DERITA sedang bersahabat dengan Herwinda. Wanita yang semula lincah dan gemar olahraga bela diri kempo itu kini hanya dapat duduk di kursi roda. Dulu, hobinya mendaki gunung, sekarang beralih menyulam. Malah, sejak empat tahun lalu tubuhnya sudah tidak boleh digerakkan. Ketika itu bekas primadona kampus ini hanya tergolek di tempat tidur. Jika ia bergerak, tulangnya patah. Itu pernah dialaminya ketika bangun tidur dan memaksakan dirinya ingin cepat duduk dengan cara menyangga tubuh dengan tangannya. Tulang lengannya tiba-tiba retak. Penyakit yang diderita Winda -- begitu panggilan akrabnya -- termasuk langka. Kerapuhan tulangnya membuat ruasruas tulang belakangnya tak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Ruas tulang terperosok dan punggungnya mengalami skoliosis -- pembengkokan ke lateral tulang belakang. Akibatnya, tinggi tubuh wanita berusia 31 tahun itu, yang semula 158 sentimeter, kini mengerut menjadi 135 centimeter. Gejala penyakit itu sebenarnya sudah dirasakan Winda sejak tahun 1982. Waktu itu, sarjana IKIP Surabaya ini, kalau selesai berjalan agak jauh, sering mengeluh tulangnya ngilu. "Semula saya nggak menggubris. Saya pikir cuma kecapekan biasa," kata wanita berkacamata minus itu, di rumahnya di Surabaya. Sekitar tahun 1984, tulang belakang Winda mulai bengkok. Mulailah Winda menjalani biopsi yang pertama di RS St. Paulo Surabaya. Hasilnya menunjukkan bahwa tulang panggulnya retak. Selanjutnya merembet ke tulang iga. Bahkan dua tulang iganya sudah remuk. Lama-lama, rasa sakit terus menggerogoti tulang-tulangnya. Beberapa kali ia memeriksakan diri ke dokter, hasilnya dikatakan bahwa ia terkena rematik. "Saya sendiri lupa berapa dokter yang sudah menangani penyakit saya ini," katanya kepada Amsakasasi dari TEMPO. Memburu orang "pintar" pun juga sudah ia lakukan. Namun, kondisi tulangnya kian memburuk. Perawatan lewat fisioterapi juga sudah dijalaninya. Winda pernah mondok di Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Dokter Soeharso, Solo, selama 105 hari. Toh kemampuan berjalannya menurun. Karena tak kunjung ada kemajuan, akhirnya ia dibawa pulang ke Surabaya. Dan sejak 1990, dokter dari FK Universitas Airlangga, Surabaya, membentuk tim untuk menangani penyakit yang diderita Winda. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, tim tersebut menyimpulkan bahwa Winda menderita Osteomalacia hypofosfatemia, yaitu kerapuhan tulang yang disebabkan kekurangan kadar fosfat akibat gangguan metabolisme tubuh. "Padahal, fosfat adalah salah satu unsur penting dalam pembentukan tulang," kata ketua tim, Prof. Askandar Tjokroprawiro. Osteomalacia hypofosfatemia merupakan penyakit yang langka. Di Indonesia, katanya, yang serius seperti penyakit yang dialami Winda baru pertama kali terjadi. Dalam literatur kasus penyakit ini tak banyak dibahas karena memang jarang ditemukan. Menurut seorang anggota tim, Dokter Abdurachman, penderita penyakit seperti dialami Winda biasanya akibat ginjalnya tak berfungsi dengan baik. "Anehnya, dari hasil diagnosis, ginjalnya dalam kondisi sehat," kata ahli tulang ini. Sebenarnya, pembentukan tulang yang terjadi pada tubuh Winda berjalan normal. Hanya proses mineralisasinya kurang lancar. Fosfat yang mengalir dalam tubuh seharusnya diserap untuk pembentukan tulang, malah keluar hanyut bersama urine. "Inilah yang menyebabkan tulang menjadi lunak," ujar Abdurachman. Untuk mencari penyebab kegagalan ginjal Winda melakukan resorbsi fosfat, tim dokter tersebut akan mengirim anak sulung dari tiga bersaudara ini ke Singapura. Kata Abdurachman, "Kita belum punya alat untuk mendeteksi penyebab itu secara pasti." Menurut tim dokter yang menangani penyakit Winda, kadar fosfat dalam darah manusia normal adalah 4,6 m.Eg per liter. Tapi, selama pengamatan, kadar fosfat dalam darah Winda sangat rendah, hanya 1,6-2,7 m.Eg per liter. Pernah kadar fosfat itu naik mencapai 4 m.Eg per liter, kemudian melorot. Walaupun begitu, setelah ditangani tim dokter tadi tampaknya kondisi Winda mulai menunjukkan kemajuan. Kini ia sudah mulai bisa berdiri dan berjalan pelanpelan. Namun, ia harus tetap hati-hati. Karena, menurut Abdurachman, seluruh tulangnya terancam retak. Bahkan tulang tengkoraknya harus dijaga, jangan sampai terbentur. Apakah kerapuhan tulang yang dialami Winda dapat disembuhkan? "Kemungkinan besar bisa," ujar Dokter Chehab Rukni Hilmy. Menurut ahli tulang di FK Universitas Indonesia yang juga Presiden Western Pasific Orthopaedic Association ini, tulang manusia setiap detik mengalami perombakan dan pembentukan. Dan itu baru berhenti jika orang sudah meninggal. Persoalannya sekarang, kata Chehab, apakah perombakan dan pembentukan tulang itu dapat sebanding. Kalau lebih besar perombakannya, berarti tulang akan menjadi keropos seperti yang dialami Winda itu. Karena, kebutuhan zat fosfat yang diandalkan untuk membangun tulang baru ternyata tidak dapat dipenuhi. Bagi penderita rapuh tulang hipofosfatemia, itu memang dapat dimaklumi. Penyebabnya bisa akibat kerusakan fungsi ginjal atau hormonal. Jadi, kalaupun pemasukan fosfat dengan dosis tinggi dapat dilakukan, tapi kemampuan tubuh untuk menyerapnya kecil, ya akan terbuang percuma. "Maka, memang diperlukan filter supaya fosfat yang dimasukkan tidak mudah hanyut begitu saja," kata Chehab Rukni Hilmy. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini