Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Psikolog Sebut Krisis Etika yang Tercermin dari Konser Coldplay

Indonesia tengah menghadapi krisis etika dengan kejujuran menjadi salah satu korban utama, yang juga tercermin dari penonton konser Coldplay.

25 November 2023 | 21.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tak hanya menyajikan kegembiraan bagi puluhan ribu penggemar musik, konser Coldplay di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, 15 November 2023, juga menunjukkan krisis etika yang tengah terjadi. Kabar dari manajemen Coldplay mengenai tingkat pengembalian Xyloband, gelang pintar canggih yang menjadi simbol konser, yang hanya 77 persen menarik perhatian banyak pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari total sekitar 80.000 penonton, 18.400 di antaranya tidak mengembalikan Xyloband, angka yang mengejutkan, terutama jika dibandingkan dengan rata-rata tahun pertama konser Coldplay yang mencapai 86 persen. Fenomena ini memunculkan pertanyaan krusial tentang etika dan kejujuran di kalangan penonton Coldplay di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Psikolog Pprkembangan anak, remaja, dan pendidikan Theresia Novi Poespita Candra memberikan pandangan. Dosen di Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan Indonesia tengah menghadapi krisis etika dengan kejujuran menjadi salah satu korban utama. Ia menganggap mengembalikan Xyloband adalah bentuk etika dan tidak melakukannya merupakan contoh nyata krisis etika yang tengah melanda masyarakat.

Novi juga menyebut krisis etika sebenarnya tidak hanya tercermin pada pengembalian gelang konser melainkan juga perilaku sehari-hari. Contoh sederhananya, perilaku membuang sampah sembarangan tanpa memperhatikan etika kebersihan, juga merupakan contoh krisis etika yang tengah terjadi.

Dampak era digital
Menurut Novi, era digital berperan besar dalam memperburuk kondisi ini. Kecenderungan untuk merespons secara cepat dan tanpa berpikir panjang seringkali dipicu oleh teknologi, yang mempercepat segala sesuatu dalam hidup. Contoh dalam dunia digital, ketika tidak menyukai atau tidak sependapat, orang bisa langsung menghapus pertemanan tanpa mempedulikan etika dan dampaknya pada hubungan sosial.

Penting untuk memahami cara berpikir instan ini dipicu oleh cara kerja teknologi, yang cenderung mengejar efektivitas dan efisiensi. Namun, konsekuensi dari perilaku ini adalah kurangnya pertimbangan terhadap emosi orang lain dan dampak yang mungkin ditimbulkan. Dalam konteks ini, Novi mengatakan tidak mengembalikan barang seperti Xyloband adalah contoh nyata tindakan yang tidak etis karena tidak mempertimbangkan dampak terhadap pihak lain.

Salah satu aspek yang perlu dicermati adalah peran teknologi dalam membentuk cara berpikir dan bertindak. Ketidakmampuan berdialog juga menjadi salah satu dampak negatif era digital. Dengan segala kemudahan dan kecepatan informasi yang diberikan teknologi terjadi penurunan kemampuan memahami emosi orang lain dan dampak tindakan yang diambil.

Dari perspektif psikologi, Novi menjelaskan otak manusia memiliki bagian korteks prefrontal yang salah satunya memiliki tugas untuk membuat keputusan etis. Namun, penelitian menunjukkan di Indonesia, terutama di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, korteks prefrontal anak usia 15 tahun ke atas cenderung lemah karena kurang stimulasi melalui pendidikan.

Pendidikan sebagai solusi
Pendidikan menurut Novi memiliki peran krusial dalam membentuk moral dan etika. Sayangnya, pendidikan di Indonesia belum mampu membangun kesadaran diridalam berperilaku. Ia menyoroti kebijakan pendidikan yang lebih fokus pada standarisasi akademis, literasi, dan numerasi tanpa memberikan penekanan pada moral dan etika. 

Novi berpendapat perubahan paradigma pendidikan, dengan fokus pada kesadaran diri dan dialog, dapat menjadi langkah awal dalam mengatasi krisis etika. Moral dan etika terbentuk melalui moral reasoning, yang dapat dikembangkan melalui pendidikan yang melibatkan dialog dan diskusi.

Dalam jurnal Bhineka Tunggal Ika volume 2, nomor 1, Mei 2015, karya Amrina Rosyada menyebut pendekatan moral reasoning merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran melalui diskusi kelompok. Namun, kebiasaan mendiskusikan hal-hal etis belum menjadi fokus utama pendidikan di Indonesia. 

Penting untuk mencermati dampak ketidakmampuan berdialog dapat terlihat dalam berbagai aspek masyarakat. Fenomena ini seharusnya jadi peringatan untuk lebih memperhatikan pendidikan berbasis kesadaran diri dan dialog sebagai langkah krusial dalam mengatasi krisis etika yang tengah melanda.

Teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura dalam buku Belajar dan Pembelajaran karya Moh. Suardi (2018), menyebut manusia mengambil informasi dan memutuskan tingkah laku yang akan diadopsi berdasarkan lingkungan dan tingkah laku orang lain yang ada di sekitar. Dengan kata lain orang terdekat, termasuk orang tua, bisa menjadi contoh bagi anak-anak terkait perilaku.

Bila perilaku yang ditampilkan tidak baik, kondisi tersebut dapat turun-temurun dan menjadi tidak baik. Tetapi, menurut Novi, kebiasaan tidak baik orang tua atau lingkungan sekitar bisa diputus rantainya dengan adanya peran dari pemerintah sebagai pembuat peradaban baru melalui pendidikan formal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus