MENTERI Kehakiman Mudjono SH pertengahan Desember lalu menilai
pembebasan Paul Handoko sebagai wajar. Sebab seperti dinyatakan
Menteri di Istana Cendana, memang tak terbukti ada "pungli" oleh
para hakim yang mengadili dan membebaskan Direktur PT Kencana
Murni Utama tersebut.
Keputusan ini tentu suatu yang penting terutama bagi Hakim
Ruwiyanto Sebab untuk beberapa waktu berbagai prasangka yang
dialamatkan kepadanya membuat hakim ini tak kelihatan duduk
memimpin sidang. Ia terus disorot berbagai pihak. Bahkan sampai
namanya tercoret untuk memimpin sidang pengadilan mahasiswa yang
belum juga terlaksana itu.
Inspektorat Jenderal Departemen Kehakiman, menurut Irjen
Soeharcono SH, telah selesai memeriksa Ruwiyanto berikut
beberapa orang lagi. "Namanya tak perlu diumumkan," kata Irjen.
Yang jelas, menwrut Paul Handoko, dia tidak ikut dipanggil
menghadap tim pemeriksa. Hasilnya, "tak pernah ditemukan bukti
tentang isyu yang dihubung-hubungkan dengan para hakim," ujar
Iren. Jadi tak terbukti ada penyuapan Rp 30 juta seperti
dituduhkan.
Begitu pula setelah meneliti vonis "dengan tetap menjunjung
tinggi kebebasan hakim," Irjen berpendapat semuanya kelihatan
beres. Putusan yang diambil majelis hakim di bawah Ruwiyanto
menurut Irjen, "sangat teliti mempertimbangkan segala segi hukum
dan memperhatikan semua yang diungkapkan dalam pengadilan."
Pokoknya keputusan Ruwiyanto tentang Paul Handoko "dapat mereka
pertanggungjawabkan." Atau, seperti kata Ketua Mahkamah Agung,
Prof. Oemar Senoadji SH: "Yang penting keputusan pengadilan itu
diambil oleh seorang hakim yang bersih." Soal tepat atau tidak
pertimbangan atau keputusannya, itu soal lain. "Toh masih bisa
dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung," ujar
Senoadji.
Jadi semuanya sudah jernih. Seperti kata Advokat Adnan Buyung
Nasution melalui siaran pers LBH, dengan pernyataan Menteri
Kehakiman di atas "telah menjernihkan semua kabut yane men
jadikan pengadilan sebagai bulan-bulanan kecurigaan pers dan
masyarakat. "
Kelegaan terlihat pula pada pihak Ruwiyanto. Tapi seperti halnya
ketika ia masih jadi tumpuan kritik -- juga kritik terhadap
badan peradilan? -- sarjana hukum alumnus FH Gajahmada (1964)
ini, tetap saja tak banyak bicara. "Biarlah orang lain yang
ngomong," katanya, "saya melihat saja."
Kedua rekannya yang sama-sama mengadili Paul Handoko, Hartomo SH
dan Abunasor SH -- keduanya juga alumni Gajahmada dan seangkatan
dengan Ruwiyanto -- juga tak ada komentar. Yang muncul tanggapan
keras Buyung Nasution. Sebagai pelajaran, katanya, ada baiknya
Ruwiyanto menggugat Direktur Pabean Bea Cukai, F.H. Punu, yang
pernah menilai putusannya terhadap Paul Handoko sebagai "putusan
gila". Atau mengadukan anggota DPR Rl Amin Iskandar, yang
menyebut keputusannya "seperti halilintar di siang bolong." Hal
itu baik, menurut Buyung, agar lain kali orang tak mudah
meragukan integritas seorang hakim. "Tidak asal bunyi saja, "
tambah Buyung.
Ruwiyanto tak menanggapi seruan Buyung Nasution. Ketua IKAHI
(organisasi hakim), Palti Raja Siregar (juga anegota Hakim
Agung), tak merasa perlu menuntut siapa-siapa. "Putusan hakim,"
katanya, "selalu diserang -- terutama olch yang kalah. Lalu,
apakah setiap yang menyerang dituntut?"
Apalagi baik Amin Iskandar maupun Punu, seperti katanya kepada
TEMPO ternyata tidak berniat jelek. Punu, yang disebut pernah
mengatakan "putusan gila," katanya, "persisnya tidak mengatakan
begitu." Lalu apa? Direktur Pabean itu tidak menjelaskan lebih
lanjut. Sedangkan untuk kata-katanya "seperti halilintar di
siang bolong," Amin Iskandar berkata, "tidak mengandung unsur
negatif apalagi berniat mendiskreditkan hakim." Hanya sebagai
pernyataan rasa terkejut saja: Masak ketika pemerintah dan
rakyat sedang gandrung memberantas korupsi kok ada hakim yang
membebaskan terdakwa yang dituntut hukuman 11 tahun penjara
karena dituduh merugikan negara Rp 427 juta?
Jangan Main Pokrol
Buyung geleng kepala. "Jangan main pokrol," katanya. Dia menilai
komentar-komentar terhadap putusan Ruwiyanto, terutama oleh Amin
Iskandar dan Punu, "ada hubungannya dengan menanggapi keputusan
hakim itu tidak bersih dan tidak jujur."
Tapi suasana waktu itu memang membuka peluang bagi kritik
terhadap keputusan pengadilan. Lihat saja. Paul Handoko belum
selesai berurusan dengan lukum. Dia masll menunggu putusan
banding yang diajukan kejaksaan ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Namun beberapa langkah terdahulu dia sudah mengantongi beberapa
kemenangan yang mau tak mau menarik perhatian dan dicurigai di
sana-sini.
Pertama, pengusaha muda ini mendapat izin hakim keluar dari
tahanan setelah meletakkan uang jaminan Rp 5 juta di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Lalu dengan perkenan pengadilan juga,
beberapa mobil yang disangka tersangkut perkaranya boleh segera
diangkat dari halaman Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat di
Jalan Budiutomo.
Karier Dan Jabatan
Dan terakhir -- sebelum pernyataan Menteri Kehakiman tadi
--majelis hakim di bawah Ruwiyanto Oktober lalu membebaskannya
dari tuntutan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 20 juta.
Bahkan hakim juga membebaskan Paul Handoko dari segala tuduhan
Jaksa Tumilar. Artinya kelalaiannya menunaikan kewajiban
membayar bea-masuk, pungutan pabean lain kepada Bea Cukai dan
macam-macam pajak sehingga merugikan keuangan negara sampai Rp
427 juta, bukanlah kejahatan korupsi seperti tuduhan jaksa.
Tuduhan-tuduhan jaksa yang lain, seperti memalsukan dokumen
Departemen Luar Negeri dan lain-lain, oleh majelis hakim
dianggap tak terbukti sama sekali. (TEMPO, 11 Nopember 1978).
Dan pembebasan murni atau vrijspraak bagi Paul Handoko.
Jaksa Tumilar tak puas. Ia terus minta banding ke Pengadilan
Tinggi. Sebab ia menganggap keputusan itu masih merupakan
"pembebasan terselubung," seperti kata Kabag Operasi Kejari,
Soeharto SH.
Menanggapi kejadian ini, seorang hakim senior di Jakarta
berkata: "Apakah masuk akal Ruwiyanto mempertaruhkan karier dan
jabatannya untuk menerima suap dari suatu perkara yang menarik
perhatian seperti kasus Paul Handoko yang pasti disorot umum
itu?" Apa lagi - Ruwiyanto baru muncul di Jakarta. Sebelum
bertugas di Jakarta, orang Yogya ini duduk di pengadilan
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah itu berturut-turut
sebagai Ketua Pengadilan Negeri di Purwakarta dan Ciamis. Ketika
orang ramai menyorotinya dia tetap kalem dan tersenyum. Ia
termasuk hakim yang selalu masuk kantor pagi-pagi dengan mobil
Fiat tahun 1960-an.
Jika Ruwiyanto sendiri tak bersedia memberi tanggapan terhadap
berbagai sorotan terhadap dirinya, Irjen Departemen Kehakiman
Soehartono yang berkomentar: "Kritik masyarakat wajar. Dilihat
dari segi kebaikannya," kata Soehartono "masyarakat memang
boleh mengungkapkan rasa keadilannya yang sering dikecewakan
oleh sementara oknum penegak hukum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini