SETELAH "mengancam" melalui koran-koran sepekan penuh, akhirnya Ketua PBNU Abdurrahman Wahid, 52 tahun, berhasil mendapatkan izin polisi untuk menyelenggarakan rapat akbar menyambut hari lahir NU ke68 di Parkir Timur Senayan, Jakarta, 1 Maret. Kamis pekan lalu, Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, menerima wartawan TEMPO Agus Basri dan Wahyu Muryadi selama dua jam di kantor PBNUJalan Kramat Raya, Jakarta, untuk sebuah wawancara. Petikannya: Akhirnya berhasil juga, Gus? Kami ini sebenarnya kan cuma mengulang. Dengan menyatakan RI adalah bentuk final dari upaya mendirikan negara di bumi Nusantara itu kan sama saja dengan mengatakan NU berpegang pada RI. Kepada Pancasila dan UUD 45. Kenapa orang pada geger? Saya ini tidak memihak siapa-siapa. Hanya tunduk pada konstitusi. Rapat akbar itu gagasan Anda sendiri? Ya, dari saya. Saya ini ngobrol dengan teman-teman di daerah-daerah, mau mencari legitimitas. Lalu saya ketemu Presiden. Saya sampaikan rencana rapat akbar itu. Pak Harto setuju. Kabarnya Anda salah menafsirkan ucapan Pak Harto? Saya bilang kepada Pak Harto bahwa saya harus menyalurkan aspirasi warga NU. Caranya, ya, dengan ikrar. Pak Harto bilang, "Janganlah nanti disangka rekayasa." Kalau begitu, ya, nggak usah saja, saya bilang. Tapi Pak Harto mengatakan, "Lho, jangan, terus saja. Silakan." Begitu kok dibilang salah tafsir. Katanya Golkar nitip ya? Golkar titip. Camelia Malik kan warga NU, mbok diajak. Itu saja. Kalau tidak repot, ya, silakan. Nggak nyebut Golkar, nggak apa. Anda kan anggota MPR dari Golkar? Bukan! Saya keberatan dibilang Golkar. Saya NU. Saya Golkar di sana kan Golkar cakupan, karungan. Artinya, ya, tidak punya kartu anggota, masuk karungnya Golkar saja. Tapi rapat akbar ini tak lepas dari pentas politik? Itu nggak ada urusannya dengan politik. (Uskup Manila) Kardinal Sin kan menyokong (calon presiden Filipina) Ramon Mitra, apa gereja lantas jadi lembaga politik? Sampeyan tahu, saya ini mau politik-politikan apanya. Politik saya itu ya politik bangsa. Saya ingin kaum muslimin masuk pemilu itu mbok menekankan pada masalah penyatuan bangsa. Kebersamaan. Persamaan hak semua warga negara itu fundamental. Jadi, rapat akbar itu sebagai pendidikan politik. Kan NU sudah kembali ke khitah, Gus? NU memang tidak kembali ke politik praktis. Ini politik dalam arti wawasan. Wawasan persamaan. Jangan lupa, dalam politik itu yang paling mendasar adalah menegakkan demokrasi. Buktinya, ada yang tidak setuju rapat akbar, seperti Chalid Mawardi. Silakan saja. Namanya demokrasi. Kalau nggak main politik praktis tentunya dulu tidak menggembosi PPP kan? Penggembosan PPP itu bukan oleh NU. Itu kan Pak Yusuf Hasyim, Mahbub Djunaidi, barisan sakit hati yang kalah sama Naro. Apa sampeyan pernah dengar saya pidato supaya menyokong Golkar? Wong, ibu saya PPP. Apa yang diinginkan dengan menggelar rapat akbar ini? Saya cuma ingin menyadarkan warga NU. Dengan pemilu itu, sentralkan pada memenuhi kewajiban Pancasila dan UUD 45. Tidak kepada Pemerintah? Terserah yang menafsirkan. Ada yang menafsirkan ini mendukung Pak Harto dan ada yang bilang ini tidak cocok dengan Pak Harto. Yang bingung kan bukan NU. Itu juga kebulatan tekad, cuma tidak ke Pak Harto. Nggak tahulah. Kebulatan atau kelonjongan. Sampeyan jangan melihat dari sudut apa pun kecuali: ini upaya pencarian legitimitas. Siapa sih, yang memiliki legitimitas dari mayoritas di NU. Apakah saya atau pandangan yang sektarian? Jadi, ...? Di NU itu sudah terjadi dua pola berpikir. Ada yang nggegeri (meributkan) Kristenisasi, sekularisasi sembarang kalir. Seperti Syukron Makmun dan Pak Ud (Yusuf Hasyim) itu. Ini kecenderungan yang eksklusif kepada golongan Islam saja. Kami ini kerja sama dengan semua pihak. Jadi, buat saya, itu ya mbok meluas saja. NU itu besar, harusnya mengayomi semuanya. Memangnya semuanya harus selaras dengan pikiran Anda? Bukan begitu. Dalam organisasi segede NU, harus jelas orientasi warga NU itu mayoritasnya ke mana. Saya ini mengusulkan suatu pendekatan. Lha, jawabnya gimana, itu tergantung mereka. Ngukurnya gimana, ya, pakai rapat akbar. Saya tawari ikut saya mau nggak. Ayo berapat akbar, berikrar. Kalau banyak yang datang, ya, jangan menyalahkan saya. Itu menunjukkan tuduhan selama ini bahwa saya tidak laku di NU nggak dipahami ulama, itu omong kosong. Ada yang bilang nggak jelas apa maunya Anda? Dibilang nggak jelas malah enak kok. Kan terus ditunggu. Lama-lama terus, oh, begitu saja toh. Ibarat dagangan, kan harus pintar menjualnya. Yang pasti, dengan itu warga tahu bahwa ketiga orsospol itu instrumen UUD 45 dan Pancasila. Jadi, mari kita lupakan kepentingan politik golongan. PPP, PDI, Golkar itu apa. Malah, sebenarnya yang paling dibantu dengan sikap ini kan PDI. Juga PPP. Bukan karena ingin jabatan menteri? Jadi menteri itu ketemu pirang perkoro (dari mana). Ketua Forum Demokrasi itu kan langsung masuk file ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan). Cita-cita saya sih hanya jadi guru bangsa, seperti Ki Mangunsarkoro, Ki Hajar Dewantara, Hamka. Kalau di pemerintahan, ya seperti (Wapres) Bung Hatta, sebagai pejuang demokrasi. Kalau orang sekarang, seperti Romo Mangun, mengajar rakyat kecil untuk bangkit memperjuangkan nasib sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini