merambatnya usia senja itu diikuti oleh perubahan fisiologis. Ini kentara dari rambut mulai ubanan, kulit keriput, dan penglihatan bahkan tak lagi sempurna. Beberapa juga terlalu gemuk. Dan yang tak tampak tetapi justru merongrong adalah kelainan pada jantung, ginjal, kenaikan kadar gula, dan tekanan darah tinggi. Ternyata, kelainan jantung dan pembuluhnya, atau kardiovaskuler, paling banyak diderita. Gara-gara ini, lima pilot Indonesia meninggal. Dan sembilan lainnya, karena ada kelainan pada jantung, lalu mengakhiri kariernya sebagai penerbang. "Wajar, kendala kardiovaskuler semakin mencuat pada usia di atas 60 tahun," kata Dede Kusmana dari Bagian Kardiologi FK UI yang ikut bicara dalam seminar tadi. Jantung mengalami proses penuaan karena terjadi perubahan di struktur sel dan jaringannya. Dalam pengamatan mikroskopis, ditemukan peningkatan jaringan kolagen dan timbunan lemak. Pada lapisan sel dalam jantung yang disebut endokardium muncul penebalan serabut elastis maupun kolagen. Proses degeneratifnya dimulai dengan fibrosis atau pembentukan jaringan ikat, kemudian berlanjut dengan penumpukan kalsium. Akibatnya, terjadi kerusakan struktural. Misalnya katup sukar digerakkan, otot jantung menebal hingga menyebabkan jaringannya berlebihan darah. Kemunduran kardiovaskuler ini biasanya erat kaitannya dengan proses penebalan dinding nadi yang disebut arteriosklerosis. Proses akibat penimbunan kolesterol ini sering dijumpai pada usia lanjut. Data di semua rumah sakit Indonesia menunjukkan terjadinya infark miokard di usia 50-an. Juga terjadi kemunduran kondisi pada penglihatan, pendengaran, dan saraf. Di mata, penyakit yang sering timbul berupa katarak dan glaukoma. Namun, seperti mata, gangguan pendengaran dalam batas tertentu dapat diatasi. Ini kalau diketahui secara dini. Jadi, cek kesehatan bagi pilot mestinya lebih sering dilakukan, tidak enam bulan sekali. Usia sebenarnya bukan patokan untuk menghambat terbang. Karena sakit, ada 19 orang harus "turun ke darat" sebelum waktunya. Sembilan lainnya disebabkan penyakit jantung, empat diabetes mellitus, tiga kelainan otak, dua katarak mata, dan seorang dibelit pankreas akut. Tidak jarang penyakit itu datang karena kurang olahraga dan disiplin pengaturan makan, serta kurang istirahat. Ini juga diakui Agus Sumarsono dan Suhari -- keduanya 39 tahun -- dari Pelita Air Service. Untuk seumur mereka, memang masih belum terasa. Tapi kalau sebagai pilot helikopter, faktor getarannya besar. "Kalau terbang agak banyak, badan terasa mulai capek-capek. Nggak seperti dulu lagi. Ini mungkin karena kurang ditunjang kesadaran memelihara badan," ujar Agus. Ia sendiri juga sulit melepaskan kebiasaannya merokok. Sedangkan bagi yang rajin olah tubuh, usia 60 belumlah renta. "Saya rasa, begitu melewati hari ulang tahun ke-60, nggak ada bedanya dengan hari kemarin," kata Lautan Siregar, 62 tahun. Ia ini bekas pilot Garuda dengan 27.000 jam terbang. Menurut dia, asal lulus tes simulator, seorang pilot masih safe menerbangkan pesawat. Dari Lautan bahkan ada yang pantas dicatat. Sebulan sebelum pensiun, 1989, ia dinyatakan sehat dan lulus tes simulator. Artinya, ia layak terbang hingga enam bulan berikutnya, sesuai dengan jadwal cek kesehatan. Jadi, wajarlah Lautan penasaran. "Jika diberi kesempatan, saya coba lagi, walau 1,5 tahun sudah tidak menerbangkan pesawat. Ini untuk membuktikan saya masih bisa dan sanggup," katanya. G. Sugrahetty Dyan K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini