JP tak hanya diakui oleh warga asing di Indonesia. INMA pun tak lama lagi akan menganugerahkan penghargaan internasional. Tapi siapa yang akan menggantikan sang pemred? INILAH saat-saat bergembira bagi The Jakarta Post (JP), harian berbahasa Inggris yang pekan lalu genap berusia sewindu. Dirayakan di Puri Agung, Hotel Sahid Jaya, Jumat malam pekan lalu, pesta ultah berlangsung semarak. Tak kurang empat menteri, puluhan diplomat, dan ratusan undangan penting ikut bergembira, diiringi grup musik jazz pimpinan Ireng Maulana. "Kami berhasil tampil sebagai market leader," kata Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan, Raymond Toruan. Bermula dengan oplah rata-rata hanya 8.657 eksemplar pada 1983, sirkulasi JP dari tahun ke tahun naik. Tahun 1990, setelah diaudit oleh Drs. Utomo & Co., oplah rata-rata terjual JP mencapai 22.216 eksemplar. Tahun ini, diperkirakan angkanya akan mencapai 25. 000-an eksemplar, atau naik hampir 39% dibanding tiga tahun silam. Angka tersebut, menurut Pemred Sabam Siagian, akan lebih besar kalau saja pasaran Singapura dan Hong Kong sudah digarap. "Ada kebutuhan akan arus informasi dari Indonesia karena pertumbuhan ekonominya yang pesat belakangan ini," katanya. Dia benar. Tapi langkah untuk menuju ke sana akan lebih nyata kalau koran yang sampai sekarang masih 8 halaman bisa segera ditingkatkan menjadi 12 halaman. Dengan demikian, perolehan dari iklannya yang tahun lalu meningkat dengan 54% dibanding tahun sebelumnya -- ini pasti akibat deregulasi di sektor moneter -- akan bisa bertambah gemuk. Lebih-lebih nama JP sudah mulai dikenal di luar Indonesia. Sebentar lagi, koran yang sarat memuat berita internasional (78,4%), dan berita bisnis serta investasi (49,2%), akan menerima penghargaan dari International Newspaper Marketing Association (INMA), sebagai salah satu harian internasional terbaik. Penghargaan tersebut akan berlangsung dalam suatu konperensi besar di Orlando, Florida, 21 Mei mendatang. Mau tahu siapa saja pembacanya di Indonesia? Kelompok "elite", kata hasil survei pembaca JP tahun 1991. Pendapat ini muncul bukan hanya karena mayoritas pembaca JP berpenghasilan di atas Rp 1 juta (bahkan 48% berpendapatan di atas Rp 3 juta sebulan), tapi sebagian besar pembaca ini memang berpendidikan tinggi. Dari 1.250-an responden, atau 5% dari total pelanggan JP, 53% sarjana. Dan, ini yang menarik, 26% dari pengisi angket berpendidikan pascasarjana. Lalu, apa yang dibaca oleh para penyimak, yang umumnya berstatus manajer senior, manajer menengah, dan para konsultan? Sebanyak 85% dari mereka selalu mengikuti berita internasional. Sedang berita nasional, bisnis, dan yang mengetengahkan berita kota (city news) berjumlah sekitar 50% responden. Ada satu hal yang agaknya perlu disimak lebih jauh oleh para pengasuhnya: mayoritas pembeli JP ternyata -- adalah orang kita. Audit tahun 1990 menunjukkan bahwa 50,3% pembaca adalah orang Indonesia. Dan 49,7% orang asing. Salah satu alasannya adalah, untuk lebih membiasakan anak-anak mereka menyimak koran Indonesia berbahasa Inggris. Dan JP, yang didukung oleh 49 staf redaksi, dan empat editor naskah yang bertugas memperbaiki tulisan -- dua dari AS, seorang dari Selandia Baru, dan satu lagi dari India -- memang termasuk bersih bahasanya. Sayangnya, para pembaca JP masih bertumpu di Jakarta (73,5%). Selebihnya di Jawa Barat (6,7%), Sumatera (4,7%), Jawa Timur (4,5%), Jawa Tengah (3,1%). Di Bali andil JP hanya 2,8%. Di luar negeri hanya 0,1%. Melihat pola penyebaran pasar seperti itu, barangkali sudah waktunya JP tak hanya memasrahkan jaring pemasarannya pada harian Kompas, tapi mulai membangun sendiri dari dalam. Alkisah, pada saat JP didirikan oleh empat penerbitan -- - Kompas, Suara Karya, TEMPO, dan Sinar Harapan dahulu -- strategi pemasarannya adalah merebut para pembaca expatriate di Indonesia, dan memasuki pasaran di ASEAN. Suatu sasaran yang masuk akal mengingat para pembaca asing di dalam dan luar negeri memerlukan informasi yang lebih banyak, dan lebih akurat, tentang Indonesia. Seperti diungkapkan Jon Benjamin, staf bagian politik Kedubes Inggris, koran ini tak sekadar mengutip dari kantor-kantor berita asing, "Tapi juga melakukan wawancara langsung dengan sumber beritanya sendiri." Pendapat serupa dikemukakan Ny. Forbes, istri salah seorang diplomat Kedubes AS di Jakarta. Dia mengimbau agar JP lebih banyak menyajikan kegiatan orang-orang asing yang tinggal di Indonesia. "Hanya melalui koran seperti JP-lah kami bisa mengetahui kegiatan masyarakat asing di Jakarta," ujarnya. Seorang pembaca asing lain yang pernah lama tinggal di Korea Selatan dan Muangthai beranggapan bahwa JP lebih mirip Korea Herald. "Beritanya kurang mendetail dan kurang beragam," katanya. Pembaca tersebut, yang juga istri seorang expatriate, menginginkan JP memuat variasi berita yang "lebih beragam dan mendetail seperti The Bangkok Post." Bisa jadi, harapan seperti itu akan terlaksana bila halaman JP sudah menjadi lebih tebal. Siapa tahu. Tapi omong-omong, banyak orang bertanya-tanya, siapa gerangan yang akan tampil sebagai pemimpin redaksi JP yang baru. Di "luaran" semakin santer terdengar bahwa Sabam Siagian, yang akhir pekan ini genap berusia 59 tahun, akan mendapat tugas baru sebagai duta besar RI di Australia (lihat Nasional). Kalau itu benar, tak mudah agaknya untuk mencari pengganti laki-laki yang gemar mengisap cangklong, dan punya gaya tersendiri dalam menulis tajuk rencana. Budi Kusumah dan Liston Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini