Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENDATI telah berusia 51 tahun, Lenny Marlina masih energik dan kelihatan bugar. Sulit dibayangkan bekas bintang film ini pernah terjangkit penyakit tuberculosis (TBC). Ini terjadi pada 1971, saat ia baru menyelesaikan film pertamanya yang berjudul Ananda. "Waktu itu pengobatan tak seperti sekarang. Belum ada obat dimakan. Jadi, saya harus disuntik tiap hari," katanya.
Setelah penyakit itu bisa disingkirkan lewat pengobatan secara teratur, kini Lenny tak malu mengaku pernah mengidap TBC. "Saya ingin berbagi pengalaman bahwa TBC juga bisa disembuhkan," katanya kepada Tempo, pekan lalu. Menurut dia, keengganan berobat karena rasa malu amat berbahaya karena berarti membiarkan 10-15 orang lain berisiko ikut terinfeksi.
Rasa malu pula yang disingkirkan Darso, 37 tahun, ketika dokter memvonisnya mengidap TBC, satu setengah tahun lalu. Suatu hari, warga Manggarai, Jakarta Selatan, ini tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sedikit saja bergerak, ratusan jarum serasa menusuk dada kirinya. Semula lelaki yang berprofesi sebagai sopir ini mengira dirinya diteluh oleh orang yang benci kepadanya.
Setelah dipastikan menderita TBC, ia dirawat selama sembilan hari, di Rumah Sakit Moh. Ridwan Meuraksa, Jakarta Pusat. Dokter yakin Darso terserang TBC karena sesak napasnya meski pemeriksaan rontgen dan tes dahak hasilnya negatif. Berat badannya juga tak normal, hanya 35 kilogram dengan tinggi badan 167 sentimeter. "Dulu tubuh saya tinggal tulang dibalut kulit. Kerabat yang menjenguk sampai bilang, tinggal tunggu waktu melayat saja," kata Darso. Se-sudah berbulan-bulan melakukan pengobatan rutin, ia baru dinyatakan benar-benar sembuh pada Februari lalu.
Itulah TBC. Penyakit ini masih merajalela di Indonesia dengan angka pertambahan penderita sekitar seperempat juta setiap tahun. Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina. Jumlah yang meninggal gara-gara tuberculosis pun cukup besar, sekitar 140 ribu per tahun. Penyakit TBC berada di posisi ketiga sebagai penyebab kematian setelah penyakit jantung dan pernapasan akut.
Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular, Prof Dr Umar Fahmi Achmadi, penyakit tersebut sulit diberantas karena terbentur persoalan yang kompleks. Tak hanya soal dana, tapi juga menyangkut kesadaran masyarakat mengenai kesehatan. "Penyakit ini memang identik dengan kemiskinan," kata Umar.
Kondisi tersebut amat memprihatinkan karena penyakit TBC sudah diidentifikasi lama. Ilmuwan Jerman, Robert Koch, yang mengumumkan pada 24 Maret 1882 di Berlin. Saat itu ia mempresentasikan basil penyebab TBC yang ditemukannya. Itu sebabnya, tanggal 24 Maret selalu diperingati sebagai Hari TBC Sedunia.
Sekarang penanganan terhadap penderita TBC sudah semakin maju. Salah satu caranya lewat DOTS (Directly Observed Treatment Short Course). Penderita diberi pengertian yang mendalam tentang upaya penyembuhan penyakit ini. Setiap pasien juga perlu didampingi seorang pengawas minum obat (PMO). Strategi yang diterapkan di Indonesia sejak 1996 ini sebetulnya sudah membuahkan hasil. Dalam empat tahun terakhir, 85 persen dari penderita TBC bisa disembuhkan. Namun, masih banyak penderita yang tinggal di daerah terpencil, jauh dari pusat kesehatan.
Lenny Marlina dan Darso termasuk yang beruntung. Mereka mendapat perawatan dan pengobatan maksimal karena keduanya tinggal di Jakarta. Darso, misalnya, selama 16 bulan mesti minum obat secara teratur. Dengan kesadarannya sendiri, ia memisahkan peralatan makannya agar tidak dipakai anggota keluarga lain.
Penderita TBC biasanya diberi segepok obat, di antaranya Pirazinamid, Rifabutin, dan Koamoksiklav. Mereka juga mesti mengkonsumsi Klorpromizin, Trifluoperazin, serta derivat vitamin D. "Dulu saya sampai bosan minum obat. Pernah saya disodorkan 15 butir pil untuk sekali minum," kata Darso.
Lelaki berkulit gelap itu selalu dingatkan oleh istrinya, Mulyati, untuk minum obat secara teratur. Sebagai PMO, sang istri amat telaten mengurusi suaminya. "Saya lebih memilih ribut daripada dia tidak mau makan obat, "ujar Mulyati.
Menjadi PMO memang butuh kesabaran ekstra. Ini dirasakan pula oleh Sidik, 42 tahun, warga Ciledug, Tangerang, saat mendampingi Titin Hartini, 35 tahun, istrinya, yang juga terserang TBC pada 2002. Setiap hari ia mesti mengingatkan istri agar minum obat. Keluarga Sidik beruntung karena mendapat pengobatan gratis dari klinik Perkumpulan Pemberantasan Tuberculosis Indonesia di Jakarta Selatan. Setelah sembilan bulan rajin mengkonsumsi obat, akhirnya sang istri pun sembuh.
Ketidakteraturan mengkonsumsi obat menjadi sebab utama pengobatan TBC gagal di tengah jalan. "Telat sekali saja minum obat, maka kondisinya akan jauh lebih buruk," kata Mulyati. Padahal, pasien yang gagal dalam pengobatan justru membahayakan diri dan lingkungannya.
Banyak faktor lain yang memperburuk kondisi pengidap TBC, antara lain hilangnya motivasi untuk sembuh. Orang sering menganggap TBC semacam penyakit kutukan dan tak mungkin disembuhkan. Buruknya gizi dan sanitasi keluarga juga mempengaruhi. Keadaan semakin memburuk jika si pengidap adalah juga pencari nafkah utama dalam keluarga, kesejahteraan keluarganya kian terganggu. Menurut Dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), yang baru saja menulis buku Tuberkulosis , Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, umumnya penderita akan kehilangan masa kerja sekitar 3-4 bulan.
Lamanya proses penyembuhan TBC membuat penderita kerap putus asa. Itu sebabnya hanya pasien yang sungguh-sungguh ingin sembuh dan punya keyakinan tinggi yang bisa bebas dari penyakit ini. Lenny Marlina dan Darso telah membuktikan hal itu. "Sejak dulu saya yakin penyakit yang saya derita bisa disembuhkan," kata Darso.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo