Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk pertama kalinya, Festival Tas Nusantara dihelat di Indonesia, tepatnya di Surakarta, Jawa Tengah, pada 22 Juni 2024.
Puluhan perajin tas tradisional dan modern memamerkan produk unik nan cantik mereka.
Semangat ramah lingkungan menjadi kekuatan produk tas Nusantara.
SUSMIRAH tampak duduk santai di salah satu sudut Pendapi Gede Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu, 22 Juni lalu. Perempuan 64 tahun itu menggenggam sebilah pisau di tangan kanannya. Adapun tangan kirinya memegang lembaran daun pohon gebang atau yang disebut daun agel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara cermat, Susmirah menggores lembaran daun gebang itu demi memisahkan serat dedaunan tersebut. Nah, serat-serat tipis bak tisu itulah yang sedang ia kumpulkan. Setelah dijemur selama beberapa hari, serat-serat agel itu bisa dipintal menjadi benang dan ditenun membentuk lembaran kain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaran tenun serat daun gebang itu kemudian bisa disulap menjadi berbagai bentuk kerajinan tangan. Tas tangan menjadi produk yang paling lazim dibuat oleh Jogjavanesia, jenama milik Susmirah yang bermarkas di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Faktanya, Desa Salamrejo menjadi sentra kerajinan serat agel. Adapun Susmirah adalah perintis usaha kerajinan tangan serat daun gebang di desa tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa produk olahan daun dari pohon jenis palem-paleman bernama latin Corypha utan itu diekspor hingga ke Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan Australia.
Pembuatan kerajinan ini sudah digeluti Susmirah sejak 45 tahun lalu, tepatnya 1978. Saat itu ia masih berusia 14 tahun. Meski masih remaja, Susmirah ketika itu sudah dipercaya sebagai ketua proyek kecil-kecilan belajar menganyam serat daun gebang.
Sukses belajar, Susmirah sanggup membuat beberapa karya tangan yang ia jual hingga ke Malioboro dan pusat wisata di sekitar Yogyakarta. Duit yang ia dapat dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Mulai pada 1990-an produk-produk Susmirah dikenal luas di pasar Yogyakarta. Pasar luar kota pun makin ramai setelah Susmirah rajin mengikuti pameran di Jakarta dan daerah lain.
"Saya dapat banyak pesanan hingga akhirnya mengajari warga untuk memenuhi pesanan itu," kata Susmirah.
Sejumlah pengunjung memilih-milih beragam jenis tas yang dipamerkan dalam Festival Tas Nusantara (Festara) 2024 yang digelar di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu-Minggu, 22-23 Juni 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Susmirah hanya satu dari puluhan perajin tas yang menjadi bagian dari agenda Festival Tas Nusantara yang dihelat di Surakarta, pekan lalu. Sesuai dengan namanya, festival ini menyuguhkan beragam rumah produksi tas bertema tradisional dan ramah lingkungan.
Untuk desain tas, Susmirah menyebutkan saat ini selera konsumen cenderung lebih cair. Mereka ingin terlibat dalam pembuatan desain tas yang akan dibeli. Dengan kata lain, pembeli saat ini mementingkan unsur eksklusivitas agar tak sama dengan milik orang lain.
"Pembeli itu seringnya malah tidak mau kalau disiapkan produk yang sudah ada. Biasanya mereka bawa model sendiri serta ukurannya, tapi tentunya tidak melenceng dari kemampuan kami," tutur dia.
Aneka tas berbahan baku serat alam produksi Jogjavanesia Craft itu dibanderol dengan harga bervariasi. Tergantung model, ukuran, hingga tingkat kesulitan membuat atau menganyamnya. Harga produk Susmirah dibanderol Rp 300-750 ribu.
Masih berbahan daun, Sigit Paripurno ikut memamerkan aneka produk kerajinan tangannya dalam Festival Tas Nusantara. Bedanya, Sigit memilih janur atau tunas pohon kelapa sebagai bahan kerajinannya. Dari janur, ia bisa menyulapnya menjadi bentuk tas, keranjang, mainan, hingga beragam dekorasi acara adat.
Salah satu tas unik yang mampu ia buat dari anyaman janur adalah kepes atau tabung yang biasa dipakai pemancing menyimpan ikan hasil pancingan mereka. Selain itu, ada beberapa bentuk tas unik yang bisa dibuat dari janur.
Sayangnya, Sigit menganggap saat ini masyarakat makin asing dengan beragam tas hasil seni anyaman tradisional. Karena itu, lewat produk-produknya, Sigit ingin mendekatkan lagi seni anyaman tradisional ke masyarakat.
"Semoga orang-orang zaman sekarang makin tahu bahwa ada potensi yang luar biasa dari seni tradisi ini,” ujar pria asal Solo itu.
Selain menjual produk, Sigit kerap membagikan ilmu seni menganyam di kanal media sosial miliknya. Ia berharap ada orang yang masih tertarik dengan seni anyaman janur. Sebab, saat ini makin sedikit orang yang bisa membuat anyaman janur untuk kebutuhan pesta pernikahan. "Bahkan para kakek-kakek di desa saya sudah jarang yang bisa," tuturnya.
Sigit mengaku mendapat ilmu menganyam janur dari kakeknya yang dulunya bekerja sebagai dekorator khusus Keraton Surakarta. Sejak remaja, Sigit sudah sering membantu kakeknya membuat berbagai macam anyaman janur untuk dekorasi upacara adat.
Berkat kepiawaiannya menganyam janur, Sigit sampai mendapat kesempatan menggelar pameran kreasi janur di Belgia. “Di sana saya memperkenalkan seni janur sebagai dekorasi dan tas atau keranjang,” kata dia.
Tas Shibiru, ciri khas ada pada warna biru yang dihasilkan dari pewarna alami indigo dari tanaman Strobilanthes Cusia dan fermentasi gula singkong. Foto diambil dari Festival Tas Nusantara atau Festara 2024 yang digelar di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu-Minggu, 22-23 Juni 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Ada pula tas-tas unik berkelir serba biru tua alias indigo yang dipamerkan Shibiru. Shibiru merupakan jenama yang secara khusus menjual beragam produk fashion yang memakai kain dari pewarna alami indigo dari tanaman Strobilanthes cusia dan fermentasi gula singkong.
Pemilihan warna alami menjadi kekuatan rumah produksi fashion asal Temanggung, Jawa Tengah, itu. Warna alami diyakini lebih ramah lingkungan dan lebih mudah menyerap pada media karya, seperti kain, kapas, rami, serta sutra.
Pakar warna Shibiru, Fatah Ipung, mengatakan pemilihan warna indigo berasal dari rasa penasaran tentang tanaman Strobilanthes cusia yang sebelumnya sudah dikenal sebagai pewarna alami di Taiwan dan Jepang. Rupanya tanaman jenis ini cocok hidup di ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut. Kondisi yang tepat dan sesuai dengan wilayah Temanggung.
"Warna ini juga awet, dicuci berkali-kali warnanya tetap kuat," ujar Fatah.
Selain itu, ada barisan tas produksi RinRin Ecoprint yang memadukan kain katun organik dengan pewarna alami dan bahan organik sebagai hiasan. Pemilik RinRin EcoPrint, Rinuk, mengatakan pewarna alam yang dipakai juga menggunakan bahan dari tanaman atau tumbuhan.
"Bisa daun, batang, akar, hingga kulit batang. Biasanya dipilih bahan dari pohon yang sudah tua untuk menghasilkan warna yang lebih cerah," kata Rinuk.
Keunggulan tas ecoprint produksi RinRin Ecoprint ini adalah motif-motif daun yang dibuat atau dicetak dari daun asli dengan menggunakan pewarna alami. Motif daun tersebut dapat diaplikasikan ke bahan kain katun organik ataupun kulit sebagai bahan pembuatan tas.
Rinuk menambahkan, setiap kain ecoprint adalah karya seni yang unik dan eksklusif karena motif yang dicetak tidak dapat direplikasi secara persis. "Jadi hasil motifnya akan berbeda-beda."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ecka Pramita dan Septhia Ryanthie dari Surakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.