Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUE—sebut saja namanya begitu—tak bisa menutupi kegembiraannya ketika ditanya tentang berita kehamilannya. "Saya sangat bersyukur," kata perempuan 31 tahun ini lewat sambungan telepon, Kamis pekan lalu. Saat itu usia kandungannya sudah mencapai 12 pekan.
Sue dan suaminya menikah lima tahun lalu. Keduanya warga negara Tiongkok, tapi tengah menetap di Jakarta untuk urusan bisnis. Hingga tahun ketiga usia perkawinan mereka, tanda-tanda kehamilan tak kunjung tampak. Tentu ini membuat mereka resah nan galau. Dari pemeriksaan dokter, diketahui bahwa Sue memiliki masalah pada indung telur dan tuba falopi (saluran yang menghubungkan indung telur dan rahim).
Salah satu dari dua indung telurnya memang sudah dipotong dalam operasi pengangkatan kista tatkala dia duduk di sekolah menengah atas. Sedangkan indung telur sisanya masih memproduksi sel telur secara normal, tapi tuba falopinya tersumbat. Akibatnya, sel telur tak pernah bertemu dengan sperma. Kencan tak pernah terjadi.
"Akhirnya kami memutuskan memakai cara bayi tabung," ujar Sue. Dia memilih menjalani program ini di Klinik Morula IFV, Jakarta. Berbagai proses dan tahapan pun diikuti suami-istri itu dengan tekun, dan kini hasilnya mulai tampak. Sue telah berbadan dua.
Menurut Sue, salah satu sebab keberhasilan itu adalah mereka mengikuti program pemeriksaan embrio. Inilah metode pemilahan embrio berdasarkan pemeriksaan kromosom. Hanya embrio yang berkromosom bagus yang akan ditanamkan di rahim. "Kami menjalani pemeriksaan kromosom itu pada Desember tahun lalu."
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan di Klinik Morula, Taufik Jamaan, mengatakan cara itu diperlukan karena selama ini tingkat keberhasilan program bayi tabung yang biasa hanya 40 persen. Adapun penyebab kegagalan itu, sebesar 50 persen, adalah masalah kromosom. Sisanya terjadi karena soal kekentalan darah, infeksi, persoalan fisik seperti kelelahan dan stres, masalah hormon, serta faktor yang tak bisa dijelaskan. Embrio dengan kromosom yang tak sehat, kata Taufik, akan gampang luruh setelah ditanam di rahim ibu. "Kalaupun menempel, kromosom ini akan gugur sendiri."
Saat ini, seperti diterapkan pada Sue, hal itu dapat dicegah dengan seleksi kromosom embrio ataupre-implantation genetic screening (PGS). Cara ini sudah dilakukan di Amerika Serikat dan Thailand. Tapi di Tanah Air baru digulirkan akhir tahun lalu. Selain Klinik Morula yang berafiliasi dengan Rumah Sakit Bunda, beberapa rumah sakit sudah mempraktekkan hal ini.
Taufik menjelaskan, embrio normal memiliki sejumlah sel yang masing-masing mengandung 46 kromosom. Itu termasuk kromosom X dan Y, yang menentukan jenis kelamin. Kalau kromosomnya kurang atau lebih dari jumlah tersebut, dipastikan embrio memiliki kelainan. Embrio cacat inilah yang tak akan bertahan lama di rahim dan menyebabkan kegagalan bayi tabung.
Proses pemeriksaan kromosom dilakukan pada hari kelima setelah proses pertemuan sel telur dan sperma. Pada saat itu, sel dalam embrio sudah berkembang banyak. Salah satu sel—mewakili yang lain—akan diambil untuk diamati. Jika selnya memenuhi kualitas, tahap selanjutnya adalah dilakukan transfer ke rahim ibu. Tapi, kalau kualitasnya buruk, transfer tak akan dilakukan karena hampir pasti akan mengalami kegagalan.
Sebelum ada teknologi ini, proses pemilihan embrio yang akan dimasukkan ke rahim hanya berdasarkan bentuknya. Hanya embrio berbentuk bagus yang dipilih untuk ditanam. Tapi ternyata embrio "ganteng" ini pun bisa memiliki kelainan genetik sampai 80 persen. Tentu perkembangannya tidak akan optimal atau bahkan luruh setelah ditanam di rahim.
Menurut Profesor Arief Boediono, embrio yang memiliki kelainan genetis kadang memang bisa bertahan dan menghasilkan kehamilan. Tapi nantinya sifat abnormal ini terus bertahan. Akibatnya anak yang dilahirkan akan menderita penyakit kelainan genetik. Misalnya mengidap leukemia,talasemia,dan sindrom Down alias masalah genetik yang menyebabkan keterbelakangan mental dan fisik.
Bisa juga anak akan mengalami sindrom Turner,yaitu masalah genetik pada perempuan yang menyebabkan gangguan fisik, seperti badan pendek, mandul, dan kelainan jantung. "Jadi embrio yang tak memiliki kelainan genetik saja yang boleh ditransfer ke rahim," kata guru besar Institut Pertanian Bogor yang juga berpraktek di Klinik Morula IVF ini. Menurut Arief, dengan metode screening embrio, kemungkinan kehamilan pada program bayi tabung bisa ditingkatkan menjadi 70 persen.
Lalu muncullah pertanyaan berikutnya. Karena pemeriksaan embrio ini meneliti kromosom, mungkinkah bayi tabung bisa diprogram sekaligus untuk memilih jenis kelamin? Arief mengiyakan kemungkinan tersebut. Tapi dia mengingatkan bahwa hal itu akan terbentur aturan pemerintah. Pak profesor menunjuk Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa reproduksi dengan bantuan atau kehamilan dengan cara non-alami dilarang untuk memilih jenis kelamin, kecuali untuk anak kedua dan selanjutnya.
Ini memang berbeda dengan program screening embrio di Thailand dan Amerika Serikat, yang tak melarang pemilihan jenis kelamin tersebut. Tak mengherankan bila banyak pasien dari Asia dan Eropa memilih melakukan screening embrio dan bayi tabung di sana dengan alasan bebas memilih jenis kelamin.
Arief berharap agar soal pemilihan jenis kelamin itu tidak menjadi persoalan utama. Toh, "Yang utama dari pemeriksaan kromosom ini adalah menyeleksi embrio yang bermutu agar bisa bertahan hingga lahir dari rahim ibu," ujarnya.
Soal yang utama lain tentu saja dana. Para orang tua yang mendamba buah hati dari program ini wajib merogoh kocek sekurangnya Rp 50 juta untuk pemeriksaan empat embrio. Mahal? Belum tentu. "Sebab, proses ini bisa jadi justru lebih murah dibandingkan dengan cara bayi tabung tanpa screening," kata Arief. Sebab, itu tadi, cara screening bisa menekan risiko kegagalan kehamilan dan mengeliminasi kelainan genetik.
Ya, jumlah tabungan memang mesti cukup demi suksesnya program bayi tabung. Seperti Sue dan salah seorang pasien lain di Klinik Morula yang saat ini tengah menabung kegembiraan dengan kehamilan yang sudah dinanti-nanti itu.
Nur Alfiyah, Mitra Tarigan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo