Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru sepuluh langkah dari sekolah menengah pertama di kawasan Kayu Manis, Jakarta Timur, Arie mampir di warung rokok. Dia membeli sebatang rokok kretek. Sambil berjalan bersama teman-temannya menuju pulang, remaja laki-laki yang baru 13 tahun ini menikmati setiap isapan rokoknya. ”Kalau nggak merokok beberapa jam saja, mulut asem,” ujar Arie, yang mengaku mulai merokok sejak kelas enam SD.
Arie mulai mengisap nikotin batangan karena ikut-ikut lingkungan. Ayahnya perokok. Namun, bila dia merokok di rumah, dia digampar ayahnya, sedangkan bila ayahnya merokok tak ada siapa pun yang menggampar. Maka Arie memanfaatkan waktu istirahat dan pulang sekolah untuk merokok.
Yang terjadi pada Arie juga terjadi pada banyak anak seusianya, bahkan lebih muda. Menurut penelitian pada 2007 oleh sebuah lembaga antirokok di usia muda di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO), Global Youth Tobacco Survey, usia perokok di Indonesia makin muda. Dulu, usia anak pertama kali merokok adalah saat SMP, tapi sekarang banyak dijumpai anak-anak kelas empat SD sudah merokok. ”Celakanya, perokok kelompok umur paling muda, 5 hingga 9 tahun, meningkat empat kali lipat pada 2007,” ujar Ketua Tobacco Control Support Centre, Dr Widyastuti Soerojo.
Dari data survei tersebut, ditemukan 78,2 persen perokok adalah kaum remaja. Jumlahnya naik dua kali lipat dari tiga tahun sebelumnya. Sedangkan pada 1995, perokok pemula—19 tahun ke bawah—64 persen. Angka tertinggi perokok remaja adalah pada usia 15 sampai 19 tahun. ”Tren semakin dini merokok memang makin menggila,” ujar Widyastuti yang ahli kesehatan masyarakat ini. Yang mengerikan, sebagian dari anak-anak muda ini, 30 menit setelah bangun tidur sudah ingin merokok.
Ini semua tak lepas dari gencarnya iklan rokok yang menggambarkan gaya anak muda yang asyik. Remaja menjadi tujuan industri rokok, karena kaum seumuran itu diharapkan akan menggantikan para perokok pendahulunya. ”Karena adiksi, mereka akan menjadi perokok jangka panjang. Target industri rokok adalah perokok jangka panjang,” kata Widyastuti.
Memang, setiap iklan rokok sama sekali tidak menampilkan orang muda yang sedang merokok. Namun cerita iklannya itu sendiri sangat menggoda. Ada gambaran lelaki jantan yang suka bertualang atau menggemari olah raga ekstrem. Juga ada yang menawarkan citra tampil beda dan selalu diikuti lainnya. Yang menampilkan anak muda bebas berekspresi dan punya gaya sendiri pun tersedia. Jadi, siapa pun anak muda yang ingin keren bisa tergiur.
Padahal faktanya sama sekali tidak keren. Sebab, selain mengakibatkan kecanduan, sederetan penyakit dari ujung kepala hingga kaki mengantre (lihat infografik: Efek Merokok Pada Remaja). Apalagi remaja selalu mengira, dapat dengan mudah berhenti merokok setelah masa coba-coba dua atau tiga tahun. Nyatanya tidak.
”Dorongan psikologi simbolis digantikan dengan efek farmakologi, efek ketergantungan,” kata Widyastuti. Maksudnya, ketika masih remaja, keputusan merokok lebih disebabkan dorongan emosional atau coba-coba akibat pengaruh iklan atau melihat lingkungan merokok. Namun, setelah usia bertambah, orang merokok karena sudah kecanduan dan jadi kebutuhan.
”Yang sangat disayangkan, pemerintah tak berbuat apa-apa,” ujar Widyastuti. Menurut Ketua Umum Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (FKPPAI) dr. Rachmat Sentika, meningkatnya perokok remaja dan anak-anak di Indonesia tak lepas dari kebijakan pemerintah yang hingga kini belum meratifikasi konvensi pembatasan rokok. Padahal ahli kesehatan masyarakat dunia pun sudah mempertanyakan kebijakan pemerintah Indonesia yang longgar terhadap industri rokok.
Dibandingkan Cina yang penduduknya lebih banyak dari Indonesia, persentase perokok belia di sana lebih kecil. Cina, yang berpenduduk 1,2 miliar, memiliki perokok aktif 300 juta orang atau sekitar seperempat dari jumlah penduduk. Sedangkan Indonesia, dengan 220 juta jiwa, 141,44 juta di antaranya, atau lebih dari setengah populasi, perokok aktif. Adapun 84,8 juta jiwa di antaranya berpenghasilan kurang dari Rp 20 ribu per hari—upah minimum regional untuk Jakarta sekitar Rp 38 ribu per hari.
Negara lain pun sudah bergiat menekan angka perokok dini. Di Jepang, perokok laki-laki usia 15 tahun ke bawah turun dari 81 persen menjadi 54 persen. Inggris juga berhasil menurunkan perokok usia di bawah 16 tahun dari 61 persen menjadi 55 persen. Amerika Serikat turun dari 52 persen menjadi 26 persen.
Rachmat dan Tuti sepakat, perlu diambil tindakan segera untuk menurunkan jumlah perokok usia muda. Caranya dengan meningkatkan pendidikan tentang bahaya merokok, meninggikan harga dan cukai rokok, membatasi merokok di tempat umum, serta melarang iklan rokok. ”Di sini juga terlalu mudah akses mendapatkan rokok,” kata Tuti. Seperti yang terjadi pada Arie. Hanya sepuluh langkah dari sekolahnya, dia bisa membeli sebatang rokok untuk menemaninya sampai ke rumah.
Ahmad Taufik
Efek Merokok Pada Remaja
Sistem saraf
Kelenjar endokrin (yang bertugas mengeluarkan hormon)
Tulang
Sistem Pernapasan Jangka pendek:
Jangka Panjang:
Jantung
Sistem otot
Sistem kekebalan tubuh
Saluran kencing
Pencernaan
Sistem reproduksi
Kulit
Kesehatan mental Mudah gelisah, depresi, dan cenderung ke penyalahgunaan obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo