Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ruwiyanto, Setelah Halilintar ...

Pernyataan Menteri Kehakiman Modjono Sh, tidak terbukti ada pungli oleh para hakim yang mengadili dan membebaskan Paul Handoko. (hk)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Kehakiman Mudjono SH pertengahan Desember lalu menilai pembebasan Paul Handoko sebagai wajar. Sebab seperti dinyatakan Menteri di Istana Cendana, memang tak terbukti ada "pungli" oleh para hakim yang mengadili dan membebaskan Direktur PT Kencana Murni Utama tersebut. Keputusan ini tentu suatu yang penting terutama bagi Hakim Ruwiyanto Sebab untuk beberapa waktu berbagai prasangka yang dialamatkan kepadanya membuat hakim ini tak kelihatan duduk memimpin sidang. Ia terus disorot berbagai pihak. Bahkan sampai namanya tercoret untuk memimpin sidang pengadilan mahasiswa yang belum juga terlaksana itu. Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman, menurut Irjen Soeharcono SH, telah selesai memeriksa Ruwiyanto berikut beberapa orang lagi. "Namanya tak perlu diumumkan," kata Irjen. Yang jelas, menwrut Paul Handoko, dia tidak ikut dipanggil menghadap tim pemeriksa. Hasilnya, "tak pernah ditemukan bukti tentang isyu yang dihubung-hubungkan dengan para hakim," ujar Iren. Jadi tak terbukti ada penyuapan Rp 30 juta seperti dituduhkan. Begitu pula setelah meneliti vonis "dengan tetap menjunjung tinggi kebebasan hakim," Irjen berpendapat semuanya kelihatan beres. Putusan yang diambil majelis hakim di bawah Ruwiyanto menurut Irjen, "sangat teliti mempertimbangkan segala segi hukum dan memperhatikan semua yang diungkapkan dalam pengadilan." Pokoknya keputusan Ruwiyanto tentang Paul Handoko "dapat mereka pertanggungjawabkan." Atau, seperti kata Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Senoadji SH: "Yang penting keputusan pengadilan itu diambil oleh seorang hakim yang bersih." Soal tepat atau tidak pertimbangan atau keputusannya, itu soal lain. "Toh masih bisa dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung," ujar Senoadji. Jadi semuanya sudah jernih. Seperti kata Advokat Adnan Buyung Nasution melalui siaran pers LBH, dengan pernyataan Menteri Kehakiman di atas "telah menjernihkan semua kabut yane men jadikan pengadilan sebagai bulan-bulanan kecurigaan pers dan masyarakat. " Kelegaan terlihat pula pada pihak Ruwiyanto. Tapi seperti halnya ketika ia masih jadi tumpuan kritik -- juga kritik terhadap badan peradilan? -- sarjana hukum alumnus FH Gajahmada (1964) ini, tetap saja tak banyak bicara. "Biarlah orang lain yang ngomong," katanya, "saya melihat saja." Kedua rekannya yang sama-sama mengadili Paul Handoko, Hartomo SH dan Abunasor SH -- keduanya juga alumni Gajahmada dan seangkatan dengan Ruwiyanto -- juga tak ada komentar. Yang muncul tanggapan keras Buyung Nasution. Sebagai pelajaran, katanya, ada baiknya Ruwiyanto menggugat Direktur Pabean Bea Cukai, F.H. Punu, yang pernah menilai putusannya terhadap Paul Handoko sebagai "putusan gila". Atau mengadukan anggota DPR Rl Amin Iskandar, yang menyebut keputusannya "seperti halilintar di siang bolong." Hal itu baik, menurut Buyung, agar lain kali orang tak mudah meragukan integritas seorang hakim. "Tidak asal bunyi saja, " tambah Buyung. Ruwiyanto tak menanggapi seruan Buyung Nasution. Ketua IKAHI (organisasi hakim), Palti Raja Siregar (juga anegota Hakim Agung), tak merasa perlu menuntut siapa-siapa. "Putusan hakim," katanya, "selalu diserang -- terutama olch yang kalah. Lalu, apakah setiap yang menyerang dituntut?" Apalagi baik Amin Iskandar maupun Punu, seperti katanya kepada TEMPO ternyata tidak berniat jelek. Punu, yang disebut pernah mengatakan "putusan gila," katanya, "persisnya tidak mengatakan begitu." Lalu apa? Direktur Pabean itu tidak menjelaskan lebih lanjut. Sedangkan untuk kata-katanya "seperti halilintar di siang bolong," Amin Iskandar berkata, "tidak mengandung unsur negatif apalagi berniat mendiskreditkan hakim." Hanya sebagai pernyataan rasa terkejut saja: Masak ketika pemerintah dan rakyat sedang gandrung memberantas korupsi kok ada hakim yang membebaskan terdakwa yang dituntut hukuman 11 tahun penjara karena dituduh merugikan negara Rp 427 juta? Jangan Main Pokrol Buyung geleng kepala. "Jangan main pokrol," katanya. Dia menilai komentar-komentar terhadap putusan Ruwiyanto, terutama oleh Amin Iskandar dan Punu, "ada hubungannya dengan menanggapi keputusan hakim itu tidak bersih dan tidak jujur." Tapi suasana waktu itu memang membuka peluang bagi kritik terhadap keputusan pengadilan. Lihat saja. Paul Handoko belum selesai berurusan dengan lukum. Dia masll menunggu putusan banding yang diajukan kejaksaan ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun beberapa langkah terdahulu dia sudah mengantongi beberapa kemenangan yang mau tak mau menarik perhatian dan dicurigai di sana-sini. Pertama, pengusaha muda ini mendapat izin hakim keluar dari tahanan setelah meletakkan uang jaminan Rp 5 juta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lalu dengan perkenan pengadilan juga, beberapa mobil yang disangka tersangkut perkaranya boleh segera diangkat dari halaman Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Budiutomo. Karier Dan Jabatan Dan terakhir -- sebelum pernyataan Menteri Kehakiman tadi --majelis hakim di bawah Ruwiyanto Oktober lalu membebaskannya dari tuntutan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 20 juta. Bahkan hakim juga membebaskan Paul Handoko dari segala tuduhan Jaksa Tumilar. Artinya kelalaiannya menunaikan kewajiban membayar bea-masuk, pungutan pabean lain kepada Bea Cukai dan macam-macam pajak sehingga merugikan keuangan negara sampai Rp 427 juta, bukanlah kejahatan korupsi seperti tuduhan jaksa. Tuduhan-tuduhan jaksa yang lain, seperti memalsukan dokumen Departemen Luar Negeri dan lain-lain, oleh majelis hakim dianggap tak terbukti sama sekali. (TEMPO, 11 Nopember 1978). Dan pembebasan murni atau vrijspraak bagi Paul Handoko. Jaksa Tumilar tak puas. Ia terus minta banding ke Pengadilan Tinggi. Sebab ia menganggap keputusan itu masih merupakan "pembebasan terselubung," seperti kata Kabag Operasi Kejari, Soeharto SH. Menanggapi kejadian ini, seorang hakim senior di Jakarta berkata: "Apakah masuk akal Ruwiyanto mempertaruhkan karier dan jabatannya untuk menerima suap dari suatu perkara yang menarik perhatian seperti kasus Paul Handoko yang pasti disorot umum itu?" Apa lagi - Ruwiyanto baru muncul di Jakarta. Sebelum bertugas di Jakarta, orang Yogya ini duduk di pengadilan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah itu berturut-turut sebagai Ketua Pengadilan Negeri di Purwakarta dan Ciamis. Ketika orang ramai menyorotinya dia tetap kalem dan tersenyum. Ia termasuk hakim yang selalu masuk kantor pagi-pagi dengan mobil Fiat tahun 1960-an. Jika Ruwiyanto sendiri tak bersedia memberi tanggapan terhadap berbagai sorotan terhadap dirinya, Irjen Departemen Kehakiman Soehartono yang berkomentar: "Kritik masyarakat wajar. Dilihat dari segi kebaikannya," kata Soehartono "masyarakat memang boleh mengungkapkan rasa keadilannya yang sering dikecewakan oleh sementara oknum penegak hukum."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus