Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belajar berorganisasi!” demikian hardik aktor sinetron Anwar Fuadi kepada sutradara Riri Riza. ”Yang boleh memotong saya bicara hanya Pak Hakim!” katanya lagi. Para hadirin terdiam. Suasana agak tegang.
Ruang sidang Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu menjelma menjadi sebuah lokasi syuting. Di hadapan sembilan hakim yang dipimpin Jimly Asshiddiqie, serombongan sineas, aktris, dan aktor yang menamai diri Masyarakat Film Indonesia (MFI)—yang memenuhi ruang sidang—menyampaikan bagaimana UU Nomor 8 Tahun 1992 perlu diuji kembali. Isi undang-undang itu, antara lain, semua film dan tayangan televisi harus melalui proses evaluasi Lembaga Sensor Film, yang memiliki wewenang penuh buat memotong atau bahkan menolak sebuah film untuk diedarkan. Kelompok MFI, yang diwakili sutradara Riri Riza, Nia Di Nata, Tino Saroenggalo, dan aktris Shanty, meminta Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan pasal ini diuji. Karena itulah Lembaga Sensor Film (LSF), yang dipimpin Titie Said, diundang Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penjelasan tentang fungsi LSF selama ini.
Lha, ternyata terjadilah ”drama” tadi. Anwar Fuadi, aktor sinetron yang juga menjadi salah satu anggota LSF, tengah bercerita tentang beberapa film yang menurut lembaga itu memang layak disensor. Riri Riza kemudian mencoba memotongnya. Maka terjadilah insiden itu di tengah sidang. Untung, hakim Jimly dengan kesabaran luar biasa mengingatkan semua yang hadir bahwa ini adalah sebuah sidang yang menguji pasal undang-undang, bukan pengadilan yang berisi gugatan. Jadi, setiap pihak tak perlu saling menyerang atau merasa diserang.
Ribut-ribut soal Lembaga Sensor Film memang sudah puluhan tahun usianya. Majalah ini, pada Juni 1994—sebelum akhirnya dibredel—membuat sebuah laporan utama yang mendiskusikan bagaimana lembaga itu sungguh tidak efektif dan tidak dibutuhkan kehadirannya. Jika Masyarakat Film Indonesia mempersoalkan wewenang lembaga ini atas pemotongan terhadap film mereka (mereka menyebut pemotongan terhadap film Berbagi Suami, Long Road to Heaven, dan 3 Hari untuk Selamanya), sebetulnya ini persoalan lama di masa Orde Baru, yang sudah terlalu lama terbengkalai.
”Lembaga Sensor Film adalah pulau sensor di tengah samudra informasi,” tutur Seno Gumira Ajidarma pekan lalu sebagai saksi ahli yang diajukan pihak MFI sebagai pemohon. Seno tak percaya pada penonton yang pasif. Menurut dia, sejak 1980-an, penonton film telah berpikir kritis. Penontonlah yang memberi makna pada setiap gambar yang berlari di atas layar, bukan sutradara.
Kesaksian yang diberikan oleh Goenawan Mohamad juga mendukung pernyataan Seno. ”Ada kesan bahwa kami menginginkan kemerdekaan tanpa batas. Padahal bukan itu yang kami inginkan,” kata Goenawan, yang memberikan beberapa pengalamannya di masa lalu sebagai anggota Badan Sensor Film. Sembari mengutip sepotong sajak Amir Hamzah, ia mengkritik mereka yang melihat atau menilai seni film atau sastra sepotong-sepotong. ”Amat berbahaya menafsirkan suatu karya hanya sepotong-sepotong. Segala sesuatu dalam seni harus dilihat dari konteks,” kata Goenawan, yang juga mengkritik LSF yang ingin menunjukkan serangkaian potongan film yang disensornya kepada sidang Mahkamah Konstitusi. Di akhir kesaksiannya, Goenawan juga mengkritik mereka yang tidak percaya kepada pihak-pihak yang tidak mempercayai generasi muda dalam berkarya dan yang masih menganggap rakyat bodoh. ”Percayalah, mereka tidak seperti itu,” kata Goenawan.
Sementara itu, LSF menyajikan belasan saksi ahli dari berbagai unsur agama. Rata-rata saksi ahli menyatakan film dan televisi masih membutuhkan LSF dengan alasan masyarakat masih perlu dilindungi dari pornografi. Bahkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, ”Suatu hari LSF tidak diperlukan lagi. Tapi sekarang kita masih membutuhkannya.”
Mira Lesmana dari MFI menganggap lembaga yang dibutuhkan sebetulnya sama seperti di berbagai negara maju, yaitu Lembaga Klasifikasi. ”Ini lembaga yang menentukan sebuah film layak ditonton oleh keluarga, film anak-anak, atau film dewasa.” Karena itu, perlindungan cukup dilakukan dengan klasifikasi film dan penonton berdasarkan usia serta pelaksanaan yang ketat dari pihak bioskop.
Leila S. Chudori, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo