ORANG kecil tetapi penting artinya untuk rumah tangga, banyak
sekali. Di antaranya tukang listrik.
Kebanyakan orang menatap pekerja kecil ini dengan rasa heran.
Listrik yang merupakan hasil teknologi yang penuh kegunaan, tapi
buas kalau diperlakukan sembrono, seringkali masih merupakan
rahasia ajaib bagi masyarakat. Seorang tukang listrik, yang
kelihatan acuh terhadap segala bahaya listrik -- karena ia telah
menguasainya -- tiba-tiba menjadi tontonan kalau sedang meladeni
listrik dengan seluruh alat-alatnya.
Di kota-kota kecil tukang listrik mungkin sekali menjadi angkuh
-- karena dibutuhkan banyak orang. Di kota-kota besar tukang
listrik bisa memperoleh pendapatan yang lumayan. Tetapi seorang
tukang listrik yang sejati, sebenarnya tak lebih dari seorang
yang setiap kali bergaul dengan maut. Ada sebuah foto yang
memenangkan sebuah kontes -- menunjukkan gambar seorang tukang
listrik tersangkut kaku di rentangan kawat, seperti sebuah
layangan putus. Pekerjaan ini memang amat berbahaya. Tapi toh
orang masih banyak yang suka menjalaninya.
Disambar Geledek
"Berani panjat pohon? Berani panjat tiang listrik?" demikian
pertanyaan yang diajukan kepada Asmad di zaman Nica dulu. Pemuda
itu melamar hendak menjadi karyawan listrik Belanda di Gambir,
Jakarta. Asmad kelahiran Tangerang tahun 1929. Melamar jadi
pegawai tahun 1949. Di kalangan rekan-rekannya ia memang
tersohor ahli memanjat pohon kelapa. Tapi kenapa ia melepaskan
pelukannya dari batang kelapa, lalu memanjat tiang besi yang
berbahaya, tak lain karena ketakutan juga.
Sebagaimana manusia pada umumnya, Asmad takut mati. Apalagi mati
disambar geledek. Di masa ia menjadi buruh upahan, menurunkan
kelapa, ia bersekongkol dengan Beni dan Karim. Pada suatu hari
yang tenang beroperasilah tiga sekawan ini dalam sebuah kebun
kelapa. Tengah asyik menjatuhkan buah kelapa yang sudah kering,
tiba-tiba langit disapu mendung, lantas hujan tercurah tak bisa
ditunda lagi. Asmad dan kawan-kawan bukan orang yang gampang
menyerah. Pekerjaan diteruskan.
Kilat mulai sabung-menyabung, membentur langit dengan dahsyat.
Beni yang pertama sadar bahaya yang mengancam. Ia melorot turun
sambil berteriak "Turuuuuun ! " Tapi sudah terlambat.
"Tahu-tahu", tutur Asmad kepada Muchsin dari TEMPO, "sebuah
sambaran kilat diiringi geledek mematahkan pucuk pohon kelapa
yang dipanjat Beni. Saya hampir terjatuh karena bengong!"
Kemudian dengan sedih ia katakan Beni hangus dan meninggal
seketika itu juga.
Asmad bukan pengecut. Tapi ia sungguh kepengin hidup lebih lama.
Pendidikannya hanya SD kelas dua, jadi menukar nasib bukan tidak
kepengin, tapi sungguh mati sulit sekali. Memanjat adalah
keahlian satu-satunya yang dapat diandalkan. Yang paling gampang
baginya adalah menukar kelapa dengan tiang listrik. Menukar
kemungkinan mati disambar geledek dengan mati -- ah, ya, kena
strom. Tapi "alhamdulillah, sampai kini pekerjaan itu tak pernah
lepas. Kerjaan begini rupanya lebih pantas bagi saya," ujar
Asmad.
Sebagai tukang listrik, pendapatan Asmad ternyata lumayan. Di
zaman Nica gajinya 12 picis. Sekarang sebagai karyawan tetap PLN
Kebayoran Baru jumlah yang diterimanya setiap bulan Rp 43 ribu.
Enam orang anak Asmad. Dua di antaranya sudah kawin, dan
membiakkan keturunannya dengan 3 orang cucu. Meskipun kadang
mendapat bantuan dari anaknya yang sudah berkeluarga, dengan
gaji sebesar itu, Asmad mengaku dapat hidup cukup di Ibukota.
"Yah, saya memang tidak pernah disambar geledek. Saya sudah aman
dari sambaran geledek, tapi bahaya yang lain tetap ada,"
katanya. Ia mengembangkan kedua tangannya. Ternyata
belang-belang putih --akibat terbakar. Peristiwa itu terjadi
tahun 1975, ketika memasang listrik di Jalan Asam. Yang punya
rumah kebetulan tak ada. Kesalahan kecil terjadi dan tangannya
jadi korban. Ia langsung pingsan. Untung ada pembantu rumah
tangga yang membawanya ke Rumah Sakit Fatmawati. Yang
membuatnya bersyukur adalah bahwa pengobatan kemudian ditanggung
oleh kantor.
Seorang tukang listrik, lewat wajah orang tua ini, sebenarnya
tidak pernah acuh tak acuh. Kegetiran hidup barangkali
menyebabkan wajah tidak berlemak dan berminyak serta pandangan
lesu. Tapi badan mereka tidak pernah menjadi kebal menghadapi
arus listrik. Ini menyebabkan mereka harus tetap selalu
hati-hati. Asmad, meskipun boleh diadu dengan kera dalam soal
memanjat pohon, menghadapi tiang listrik ia tetap hati-hati.
Terutama sekali kalau hujan -- sudah pasti ia tidak akan berani
memanjat. Tetap tidak berani, meskipun sudah ada jaminan aliran
listrik sudah distop dari gardu. "Bagaimana pun saya tetap takut
disambar geledek," ujarnya meringis. Jauh dalam matanya
terbayang kembali tubuh Beni yang terbakar.
Komisi
Di samping geledek, bahaya tiang listrik pada waktu hujan adalah
licinnya. Sementara setiap saat tiang listrik tegangan tinggi
selalu merupakan sarang maut. "Untunglah aliran listrik di
perumahan tidak mematikan -- di samping kita sendiri harus tetap
selalu berhati-hati," ujarnya. Operasi di perumahan memang lebih
menjamin rasa aman, karena rata-rata kabelnya terbungkus. Namun
untuk menghindari kecelakaan. ia selalu bawa senter kalau
merangkak di tempat gelap, misalnya di loteng. Makanannya yang
pertama adalah membungkus kabel-kabel yang terluka dengan
plester dan silotip. Tindakan pengamanan itu sudah merupakan hal
spontan dari instinknya sebagai tukang listrik.
Dalam keadaan jasmani seperti sekarang, Asmad masih sanggup
menyelesaikan pemasangan di sebelas buah rumah dalam satu hari.
Hubungannya dengan para pemilik rumah, diakuinya, bersih. Tidak
pernah melakukan pungutan liar. "Paling banter disuruh ngeteh,"
katanya mencoba menjelaskan kejujurannya - maksudnya minum teh.
Tapi berhadapan dengan pemborong, ada kalanya ia menerima
komisi. Sehari komisi itu bisa mencapai Rp 1500. Ini sangat
penting untuk membuat hidupnya sedikit basah dan percaya pada
sumber hidupnya itu. Terutama kalau ia berhasil mengulurkan
selembar ribuan pada isterinya. "Enak sekali kalau pulang ke
rumah ada duit di kantong," kata Asmad.
Status Asmad adalah menyediakan tenaga. Perusahaan pemborong
yang dilayaninya berganti-ganti. "Itu urusan orang atas,"
katanya. Ia juga sempat mengaku bahwa pekerjaannya yang hanya
mengizinkan ia pulang setelah pukul 15.30, menyebabkan ia tidak
punya kesempatan mencari order pemasangan sendiri. Dulu ia
memang sempat melakukan lembur seperti itu. Hasilnya ternyata
amat bagus. Untuk setiap rumah bisa dapat Rp 2.500.
Asmad mengaku bekerja di PLN. Enaknya hanya waktu terima gaji.
"Mana ada kerja yang enak. Yang enak itu duit. Tapi kalau diburu
duit jadi tak enak," ujarnya. Maksudnya hutang. Untung Asmad ini
tidak doyan main hutang. Tidak berarti ia tidak punya hutang.
Kadangkala ia ambil kredit barang, misalnya TV atau radio,
sehingga gajinya harus ia sisihkan sampai Rp 10 ribu setiap
bulan.
"Itu yang bikin pening kepala," kata Asmad. Kalau tidak beli
kredit, hajat tidak akan kesampaian. Kalau tidak pakai hajat,
anak-anak pasti nuntut, karena kebutuhan mereka bukan hanya
makan tok. Karena itu meskipun rumahnya di Gang Tujuh Bendungan
Hilir masih rumah kontrakan, ia berusaha mengisinya dengan
makanan batin. Sebuah radio 3 band dan sebuah pesawat TV 14 inci
sudah berhasil dilunasinya.
Asmad beroperasi di Kemang, Bangka dan Gandaria. Kecelakaan yang
dialaminya membuat dia selalu mentes tiang listrik sebelum
memanjat dengan kabel. Kalau ada api, berarti aliran dari gardu
belum distop. Ini tak pernah dilalaikannya. Tiang-tiang listrik
yang kelihatannya beres kadangkala juga mengandung aliran
listrik -- karena kesalahan pemasangan kabel. Asmad masih tetap
ingin menjalankan tugasnya."Kalau lutut tidak kuat manjat lagi
dan kantor memensiunkan, saya harus berhenti dari urusan panjat
ini," ujarnya dengan sederhana.
Tapi seorang tukang listrik di samping bergaul dengan kabel,
tiang dan arus listrik, juga seorang pegawai. Ini mengharuskan
mereka siap di tempat pekerjaannya pukul 8 pagi. Tak peduli
operasi di lapangan baru ditancap pukul berapa. Setiap operasi
memerlukan persiapan. Dan yang paling penting harus membawa
surat perintah kerja harian dari kepala bagian operasi PLN.
Surat ini menurut Asmad besar sekali artinya. Terutama kalau
kemudian terjadi perselisihan dengan tetangga dari rumah yang
dilayaninya.
Seringkali pemasangan listrik terpaksa melangkahi rumah yang
bersebelahan, karena posisi tiang yang paling dekat. Seorang
tetangga yang baik, mungkin akan dengan cepat mengerti
persoalannya. Tapi seorang tetangga yang telah lama menyimpan
bibit perselisihan dengan sendiri dapat membuat Asmad menjadi
kambing hitam. "Sering kali sudah kita tunjukkan suratnya, yang
punya rumah tetap menjawab seenaknya," kata Asmad. "Mereka
bilang, boleh saja pasang listrik, tapi jangan injak pekarangan
saya!"
Padahal Asmad sering mendapati dirinya bukan seorang diplomat
yang baik. Ia lebih ahli meladeni arus listrik daripada arus
mulut. Kalau persoalannya menjadi kusut, Asmad menyerah saja. Ia
menghentikan kerjanya, lalu langsung laporan ke PLN, ada
kegawatan di medan. Nanti, kalau keadaan sudah aman dia baru
meninggalkan posnya kembali meneruskan apa yang terbengkalai.
Untung-untung kalau konstruksi rumah sederhana, pekerjaan bisa
lancar. Kalau rumah ruwet, apalagi rumah beton yang memerlukan
dibobok dahulu untuk menyalurkan kabel, wah. Apa lagi tuan rumah
juga tak kurang tingkahnya. Ada yang sudah tahu dindingnya sulit
dibetot untuk ditanami kabel, masih protes keras kalau diberi
pipa, karena keindahan rumahnya terganggu katanya.
Setiap hari Asmad yang tingginya 1.60 m dengan berat 54 kg itu,
selalu siap dengan invuring tutup tiang, kawat NGA, pipa union,
OKA, meter, kawat BC 6 mm dan breket. Memakai setelan coklat,
dengan kulit tangan kanan yang belang bekas terbakar, ia menjadi
milik surat tugas yang dibawanya. Sebagaimana lazimnya pegawai
negeri jaminan kesehatan memang disediakan di kantor, dan uang
pengobatan diganti sepenuhnya. Tetapi kalau terpaksa masuk rumah
sakit, dia baru sadar bahwa porsinya memang terbatas, karena dia
harus memilih kelas yang paling murah. "Yah namanya orang
kecil," kata Asmad menyerah.
Bisa Berabe
Seorang tukang listrik pegawai PLN bernama Sukriya (54 tahun),
setelah 33 tahun dinas baru saja pensiun. Ia mendapat tunjangan
Rp 41 ribu setiap bulan. Tapi ia tak mau berhenti bergaul dengan
listrik. Sekarang ia bekerja di PT Sudiana dan PT Kencana
sebagai tukang listrik dengan gaji honorer. Ia tak pernah
mendapat kecelakaan. "Kena strom kecil-kecil ya pernah, tapi
nggak apa-apa," ujarnya kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO.
Seperti Asmad, ia juga mengutamakan sikap awas. Tak pernah lupa
mengenakan ikat pinggang pengaman serta sarung tangan yang tidak
bocor. Terhadap tiang listrik filsafatnya adalah "Hujan kecil
boleh naik, hujan besar, jangan." Sedang dalam menghadapi para
langganan, ia hanya kasih resep: "Asal baik-baik dan ramah,
tidak ada soal."
Tidak semua tukang listrik pegawai negeri jadinya. Djamal,
lelaki berusia 30 tahun, sejak jadi tukang listrik 6 tahun yang
lalu adalah pegawai PT Delta. Ia bertugas mendirikan tiang
listrik, memasang kabel sampai meteran. Kalau meteran sudah ada
aliran listriknya, tugasnya selesai, dilanjutkan oleh instansi
lain. Ia tidak bisa sendirian -- tiang listrik harus digarap
beramai-ramai. Djamal bekerja dengan 7 orang kawannya. Rata-rata
tiap bulan ia menggarap tidak lebih dari 30 buah tiang. Dan
perusahaan memberikan Rp 2 ribu untuk satu tiang. Jadi
penghasilan Djamal tidak lebih dari Rp 60 ribu sebulan.
Djamal melihat, lewat tiang listrik, banyak orang di dalam
masyarakat tidak akur dengan tetangga. Ia sering terganggu oleh
orang yang tidak suka tetangganya pasang listrik. Ingatlah bahwa
masih ada rumah di kawasan Jakarta yang tidak dijamah listrik.
Ini menyebabkan pekerjaan tertunda, dan honor juga tertunda.
Karena itu Djamal lebih suka mendapat order dari satu tiang ke
tiang lainnya, daripada 10 tiang sekaligus dalam kompleks di
mana orang saling betot dengan tetangganya.
Djamal mengaku pengalamannya masih mentah. Tapi dasar
kepribadian seorang tukang listrik, sudah ditanamnya. "Jangan
ceroboh. Terlalu berani nggak boleh. Terlalu takut juga nggak
boleh." la meyakinkan bahwa keberanian tidak bisa dipaksakan.
Kalau seorang takut dipaksa naik tiang, hasilnya bisa berabe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini