Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu pagi pekan lalu tampak cerah dengan sedikit awan. Pesisir pantai Falajawa, kawasan wisata yang terentang sepanjang satu kilometer di pusat Ternate, sudah dipenuhi ribuan orang. Waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi, tapi pengukur suhu sudah menunjukkan angka 32 derajat Celsius. Terik yang menyengat tak menggoyahkan warga kota yang hiruk-pikuk berdiri di tepi pantai terbuka menanti fenomena gerhana matahari total.
Sekitar 50 meter dari tepi pantai yang ramai, di atap bangunan Falajawa Residence, para peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) asyik berkumpul dan mengamati citra matahari dari layar kamera yang tersambung ke teleskop Vixen putih. Payung besar dan topi lebar melindungi mereka dari terik matahari.
Keputusan tim Lapan memasang teleskop di atas atap gedung berlantai itu tepat. Aktivitas riset mereka tak terganggu keramaian warga kota. "Rencananya mau dipasang di benteng Toluko, tapi pasti ramai juga di sana. Akhirnya kami pindah ke sini supaya tidak terganggu," kata Farahhati Mumtahana, koordinator tim peneliti Lapan, kepada Tempo.
Sejumlah penduduk ikut menonton gerhana di atap itu bersama tim Lapan. Namun, untuk menjaga lokasi pengamatan, tim Lapan memasang tali biru sebagai pembatas. Secarik kertas bertulisan permohonan untuk tidak memotret menggunakan flash pun dipasang di pinggir area pengamatan. "Untuk meminimalkan gangguan dari luar ke instrumen kami," ujar Farahhati.
Ternate adalah satu dari sebelas kota di Indonesia yang masuk jalur lintasan gerhana matahari total. Proses gerhana di Ternate sebenarnya baru dimulai pukul 08.32. Tapi ribuan orang sudah memadati pesisir pantai Falajawa, lokasi pengamatan favorit dari 13 titik observasi yang ditetapkan pemerintah kota, sejak tiga jam sebelumnya. Lokasi pengamatan lain, seperti di belakang Mal Jatiland, halaman Masjid Al-Munawar, Swering Air Guraka, dan ujung Pelabuhan Ahmad Yani, juga dipenuhi warga kota.
Beberapa pengamat gerhana dan para fotografer bahkan datang lebih pagi untuk memasang peralatan mereka di lokasi strategis di Falajawa agar tak disalip orang lain. Benteng Toluko, bangunan batu di atas bukit di Kelurahan Sangaji, Ternate Utara, sekitar empat kilometer dari pantai Falajawa, juga dipadati para pemburu gerhana. Belasan kamera berlensa panjang sudah dipasang sejak pagi hari di bagian dinding benteng yang menghadap ke arah timur.
Tepuk tangan, pekik takbir, dan gemuruh kentongan membahana di sepanjang pantai Falajawa ketika piringan matahari tertutup total oleh bulan. Jam menunjukkan sekitar pukul 09.52. Kota Ternate yang tadinya benderang menjadi remang-remang. Hawa panas yang menyengat berubah sejuk seperti suasana malam hari. "Saya sampai merinding bisa merasakan langsung gerhana ini," kata Hayati Agil, warga kampung Falajawa.
Valeria Fitri, warga Kota Ternate, datang ke pantai Falajawa bersama belasan anggota keluarganya. Dia sangat penasaran ingin melihat gerhana matahari total yang banyak dibahas orang dan media massa. "Ini gerhana pertama yang saya lihat," ujar Fitri, yang sengaja pulang dari Palu, Sulawesi Tengah, untuk melihat gerhana di kota kelahirannya. "Dulu pada 1983 ada gerhana juga, tapi saya masih kecil dan disuruh sembunyi di bawah ranjang oleh orang tua."
Fenomena ini tak cuma menarik minat warga Ternate. Sekitar 1.300 turis asing pun datang ke kota itu. Marc Ferrie, warga Toulouse, Prancis, tiba di Ternate sejak awal pekan untuk menikmati gerhana. Menurut Ferrie, warga Kota Ternate sangat beruntung bisa melihat gerhana matahari total dengan jelas. "Ini peristiwa luar biasa yang dicari banyak orang," kata Ferrie, yang memutuskan tinggal sebentar menikmati Kota Ternate sebelum kembali ke Prancis.
Gerhana matahari total juga menjadi buruan para peneliti. "Saya sangat senang karena ini gerhana total pertama yang saya amati," ujar Anton Winarko, anggota tim Lapan yang datang ke Ternate untuk meneliti efek gerhana terhadap geomagnetik bumi.
Menurut Anton, matahari mengeluarkan energi yang mempengaruhi medan magnet bumi. Riset tentang pengaruh gerhana terhadap geomagnetik bumi, kata Anton, pernah dilakukan di wilayah dengan posisi lintang tinggi seperti di wilayah Eropa dan Amerika. "Di wilayah lintang rendah seperti Indonesia yang berada di khatulistiwa seingat saya belum dilakukan," ujarnya.
Anton ikut membantu tim Farahhati yang melakukan riset astrometri. Bersama tiga rekannya, Johan Muhammad, Anton Timur Jaelani, dan Heri Sutastio, Farahhati memetakan bintang-bintang di belakang matahari yang akan tampak ketika terjadi gerhana total. Menurut Farahhati, cuaca Ternate tergolong paling cerah dibanding lokasi-lokasi pengamatan di daerah lain yang berawan tebal dan hujan. "Data yang saya dapat cukup baik," katanya.
Farahhati belum dapat memastikan jumlah, nama, dan posisi bintang yang diamati karena datanya harus dibandingkan dengan kondisi langit pada malam hari. Untuk proses analisis ini, mereka membutuhkan waktu sedikitnya enam bulan. "Tapi kami berhasil mendapat fitur langka baily's bead, korona, diamond ring, dan prominensa yang hanya bisa dilihat saat gerhana total," ucapnya.
Di Poso, Sulawesi Tengah, para peneliti juga berhasil mendapatkan gerhana matahari total yang bagus. Foto gerhana matahari total yang diambil Yudi Soeharyadi, peneliti dari UNAWE Indonesia dan Institut Teknologi Bandung, memperlihatkan piringan matahari tertutup sempurna oleh bulan. Pendar cahaya putih memancar di sekeliling piringan hitam matahari yang terhalang bulan. "Alhamdulillah, di Poso fantastic," kata dosen astronomi ITB, Premana W. Premadi.
Pendulum Foucault modern buatan tim Observatorium Bosscha yang dibawa dari Bandung ke Poso bekerja sesuai dengan rencana saat gerhana matahari total, Rabu, 9 Maret 2016. Direktur Observatorium Bosscha Mahasena Putra menempatkan pendulum itu di sebuah ruang kepala sekolah dekat lokasi pengamatan bersama di Lapangan Kalora. "Hasil datanya dalam satu-dua hari, secara kasatmata belum ada yang spektakuler," ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pendulum itu dipakai untuk meneliti efek gerhana matahari total pada rotasi bumi dan gravitasi. Pada 27 Februari lalu, pendulum itu sudah diuji coba di ruang bengkel teknik observatorium. Alat yang mengadopsi perangkat sejenis bikinan tim peneliti astronomi dari Argentina itu bisa membuat bandul pendulum terus berayun dengan tenaga listrik dan otomatis mencatat data hasil kerja alat di komputer.
Penelitian itu merujuk pada temuan dan riset ilmuwan Prancis, Maurice Allais. Pada gerhana matahari total 30 Juni 1954 dan 22 Oktober 1959 di Prancis, dia melihat ada anomali gerakan pendulum. Gerak pendulum yang searah jarum jam itu berputar sedikit lebih cepat dari biasanya, kemudian normal kembali. Gerak putar pendulum itu seiring dengan rotasi atau perputaran harian bumi.
Di Poso, kata Mahasena, tim memasang alat sejak Senin pekan lalu dan diuji coba penuh sejak Selasa. Karena tak mendapatkan tempat seperti di observatorium, bandul pendulum ditopang menara bambu. Penempatannya di ruang tertutup untuk menghindari embusan angin, yang bisa mempengaruhi gerak bandul pendulum. "Ada bagian bambu yang lentur sehingga gerak bandul agak lonjong. Hasil datanya nanti perlu dihitung ulang," kata Mahasena.
Gabriel Wahyu Titiyoga (Ternate), Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo