Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pilot-Pilot Mobil Penolong

Suka duka para sopir ambulan di beberapa daerah mereka mempunyai tugas yang menyangkut pekerjaan sosial. Mereka juga bisa memberi pertolongan pertama. (sd)

11 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIRENE dan lampu kedip-kedip di atas mobilnya belum sempat dimatikan. Ia meloncat dari belakang stir. Bersama beberapa orang yang membantu, ia membopong korban tabrakan maut bis "Flores" dan kereta api di lintas rel Purwosari Sala yang menghilangkan nyawa 33 orang 7 Mei lalu. Dengan sigap ia menginjak gas dan memacu mobilnya ke rumah sakit Mangkubumen. Hanya kurang dari 3 menit, mobilnya mondar-mandir mengangkut korban yang perlu segera ditolong dan mayat yang sudah berkeping-keping. Setelah selesai, Sujarno, 30 tahun, sopir mobil ambulan itu, lemas. Bukan hanya merenungi pakaiannya yang berlumur darah dan mobilnya berbau amis. "Saya selalu terbayang pada mayat yang keadaannya sangat menyedihkan," katanya. Padahal, tugas pokok sopir ambulan sebenamya cuma menancap gas, melarikan mobil dengan kencang, menyalakan lampu palang hijau di atasnya dan melengkingkan sirene. Yang mengurusi pasien keluar masuk mobilnya sudah ada petugas tersendiri. "Khusus musibah Purwosari itu, saya ikut menggotong korban ke mobil. Soalnya tengah malam itu tak banyak orang," katanya. Akibatnya, selama seminggu Sujarno mengaku tak bisa tidur pulas dan selera makannya pun hilang. Mesinnya Sering Rusak Tugas "rangkap" semacam itu jarang dilakukannya sejak mendapat beslit sopir ambulan RSUP Mangkubumen Sala 1978. "Yang penting saya bisa menjadi pegawai negeri," kata pegawai golongan I B dengan gaji Rp 47.500 itu. Bahkan untuk meraih kursi stir mobil ambulan itu pun tidak gampang. Semula ia masuk rumah sakit sebagai pegawai honorer pada Kamar Pusat Perlengkapan. Tugasnya, membantu perawat dan dokter mempersiapkan alat-alat operasi. "Tepatnya, tugas saya sebagai pesuruh dengan gaji Rp 3.500 sebulan," katanya. Diam-diam Sudjarno yang sempat mengantungi ijazah SMP itu menabung untuk mendapat Surat Izin Mengemudi (SIM) A. Yang diincarnya, jabatan sopir mobil ambulan. Ia berhasil. Pada mulanya ayah dua orang anak ini sempat keluar keringat dingin memacu mobilnya menembus keramaian jalan Kota Sala. Ia disuruh cepat-cepat melarikan mobilnya. Tapi konsentrasinya dikacau oleh pasien di belakangnya yang mengerang kesakitan. "Tambah lagi, keluarga yang mengantar tiba-tiba menangis meraung karena pasien itu mati di jalan," katanya. Setelah beberapa kali bertugas, Sujarno baru merasa sreg di belakang stir, apa pun yang terjadi di mobilnya. Walau ia sudah bertugas hati-hati dan rajin, tak berarti lolos dari semprotan. Sering ia dimaki orang karena datang terlambat mengangkut pasien gawat ke rumah sakit. Tentu saja enam sopir teman Sujarno menampik tuduhan "menelantarkan" pasien itu. "Rumah sakit yang besar ini hanya punya dua mobil ambulan," kata Sujarno. Mesinnya pun sudah setengah umur. Satu Fiat 1965 dan yang masih agak waras Ford Record 1974. "Mesinnya sering rusak," kata Sujarno. "Tapi biar tua dan sering rewel, tidak pernah mogok di tengah jalan." Bekerja sebagai sopir ambulan bagi Antonius Pardede, 37 tahun, dari Dinas Kesehatan Kotamadya (DKK) Medan, juga mengandung pengorbanan. "Kerja begini menyangkut pekerjaan sosial," kata Pardede sambil membersihkan mobilnya. Di samping itu, ia juga merasakan manfaat bergumul dengan orang sakit setiap hari. "Pekerjaan ini bisa menambah pengalaman terutama dalam cara-cara memberi pertolongan pertama,"kata Pardede yang hanya tamat Sl. Yang paling berat baginya adalah tugas malam. Karena tenaga kurang, sering tengah malam rumahnya digedor. "Dengan mata yang berat, saya layani juga. Habis, itu tugas saya," katanya. Untung mobilnya sekarang tidak dipakai mengangkut mayat lagi. "Khusus untuk mayat, sudah disediakan," katanya. Tapi ada pula susahnya dengan mobil baru itu. Banyak panggilan dari luar kota yang harus dia layani. Pernah dia harus menggenjot mobilnya sejauh 450 km dari Medan untuk mengambil orang sakit gawat di Padangsidempuan. Sering pula ia pulang balik ke Pematangsiantar berjarak 120 km dan kota-kota lain di sekitar Medan. Toh ia merasa masih mempunyai waktu luang. Sering ia nongkrong di terminal bis. "Ee siapa tahu ada lowongan sopir "raun-raun" mencari sewa di tengah kota," katanya. Dan memang rezeki sering datang dari sana untuk menambah penghasilannya. Berpengalaman 23 tahun sebagai sopir ambulan, gajinya kini baru Rp 54 ribu sebulan. "Lumayan," kata Pardede yang memulai karirnya sejak usia 12 tahun sebagai kenek bis. Tugas jarak jauh juga dialami Agus, 28 tahun dari Palang Merah Indonesia (PMI) Semarang. Suatu ketika ia ditugasi mengirim mayat ke Bogor. Karena instruksi mendadak, ia bersama delapan tenaga Korp Suka Rela (KSR) yang mengurus mayat tidak sempat memasukkan makanan untuk mengganjal perutnya. "Banyak rumah makan tidak mau mobil jenasah itu parkir di depannya," katanya. Apa akal? Ia parkir mobilnya di tengah sawah. Dengan berjalan kaki agak jauh, sopir mobil ambulan itu tenang-tenang makan di warung. "lggak bakal ada orang curi mayat," katanya. Temannya, Tedjo mempunyai kesulitan lain. Ia harus mengangkut mayat ke Wates, Yogyakarta. Tiba-tiba anggota keluarga yang mengantar meminta mobilnya berhenti. Mengapa? "Mayat harus digotong karena tidak ada jalan untuk mobil," katanya menirukan. Terpaksa tangan yang biasa cuma untuk memutar kemudi itu ikut pula mengangkat keranda. Jaraknya tidak tanggung-tanggung. Menyeberang sungai, sawah dan lewat beberapa desa yang makan waktu hampir satu jam. Adakah biaya tambahan mengangkut mayat jalan kaki itu? "Honor sopir sama saja," kata Tedjo. Untuk tugas luar kota, sopir mendapat bagian 10% dari seluruh biaya. Itu masih harus dibagi lagi dengan petugas yang mendampinginya 2,5%. Sedang ongkos ambulan ke luar kota Rp 3.000 tiap km. "Untuk dalam kota, sopir tidak mendapat uang tambahan," katanya. Pilot Pengemudi ambulan di Jakarta disebut pilot. Bersaagam putih biru, mereka tidak hanya harus trampil melarikan mobil, tetapi juga harus mampu memberikan pertolongan pertama: membalut luka atau memasang peralatan infus. Di samping SIM yang sah, ia juga mempunyai ijazah perawat: "Tapi yang lebih penting lagi adalah ketenangan dan kehati-hatian," kata Herbert, 34 tahun yang sudah enam tahun menjadi "pilot" ambulan di RS Cipto Mangunkusumo. Ketenangan memang sangat penting bagi seorang sopir ambulan, terutama menghadapi keluarga pasien yang panik. "Salah-salah orang yang ditolong akan berurusan dengan malaikat El Maut," kata Herbert. Tambah lagi ia harus tenangan sigap menembus kesemrawutan lalu lintas Jakarta. Menghadapi korban, sopir dan pembantunya harus mampu bertindak cepat. "Kalau tidak apa bedanya kami dengan mobil kolt penumpang, " kata Herbert yang masih bujangan. Untungnya, ambulan rakitan dalam negeri rata-rata peralatannya lengkap dan sesuai dengan kebutuhan di sini. Mulai dari tandu, vacuum matras, pneumas plint (kantung untuk menanggulangi patah tulang), dua botol oksigen ukuran 7 liter dan peralatan lainnya. Di dalam mobilnya juga dipasang radio motorolla dan pesawat CB untuk kontak dengan beberapa rumah sakit besar di Jakarta. Ambulan 118 itu biasanya diberi jalan oleh kendaraan lain. "Tapi, kami punya pantangan. Tidak boleh ngebut di jalan," kata Herbert. Dia termasuk perawat yang dididik di RS dr. Mintohardjo milik TNI-AL itu. Larangan lain, mobil ambulan tidak boleh membunyikan sirene selama mengangkut pasien. "Dengan sirene, korban dan keluarga bisa lebih panik," katanya. Bila itu dilanggar, paling sedikit sopir kena teguran. Yang harus diangkut dengan mobil VW Combi putih itu bukan hanya korban kecelakaan. Ada yang sakit jantung, muntaber, korban perkelahian, atau ibu yang akan melahirkan. Untuk memanggilnya, gampang saja. Putar telepon 118 atau 344003. Karena itu, sering Herbert menerima penelepon liar. "Pak ada kecelakaan, dekat rumah saya, di jalan anu," kata Herbert menirukan. Kontan ia diperintah memacu mobilnya ke alamat itu. Setelah sampai di tempat, ternyata tidak ada apa-apa. Lebih celaka lagi, ada yang iseng memintanya mengangkut anjing, kucing atau monyet. "Jelas kami tidak layani," katanya. Untuk menghindari penelepon liar, penerima dimarkas ambulan itu menanyakan identitas, nomor telepon secara lengkap. Sebelum mobil meluncur ke lapangan, petugas mengecek kembali. Penelepon liar ternyata cukup banyak. Rata-rata lima orang dari sekitar 20 permintaan sehari. Sugeng, 28 tahun, sopir ambulan di RS Cipto Mangunkusumo mempunyai kepuasan tersendiri selama 5 tahun duduk di belakang stir. "Saya pernah mengangkut almarhum Ir. Sutami, bekas Menteri PUTL sewaktu penyakitnya gawat, " katanya. Yang membahagiakan "kalau yang saya tolong akhirnya selamat," katanya. Seperti halnya Herbert perawat senior yang menyopir ambulan ini pernah beberapa kali memberikan penataran tentang perawatan gawat darurat kepada calon perawat dan karyawan beberapa hotel internasional. Tekanannya, bagaimana memberi pertolongan pertama kepada pasien yang mendekati ajal. Meski demikian, ia sering dimaki petugas hotel ketika menolong pasien. "Mereka sok tahu, malah suka betindak sebagai guru, "katanya. Mungkin mereka menduga Sugeng dan kawan-kawannya cuma bisa menginjak gas mobil ambulan. Sugeng dan teman-temannya juga dibekali bahasa Inggris untuk bisa berbicara dengan orang asing. Seminggu 4 kali, sopir-sopir ambulan itu ramai-ramai ikut les bahasa Inggris. "Tambah lagi, buku laporan juga kami tulis dalam bahasa Inggris. Sekedar untuk melancarkan," katanya. "Emergency" Seluruh armada ambulan khusus ini mempunyai 5 mobil ditambah 3 buah cadangan. "Sayangnya belum ada pesawat helikopter milik sendiri," katanya. Mereka pernah mengalami kesulitan pada waktu harus menolong anak buah kapal di Laut Jawa yang menderita sakit keras. Untuk itu, rumah sakit terpaksa minta tolong Badan SAR Nasional (Basarnas). Mungkin hal itu perlu dipikirkan RSCM. "Bukankah pertolongan pertama bisa dilakukan lebih cepat, tanpa harus memikirkan hiruk pikuk lalu lintas Jakarta," kata Sugeng. "Jabatan" sopir ambulan ternyata bukan hanya diminati kaum pria. Titin Supriyatin, 20 tahun, tamatan Sekolah Perawat RS Gatot Subroto itu juga mengincarnya. Sekarang, ia masih bertugas sebagai co pilo ambulan. Ia mulai tertarik setelah beberapa kali melihat film serial TVRI Emergency. "Ternyata tugas kami sama seperti yang ada di tv," kata Titin yang sudah 8 bulan-mendampingi sopir ambulan. Sebelum mendapat SIM A, ia harus mengikuti beberapa seleksi yang diadakan RSCM dan Mabak, meliputi tes psikologi dan komputer mengemudi. Pengalaman menjadi perawat ambulan banyak menolongnya. "Kalau mobil mengangkut pasien, saya harus menjaganya kalau terjadi keadaan kritis," kata Titin. Sekali waktu pasiennya mengalami serangan jantung. Cepat-cepat ia berteriak memanggil temannya yang memegang kemudi. Mobil berhenti di pinggir jalan dan mereka berdua melakukan pertolongan pertama. "Untung, sampai di rumah sakit tidak terjadi apa-apa," katanya. Tidak semua sopir ambulan dibekali pengetahuan seperti di RSCM Jakarta. Artilan, 40 tahun, misalnya hanya mempunyai bekal SIM A untuk bisa menyetir ambulan RS Bethesda, Yogyakarta. Sebagai sopir ambulan sejak 1972, ia merasa tidak bisa ngobyek untuk menambah gajinya Rp 37 ribu itu. "Kecuali kalau ada yang menyewanya untuk mengantar jenasah ke rumah," kata Artilan. Imbalan mengangkut jenasah itu ternyata tidak lebih dari Rp 10 ribu sebulan. Ia juga tidak jarang harus menandu pasien di daerah yang tidak bisa dimasuki mobil seperti Gunung Kidul atau Kulon Progo. Kerja sopir ambulan memang tergantung ada tidaknya pasien. A. Bakri, 48 tahun, seharian hanya duduk-duduk atau main gaple bersama rekannya di markas ambulan DKK Surabaya. "Kadang-kadang seminggu tidak ada sama sekali," katanya. Sejak menyetir ambulan tua merk Dodge 1956, ia belum pernah celaka. "Mendengar raung sirene, semua kendaraan sudah minggir," katanya. Dan yang menikmati jasa mobil ambulan Bakri bukan hanya orang sakit. Tetangganya sering minta tolong untuk mengantarkan jenasah ke pemakaman. Imbalannya, ia mendapat uang bensin sekitar Rp 3.000. "Masih tekor bensinnya, tapi sekedar amal, tidak mengapa," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus