Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pilih mana: sambar geledek atau ... pilih mana: sambar gledek atau ...

Asmad, 49, dan sakriya, 54, tukang listrik, pegawai pln menceritakan pengalamannya memanjat tiang listrik dan memperbaiki listrik di perumahan. (sd)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kecil tetapi penting artinya untuk rumah tangga, banyak sekali. Di antaranya tukang listrik. Kebanyakan orang menatap pekerja kecil ini dengan rasa heran. Listrik yang merupakan hasil teknologi yang penuh kegunaan, tapi buas kalau diperlakukan sembrono, seringkali masih merupakan rahasia ajaib bagi masyarakat. Seorang tukang listrik, yang kelihatan acuh terhadap segala bahaya listrik -- karena ia telah menguasainya -- tiba-tiba menjadi tontonan kalau sedang meladeni listrik dengan seluruh alat-alatnya. Di kota-kota kecil tukang listrik mungkin sekali menjadi angkuh -- karena dibutuhkan banyak orang. Di kota-kota besar tukang listrik bisa memperoleh pendapatan yang lumayan. Tetapi seorang tukang listrik yang sejati, sebenarnya tak lebih dari seorang yang setiap kali bergaul dengan maut. Ada sebuah foto yang memenangkan sebuah kontes -- menunjukkan gambar seorang tukang listrik tersangkut kaku di rentangan kawat, seperti sebuah layangan putus. Pekerjaan ini memang amat berbahaya. Tapi toh orang masih banyak yang suka menjalaninya. Disambar Geledek "Berani panjat pohon? Berani panjat tiang listrik?" demikian pertanyaan yang diajukan kepada Asmad di zaman Nica dulu. Pemuda itu melamar hendak menjadi karyawan listrik Belanda di Gambir, Jakarta. Asmad kelahiran Tangerang tahun 1929. Melamar jadi pegawai tahun 1949. Di kalangan rekan-rekannya ia memang tersohor ahli memanjat pohon kelapa. Tapi kenapa ia melepaskan pelukannya dari batang kelapa, lalu memanjat tiang besi yang berbahaya, tak lain karena ketakutan juga. Sebagaimana manusia pada umumnya, Asmad takut mati. Apalagi mati disambar geledek. Di masa ia menjadi buruh upahan, menurunkan kelapa, ia bersekongkol dengan Beni dan Karim. Pada suatu hari yang tenang beroperasilah tiga sekawan ini dalam sebuah kebun kelapa. Tengah asyik menjatuhkan buah kelapa yang sudah kering, tiba-tiba langit disapu mendung, lantas hujan tercurah tak bisa ditunda lagi. Asmad dan kawan-kawan bukan orang yang gampang menyerah. Pekerjaan diteruskan. Kilat mulai sabung-menyabung, membentur langit dengan dahsyat. Beni yang pertama sadar bahaya yang mengancam. Ia melorot turun sambil berteriak "Turuuuuun ! " Tapi sudah terlambat. "Tahu-tahu", tutur Asmad kepada Muchsin dari TEMPO, "sebuah sambaran kilat diiringi geledek mematahkan pucuk pohon kelapa yang dipanjat Beni. Saya hampir terjatuh karena bengong!" Kemudian dengan sedih ia katakan Beni hangus dan meninggal seketika itu juga. Asmad bukan pengecut. Tapi ia sungguh kepengin hidup lebih lama. Pendidikannya hanya SD kelas dua, jadi menukar nasib bukan tidak kepengin, tapi sungguh mati sulit sekali. Memanjat adalah keahlian satu-satunya yang dapat diandalkan. Yang paling gampang baginya adalah menukar kelapa dengan tiang listrik. Menukar kemungkinan mati disambar geledek dengan mati -- ah, ya, kena strom. Tapi "alhamdulillah, sampai kini pekerjaan itu tak pernah lepas. Kerjaan begini rupanya lebih pantas bagi saya," ujar Asmad. Sebagai tukang listrik, pendapatan Asmad ternyata lumayan. Di zaman Nica gajinya 12 picis. Sekarang sebagai karyawan tetap PLN Kebayoran Baru jumlah yang diterimanya setiap bulan Rp 43 ribu. Enam orang anak Asmad. Dua di antaranya sudah kawin, dan membiakkan keturunannya dengan 3 orang cucu. Meskipun kadang mendapat bantuan dari anaknya yang sudah berkeluarga, dengan gaji sebesar itu, Asmad mengaku dapat hidup cukup di Ibukota. "Yah, saya memang tidak pernah disambar geledek. Saya sudah aman dari sambaran geledek, tapi bahaya yang lain tetap ada," katanya. Ia mengembangkan kedua tangannya. Ternyata belang-belang putih --akibat terbakar. Peristiwa itu terjadi tahun 1975, ketika memasang listrik di Jalan Asam. Yang punya rumah kebetulan tak ada. Kesalahan kecil terjadi dan tangannya jadi korban. Ia langsung pingsan. Untung ada pembantu rumah tangga yang membawanya ke Rumah Sakit Fatmawati. Yang membuatnya bersyukur adalah bahwa pengobatan kemudian ditanggung oleh kantor. Seorang tukang listrik, lewat wajah orang tua ini, sebenarnya tidak pernah acuh tak acuh. Kegetiran hidup barangkali menyebabkan wajah tidak berlemak dan berminyak serta pandangan lesu. Tapi badan mereka tidak pernah menjadi kebal menghadapi arus listrik. Ini menyebabkan mereka harus tetap selalu hati-hati. Asmad, meskipun boleh diadu dengan kera dalam soal memanjat pohon, menghadapi tiang listrik ia tetap hati-hati. Terutama sekali kalau hujan -- sudah pasti ia tidak akan berani memanjat. Tetap tidak berani, meskipun sudah ada jaminan aliran listrik sudah distop dari gardu. "Bagaimana pun saya tetap takut disambar geledek," ujarnya meringis. Jauh dalam matanya terbayang kembali tubuh Beni yang terbakar. Komisi Di samping geledek, bahaya tiang listrik pada waktu hujan adalah licinnya. Sementara setiap saat tiang listrik tegangan tinggi selalu merupakan sarang maut. "Untunglah aliran listrik di perumahan tidak mematikan -- di samping kita sendiri harus tetap selalu berhati-hati," ujarnya. Operasi di perumahan memang lebih menjamin rasa aman, karena rata-rata kabelnya terbungkus. Namun untuk menghindari kecelakaan. ia selalu bawa senter kalau merangkak di tempat gelap, misalnya di loteng. Makanannya yang pertama adalah membungkus kabel-kabel yang terluka dengan plester dan silotip. Tindakan pengamanan itu sudah merupakan hal spontan dari instinknya sebagai tukang listrik. Dalam keadaan jasmani seperti sekarang, Asmad masih sanggup menyelesaikan pemasangan di sebelas buah rumah dalam satu hari. Hubungannya dengan para pemilik rumah, diakuinya, bersih. Tidak pernah melakukan pungutan liar. "Paling banter disuruh ngeteh," katanya mencoba menjelaskan kejujurannya - maksudnya minum teh. Tapi berhadapan dengan pemborong, ada kalanya ia menerima komisi. Sehari komisi itu bisa mencapai Rp 1500. Ini sangat penting untuk membuat hidupnya sedikit basah dan percaya pada sumber hidupnya itu. Terutama kalau ia berhasil mengulurkan selembar ribuan pada isterinya. "Enak sekali kalau pulang ke rumah ada duit di kantong," kata Asmad. Status Asmad adalah menyediakan tenaga. Perusahaan pemborong yang dilayaninya berganti-ganti. "Itu urusan orang atas," katanya. Ia juga sempat mengaku bahwa pekerjaannya yang hanya mengizinkan ia pulang setelah pukul 15.30, menyebabkan ia tidak punya kesempatan mencari order pemasangan sendiri. Dulu ia memang sempat melakukan lembur seperti itu. Hasilnya ternyata amat bagus. Untuk setiap rumah bisa dapat Rp 2.500. Asmad mengaku bekerja di PLN. Enaknya hanya waktu terima gaji. "Mana ada kerja yang enak. Yang enak itu duit. Tapi kalau diburu duit jadi tak enak," ujarnya. Maksudnya hutang. Untung Asmad ini tidak doyan main hutang. Tidak berarti ia tidak punya hutang. Kadangkala ia ambil kredit barang, misalnya TV atau radio, sehingga gajinya harus ia sisihkan sampai Rp 10 ribu setiap bulan. "Itu yang bikin pening kepala," kata Asmad. Kalau tidak beli kredit, hajat tidak akan kesampaian. Kalau tidak pakai hajat, anak-anak pasti nuntut, karena kebutuhan mereka bukan hanya makan tok. Karena itu meskipun rumahnya di Gang Tujuh Bendungan Hilir masih rumah kontrakan, ia berusaha mengisinya dengan makanan batin. Sebuah radio 3 band dan sebuah pesawat TV 14 inci sudah berhasil dilunasinya. Asmad beroperasi di Kemang, Bangka dan Gandaria. Kecelakaan yang dialaminya membuat dia selalu mentes tiang listrik sebelum memanjat dengan kabel. Kalau ada api, berarti aliran dari gardu belum distop. Ini tak pernah dilalaikannya. Tiang-tiang listrik yang kelihatannya beres kadangkala juga mengandung aliran listrik -- karena kesalahan pemasangan kabel. Asmad masih tetap ingin menjalankan tugasnya."Kalau lutut tidak kuat manjat lagi dan kantor memensiunkan, saya harus berhenti dari urusan panjat ini," ujarnya dengan sederhana. Tapi seorang tukang listrik di samping bergaul dengan kabel, tiang dan arus listrik, juga seorang pegawai. Ini mengharuskan mereka siap di tempat pekerjaannya pukul 8 pagi. Tak peduli operasi di lapangan baru ditancap pukul berapa. Setiap operasi memerlukan persiapan. Dan yang paling penting harus membawa surat perintah kerja harian dari kepala bagian operasi PLN. Surat ini menurut Asmad besar sekali artinya. Terutama kalau kemudian terjadi perselisihan dengan tetangga dari rumah yang dilayaninya. Seringkali pemasangan listrik terpaksa melangkahi rumah yang bersebelahan, karena posisi tiang yang paling dekat. Seorang tetangga yang baik, mungkin akan dengan cepat mengerti persoalannya. Tapi seorang tetangga yang telah lama menyimpan bibit perselisihan dengan sendiri dapat membuat Asmad menjadi kambing hitam. "Sering kali sudah kita tunjukkan suratnya, yang punya rumah tetap menjawab seenaknya," kata Asmad. "Mereka bilang, boleh saja pasang listrik, tapi jangan injak pekarangan saya!" Padahal Asmad sering mendapati dirinya bukan seorang diplomat yang baik. Ia lebih ahli meladeni arus listrik daripada arus mulut. Kalau persoalannya menjadi kusut, Asmad menyerah saja. Ia menghentikan kerjanya, lalu langsung laporan ke PLN, ada kegawatan di medan. Nanti, kalau keadaan sudah aman dia baru meninggalkan posnya kembali meneruskan apa yang terbengkalai. Untung-untung kalau konstruksi rumah sederhana, pekerjaan bisa lancar. Kalau rumah ruwet, apalagi rumah beton yang memerlukan dibobok dahulu untuk menyalurkan kabel, wah. Apa lagi tuan rumah juga tak kurang tingkahnya. Ada yang sudah tahu dindingnya sulit dibetot untuk ditanami kabel, masih protes keras kalau diberi pipa, karena keindahan rumahnya terganggu katanya. Setiap hari Asmad yang tingginya 1.60 m dengan berat 54 kg itu, selalu siap dengan invuring tutup tiang, kawat NGA, pipa union, OKA, meter, kawat BC 6 mm dan breket. Memakai setelan coklat, dengan kulit tangan kanan yang belang bekas terbakar, ia menjadi milik surat tugas yang dibawanya. Sebagaimana lazimnya pegawai negeri jaminan kesehatan memang disediakan di kantor, dan uang pengobatan diganti sepenuhnya. Tetapi kalau terpaksa masuk rumah sakit, dia baru sadar bahwa porsinya memang terbatas, karena dia harus memilih kelas yang paling murah. "Yah namanya orang kecil," kata Asmad menyerah. Bisa Berabe Seorang tukang listrik pegawai PLN bernama Sukriya (54 tahun), setelah 33 tahun dinas baru saja pensiun. Ia mendapat tunjangan Rp 41 ribu setiap bulan. Tapi ia tak mau berhenti bergaul dengan listrik. Sekarang ia bekerja di PT Sudiana dan PT Kencana sebagai tukang listrik dengan gaji honorer. Ia tak pernah mendapat kecelakaan. "Kena strom kecil-kecil ya pernah, tapi nggak apa-apa," ujarnya kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO. Seperti Asmad, ia juga mengutamakan sikap awas. Tak pernah lupa mengenakan ikat pinggang pengaman serta sarung tangan yang tidak bocor. Terhadap tiang listrik filsafatnya adalah "Hujan kecil boleh naik, hujan besar, jangan." Sedang dalam menghadapi para langganan, ia hanya kasih resep: "Asal baik-baik dan ramah, tidak ada soal." Tidak semua tukang listrik pegawai negeri jadinya. Djamal, lelaki berusia 30 tahun, sejak jadi tukang listrik 6 tahun yang lalu adalah pegawai PT Delta. Ia bertugas mendirikan tiang listrik, memasang kabel sampai meteran. Kalau meteran sudah ada aliran listriknya, tugasnya selesai, dilanjutkan oleh instansi lain. Ia tidak bisa sendirian -- tiang listrik harus digarap beramai-ramai. Djamal bekerja dengan 7 orang kawannya. Rata-rata tiap bulan ia menggarap tidak lebih dari 30 buah tiang. Dan perusahaan memberikan Rp 2 ribu untuk satu tiang. Jadi penghasilan Djamal tidak lebih dari Rp 60 ribu sebulan. Djamal melihat, lewat tiang listrik, banyak orang di dalam masyarakat tidak akur dengan tetangga. Ia sering terganggu oleh orang yang tidak suka tetangganya pasang listrik. Ingatlah bahwa masih ada rumah di kawasan Jakarta yang tidak dijamah listrik. Ini menyebabkan pekerjaan tertunda, dan honor juga tertunda. Karena itu Djamal lebih suka mendapat order dari satu tiang ke tiang lainnya, daripada 10 tiang sekaligus dalam kompleks di mana orang saling betot dengan tetangganya. Djamal mengaku pengalamannya masih mentah. Tapi dasar kepribadian seorang tukang listrik, sudah ditanamnya. "Jangan ceroboh. Terlalu berani nggak boleh. Terlalu takut juga nggak boleh." la meyakinkan bahwa keberanian tidak bisa dipaksakan. Kalau seorang takut dipaksa naik tiang, hasilnya bisa berabe.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus