Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ar-rapatu al-akbar

Di kalangan nu, acara berkumpul seperti rapat akbar adalah bagian dari implementasi ibadah. dimaksudkan mengikat warga menjadi kesatuan dalam pembangunan, tanpa adanya sektarianisme.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAWAT Badar, zikir dan takbir kembali bergema di langit negeri ini. Digumamkan jutaan bibir penuh semangat. Digelorakan dada-dada yang berdegup. Sesak napas dan sesak udara tak bakal menghambat niat. Dan gemanya mendobrak segala nyali. Seorang tua di desa kecil Denanyar, Jombang, Jawa Timur, terkenang masa lalunya. Saat ia mesti berangkat ke Jakarta sesudah G30S/PKI. Dengan baju Banser lengkap, dengan langkah tegap, ia menghentakkan kaki di baris paling depan. Kenangan rapat akbar NU tahun 1966 adalah kenangan unjuk kekuatan NU. Kenangan itu adalah kenangan pengganyangan PKI dan penumbangan Orde Lama. Kenangan itu menjadi halaman sejarah bangsa ini. Lalu mengapa Pak Dur kini menggemakan kembali Salawat Badar? Mengapa tak mendirikan masjid, pesantren, atau lembaga lain? Apa yang sedang terjadi kini? Dan mengapa warga bersedia pergi ke rapat akbar ini? NU memang organisasi unik. Pada dasarnya, agenda kumpul-kumpul bagi warga NU adalah agenda rutin yang menjadi bagian dari cara hidup para warga. Dan itu adalah acara biasa tanpa kejutan-kejutan meski melibatkan ratusan ribu warga sekalipun. Di NU ada dzibaiyah, ada barzanji, ada tahlil, ada hadrah. Juga ada Gus Mik yang kini aktif berkeliling dengan kelompok semaan yang menarik minat puluhan bahkan ratusan ribu orang. Dan tak ada apa-apa. Malah tak ada yang mengherankan meski Gus Mik lebih sering diundang Golkar. Segala bentuk ramai-ramai itu semua adalah force NU yang tak perlu dishowkan. Karena, bagi para warga bersarung berkopiah itu, kumpul-kumpul seperti itu adalah bagian dari implementasi ibadah mereka. Mereka rela meski menempuh perjalanan panjang dengan truk atau ratusan kilo dengan sepeda motor. Mereka siap mengucapkan kalimat puja-puji di mana saja. Pemahaman beribadah semacam itu adalah basis material di bidang keagamaan di kalangan NU yang kukuh dan terhunjam dalam. Faset lain dari penampilan NU adalah basis material kebudayaan yang juga mengikat warga menjadi kesatuan. Kepatuhan seorang santri kepada kiainya yang nyaris tanpa reserve telah menciptakan hubungan ketundukan yang lengket dalam setiap tindak-tanduk. Sedangkan di lain pihak, pola ini pula yang menjadi pola hubungan kultural dalam masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa. Bukankah pola di negeri ini juga kental dengan budaya ketundukan dan ketaatan? Bukankah kita akrab dengan budaya tuntunan dari atas yang tuntas. Bukankah warga negeri ini tetap setia menunggu juklak dan juknis? Dan dalam tubuh NU sebagai subkultur masih terdapat berbagai peluang penyerapan berbagai kultur yang justru dominan dalam pola hidup bangsa ini. Warga NU adalah mereka yang rajin berziarah kubur, makam para sunan, dan makam para wali. Dan mereka tulus. Basis keagamaan dan basis kebudayaan inilah yang menautkan warga NU menjadi satu kesatuan sebulat gambar bola dunia yang diikat tali. Seorang NU bakal langsung ditengarai saat dia mengucapkan talqin untuk jenazah. Tetapi ternyata masih ada basis lain yang belum sepenuhnya mampu menampilkan wujud warga NU dengan penuh. Yaitu, seorang NU akan sulit mengenali warga NU lain yang aktif di organisasi politik lain. Akan sulit menengarai apakah seorang tokoh politik adalah seorang NU. Dan inilah yang sedang dicari oleh Pak Dur dengan semula berencana mengerahkan dua juta manusia, yang kemudian jumlah ini direkayasa untuk dikurangi. Menelusuri kembali riwayat perjalanan NU, rapat akbar ini bukan sekadar show of force. Bukan pula nostalgia NU tentang masa-masa pahit sewaktu tergabung dalam partai politik. NU justru menjadi besar jika berada di luar jalur politik formal. NU akan mampu mengibarkan bendera tinggi jika tak dibebani bendera-bendera lain. Dan kini, sesudah NU memutuskan tidak lagi bermain di arena politik praktis tahun 1984, NU kembali menemukan jati diri. Rasanya tidak terbersit niat bagi para tokoh NU untuk kembali masuk pertarungan praktis dalam partai yang menguras energi. Sejak keputusan kembali ke khittah di Muktamar Situbondo itu NU sedang bergulat menemukan basis-basis lain di bidang politik dan ekonomi. Menggali potensi diri untuk menapak era John Naisbitt dan Alfin Toffler. Mengapa rapat akbar yang dipilih? Rapat akbar adalah majelis pertemuan biasa dalam NU. Yang berbeda adalah ukuran rapat itu. Yang perlu disinggung dari beberapa maksud akbar itu adalah maksud yang harus dikaitkan dengan penampilan sosok pemrakarsa rapat akbar itu sendiri, Pak Dur. Dalam diri sosok ini ada sosok antisektarianisme, antieksklusivisme, antimarah, dan antiperpecahan. Dan Pak Dur memberikan contoh konkret dalam setiap keantiannya. Pak Dur pernah mengatakan kalau dia terpaksa harus memilih antara NU dan Forum Demokrasi yang melibatkan banyak tokoh nonmuslim, maka ia bakal pilih FD. Pak Dur pernah diterpa badai protes ketika dia satu-satunya tokoh yang tak marah kepada tabloid kurang ajar yang menghina Nabi Muhammad. Dan untuk antiperpecahan, rapat akbar inilah forum yang dipakai Pak Dur dalam mengejawantahkan betapa pentingnya kesatuan dalam pembangunan bangsa ini. Amat politis jadinya. Amat meneguhkan eksistensi politis, dan di luar arena. Politik adalah politik, yang bisa mengubah teman tidur menjadi lawan, bahkan musuh. Tetapi semangat membangun bangsa adalah semangat yang tidak menciptakan keretakan, sektarianisme, dan eksklusivisme. Dalam banyak kesempatan, Pak Dur mempertanyakan mengapa ada pemahaman bahwa mayoritas mesti menang atas minoritas. Dalam berbagai peristiwa, Pak Dur mempertanyakan mengapa kita harus marah kepada papan reklame sepeda motor dengan gadis berpaha pualam. Lalu dalam membangun bangsa ini, mengapa kita mesti marah kepada orang lain yang tidak seiring. Politik adalah mengatur urusan orang banyak demi kepentingan pribadi, menurut Ambrose Bierce. Aforisme ini yang ingin dijungkirbalikkan oleh Pak Dur menjadi politik adalah mengatur urusan orang banyak demi kepentingan orang banyak. Dan orang banyak itu adalah, di antaranya, para warga NU yang rela menempuh perjalanan panjang, untuk sekadar bersama-sama mengucapkan Salawat Badar. Tetapi orang banyak adalah juga mereka yang tak ikut hadir dalam rapat akbar, mereka yang tidak bersalawat Badar, dan mereka yang tak tahu apa itu Salawat Badar di penjuru republik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus