SIRENE dan lampu kedip-kedip di atas mobilnya belum sempat
dimatikan. Ia meloncat dari belakang stir. Bersama beberapa
orang yang membantu, ia membopong korban tabrakan maut bis
"Flores" dan kereta api di lintas rel Purwosari Sala yang
menghilangkan nyawa 33 orang 7 Mei lalu. Dengan sigap ia
menginjak gas dan memacu mobilnya ke rumah sakit Mangkubumen.
Hanya kurang dari 3 menit, mobilnya mondar-mandir mengangkut
korban yang perlu segera ditolong dan mayat yang sudah
berkeping-keping.
Setelah selesai, Sujarno, 30 tahun, sopir mobil ambulan itu,
lemas. Bukan hanya merenungi pakaiannya yang berlumur darah dan
mobilnya berbau amis. "Saya selalu terbayang pada mayat yang
keadaannya sangat menyedihkan," katanya. Padahal, tugas pokok
sopir ambulan sebenamya cuma menancap gas, melarikan mobil
dengan kencang, menyalakan lampu palang hijau di atasnya dan
melengkingkan sirene. Yang mengurusi pasien keluar masuk
mobilnya sudah ada petugas tersendiri. "Khusus musibah Purwosari
itu, saya ikut menggotong korban ke mobil. Soalnya tengah malam
itu tak banyak orang," katanya. Akibatnya, selama seminggu
Sujarno mengaku tak bisa tidur pulas dan selera makannya pun
hilang.
Mesinnya Sering Rusak
Tugas "rangkap" semacam itu jarang dilakukannya sejak mendapat
beslit sopir ambulan RSUP Mangkubumen Sala 1978. "Yang penting
saya bisa menjadi pegawai negeri," kata pegawai golongan I B
dengan gaji Rp 47.500 itu. Bahkan untuk meraih kursi stir mobil
ambulan itu pun tidak gampang. Semula ia masuk rumah sakit
sebagai pegawai honorer pada Kamar Pusat Perlengkapan. Tugasnya,
membantu perawat dan dokter mempersiapkan alat-alat operasi.
"Tepatnya, tugas saya sebagai pesuruh dengan gaji Rp 3.500
sebulan," katanya.
Diam-diam Sudjarno yang sempat mengantungi ijazah SMP itu
menabung untuk mendapat Surat Izin Mengemudi (SIM) A. Yang
diincarnya, jabatan sopir mobil ambulan. Ia berhasil.
Pada mulanya ayah dua orang anak ini sempat keluar keringat
dingin memacu mobilnya menembus keramaian jalan Kota Sala. Ia
disuruh cepat-cepat melarikan mobilnya. Tapi konsentrasinya
dikacau oleh pasien di belakangnya yang mengerang kesakitan.
"Tambah lagi, keluarga yang mengantar tiba-tiba menangis meraung
karena pasien itu mati di jalan," katanya. Setelah beberapa kali
bertugas, Sujarno baru merasa sreg di belakang stir, apa pun
yang terjadi di mobilnya.
Walau ia sudah bertugas hati-hati dan rajin, tak berarti lolos
dari semprotan. Sering ia dimaki orang karena datang terlambat
mengangkut pasien gawat ke rumah sakit. Tentu saja enam sopir
teman Sujarno menampik tuduhan "menelantarkan" pasien itu.
"Rumah sakit yang besar ini hanya punya dua mobil ambulan,"
kata Sujarno. Mesinnya pun sudah setengah umur. Satu Fiat 1965
dan yang masih agak waras Ford Record 1974. "Mesinnya sering
rusak," kata Sujarno. "Tapi biar tua dan sering rewel, tidak
pernah mogok di tengah jalan."
Bekerja sebagai sopir ambulan bagi Antonius Pardede, 37 tahun,
dari Dinas Kesehatan Kotamadya (DKK) Medan, juga mengandung
pengorbanan. "Kerja begini menyangkut pekerjaan sosial," kata
Pardede sambil membersihkan mobilnya. Di samping itu, ia juga
merasakan manfaat bergumul dengan orang sakit setiap hari.
"Pekerjaan ini bisa menambah pengalaman terutama dalam cara-cara
memberi pertolongan pertama,"kata Pardede yang hanya tamat Sl.
Yang paling berat baginya adalah tugas malam. Karena tenaga
kurang, sering tengah malam rumahnya digedor. "Dengan mata yang
berat, saya layani juga. Habis, itu tugas saya," katanya.
Untung mobilnya sekarang tidak dipakai mengangkut mayat lagi.
"Khusus untuk mayat, sudah disediakan," katanya. Tapi ada pula
susahnya dengan mobil baru itu. Banyak panggilan dari luar kota
yang harus dia layani. Pernah dia harus menggenjot mobilnya
sejauh 450 km dari Medan untuk mengambil orang sakit gawat di
Padangsidempuan. Sering pula ia pulang balik ke Pematangsiantar
berjarak 120 km dan kota-kota lain di sekitar Medan.
Toh ia merasa masih mempunyai waktu luang. Sering ia nongkrong
di terminal bis. "Ee siapa tahu ada lowongan sopir "raun-raun"
mencari sewa di tengah kota," katanya. Dan memang rezeki sering
datang dari sana untuk menambah penghasilannya. Berpengalaman 23
tahun sebagai sopir ambulan, gajinya kini baru Rp 54 ribu
sebulan. "Lumayan," kata Pardede yang memulai karirnya sejak
usia 12 tahun sebagai kenek bis.
Tugas jarak jauh juga dialami Agus, 28 tahun dari Palang Merah
Indonesia (PMI) Semarang. Suatu ketika ia ditugasi mengirim
mayat ke Bogor. Karena instruksi mendadak, ia bersama delapan
tenaga Korp Suka Rela (KSR) yang mengurus mayat tidak sempat
memasukkan makanan untuk mengganjal perutnya. "Banyak rumah
makan tidak mau mobil jenasah itu parkir di depannya," katanya.
Apa akal? Ia parkir mobilnya di tengah sawah. Dengan berjalan
kaki agak jauh, sopir mobil ambulan itu tenang-tenang makan di
warung. "lggak bakal ada orang curi mayat," katanya.
Temannya, Tedjo mempunyai kesulitan lain. Ia harus mengangkut
mayat ke Wates, Yogyakarta. Tiba-tiba anggota keluarga yang
mengantar meminta mobilnya berhenti. Mengapa? "Mayat harus
digotong karena tidak ada jalan untuk mobil," katanya menirukan.
Terpaksa tangan yang biasa cuma untuk memutar kemudi itu ikut
pula mengangkat keranda. Jaraknya tidak tanggung-tanggung.
Menyeberang sungai, sawah dan lewat beberapa desa yang makan
waktu hampir satu jam.
Adakah biaya tambahan mengangkut mayat jalan kaki itu? "Honor
sopir sama saja," kata Tedjo. Untuk tugas luar kota, sopir
mendapat bagian 10% dari seluruh biaya. Itu masih harus dibagi
lagi dengan petugas yang mendampinginya 2,5%. Sedang ongkos
ambulan ke luar kota Rp 3.000 tiap km. "Untuk dalam kota, sopir
tidak mendapat uang tambahan," katanya.
Pilot
Pengemudi ambulan di Jakarta disebut pilot. Bersaagam putih
biru, mereka tidak hanya harus trampil melarikan mobil, tetapi
juga harus mampu memberikan pertolongan pertama: membalut luka
atau memasang peralatan infus. Di samping SIM yang sah, ia juga
mempunyai ijazah perawat: "Tapi yang lebih penting lagi adalah
ketenangan dan kehati-hatian," kata Herbert, 34 tahun yang
sudah enam tahun menjadi "pilot" ambulan di RS Cipto
Mangunkusumo.
Ketenangan memang sangat penting bagi seorang sopir ambulan,
terutama menghadapi keluarga pasien yang panik. "Salah-salah
orang yang ditolong akan berurusan dengan malaikat El Maut,"
kata Herbert. Tambah lagi ia harus tenangan sigap menembus
kesemrawutan lalu lintas Jakarta. Menghadapi korban, sopir dan
pembantunya harus mampu bertindak cepat. "Kalau tidak apa
bedanya kami dengan mobil kolt penumpang, " kata Herbert yang
masih bujangan.
Untungnya, ambulan rakitan dalam negeri rata-rata peralatannya
lengkap dan sesuai dengan kebutuhan di sini. Mulai dari tandu,
vacuum matras, pneumas plint (kantung untuk menanggulangi patah
tulang), dua botol oksigen ukuran 7 liter dan peralatan
lainnya. Di dalam mobilnya juga dipasang radio motorolla dan
pesawat CB untuk kontak dengan beberapa rumah sakit besar di
Jakarta.
Ambulan 118 itu biasanya diberi jalan oleh kendaraan lain.
"Tapi, kami punya pantangan. Tidak boleh ngebut di jalan," kata
Herbert. Dia termasuk perawat yang dididik di RS dr. Mintohardjo
milik TNI-AL itu. Larangan lain, mobil ambulan tidak boleh
membunyikan sirene selama mengangkut pasien. "Dengan sirene,
korban dan keluarga bisa lebih panik," katanya. Bila itu
dilanggar, paling sedikit sopir kena teguran.
Yang harus diangkut dengan mobil VW Combi putih itu bukan hanya
korban kecelakaan. Ada yang sakit jantung, muntaber, korban
perkelahian, atau ibu yang akan melahirkan. Untuk memanggilnya,
gampang saja. Putar telepon 118 atau 344003. Karena itu, sering
Herbert menerima penelepon liar. "Pak ada kecelakaan, dekat
rumah saya, di jalan anu," kata Herbert menirukan. Kontan ia
diperintah memacu mobilnya ke alamat itu. Setelah sampai di
tempat, ternyata tidak ada apa-apa. Lebih celaka lagi, ada yang
iseng memintanya mengangkut anjing, kucing atau monyet. "Jelas
kami tidak layani," katanya. Untuk menghindari penelepon liar,
penerima dimarkas ambulan itu menanyakan identitas, nomor
telepon secara lengkap. Sebelum mobil meluncur ke lapangan,
petugas mengecek kembali. Penelepon liar ternyata cukup banyak.
Rata-rata lima orang dari sekitar 20 permintaan sehari.
Sugeng, 28 tahun, sopir ambulan di RS Cipto Mangunkusumo
mempunyai kepuasan tersendiri selama 5 tahun duduk di belakang
stir. "Saya pernah mengangkut almarhum Ir. Sutami, bekas Menteri
PUTL sewaktu penyakitnya gawat, " katanya. Yang membahagiakan
"kalau yang saya tolong akhirnya selamat," katanya.
Seperti halnya Herbert perawat senior yang menyopir ambulan ini
pernah beberapa kali memberikan penataran tentang perawatan
gawat darurat kepada calon perawat dan karyawan beberapa hotel
internasional. Tekanannya, bagaimana memberi pertolongan pertama
kepada pasien yang mendekati ajal. Meski demikian, ia sering
dimaki petugas hotel ketika menolong pasien. "Mereka sok tahu,
malah suka betindak sebagai guru, "katanya. Mungkin mereka
menduga Sugeng dan kawan-kawannya cuma bisa menginjak gas mobil
ambulan.
Sugeng dan teman-temannya juga dibekali bahasa Inggris untuk
bisa berbicara dengan orang asing. Seminggu 4 kali, sopir-sopir
ambulan itu ramai-ramai ikut les bahasa Inggris. "Tambah lagi,
buku laporan juga kami tulis dalam bahasa Inggris. Sekedar untuk
melancarkan," katanya.
"Emergency"
Seluruh armada ambulan khusus ini mempunyai 5 mobil ditambah 3
buah cadangan. "Sayangnya belum ada pesawat helikopter milik
sendiri," katanya. Mereka pernah mengalami kesulitan pada waktu
harus menolong anak buah kapal di Laut Jawa yang menderita sakit
keras. Untuk itu, rumah sakit terpaksa minta tolong Badan SAR
Nasional (Basarnas). Mungkin hal itu perlu dipikirkan RSCM.
"Bukankah pertolongan pertama bisa dilakukan lebih cepat, tanpa
harus memikirkan hiruk pikuk lalu lintas Jakarta," kata Sugeng.
"Jabatan" sopir ambulan ternyata bukan hanya diminati kaum pria.
Titin Supriyatin, 20 tahun, tamatan Sekolah Perawat RS Gatot
Subroto itu juga mengincarnya. Sekarang, ia masih bertugas
sebagai co pilo ambulan. Ia mulai tertarik setelah beberapa
kali melihat film serial TVRI Emergency. "Ternyata tugas kami
sama seperti yang ada di tv," kata Titin yang sudah 8
bulan-mendampingi sopir ambulan.
Sebelum mendapat SIM A, ia harus mengikuti beberapa seleksi yang
diadakan RSCM dan Mabak, meliputi tes psikologi dan komputer
mengemudi. Pengalaman menjadi perawat ambulan banyak
menolongnya. "Kalau mobil mengangkut pasien, saya harus
menjaganya kalau terjadi keadaan kritis," kata Titin. Sekali
waktu pasiennya mengalami serangan jantung. Cepat-cepat ia
berteriak memanggil temannya yang memegang kemudi. Mobil
berhenti di pinggir jalan dan mereka berdua melakukan
pertolongan pertama. "Untung, sampai di rumah sakit tidak
terjadi apa-apa," katanya.
Tidak semua sopir ambulan dibekali pengetahuan seperti di RSCM
Jakarta. Artilan, 40 tahun, misalnya hanya mempunyai bekal SIM A
untuk bisa menyetir ambulan RS Bethesda, Yogyakarta. Sebagai
sopir ambulan sejak 1972, ia merasa tidak bisa ngobyek untuk
menambah gajinya Rp 37 ribu itu. "Kecuali kalau ada yang
menyewanya untuk mengantar jenasah ke rumah," kata Artilan.
Imbalan mengangkut jenasah itu ternyata tidak lebih dari Rp 10
ribu sebulan. Ia juga tidak jarang harus menandu pasien di
daerah yang tidak bisa dimasuki mobil seperti Gunung Kidul atau
Kulon Progo.
Kerja sopir ambulan memang tergantung ada tidaknya pasien. A.
Bakri, 48 tahun, seharian hanya duduk-duduk atau main gaple
bersama rekannya di markas ambulan DKK Surabaya. "Kadang-kadang
seminggu tidak ada sama sekali," katanya. Sejak menyetir ambulan
tua merk Dodge 1956, ia belum pernah celaka. "Mendengar raung
sirene, semua kendaraan sudah minggir," katanya. Dan yang
menikmati jasa mobil ambulan Bakri bukan hanya orang sakit.
Tetangganya sering minta tolong untuk mengantarkan jenasah ke
pemakaman. Imbalannya, ia mendapat uang bensin sekitar Rp 3.000.
"Masih tekor bensinnya, tapi sekedar amal, tidak mengapa,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini