Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Rumah Sakit Swasta Lagi Sakit

Sangat sedikit masyarakat yang memilih rawat inap di rumah sakit. Akibatnya, rumah sakit swasta terancam gulung tikar.

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sal-sal di Rumah Sakit Budi Lestari, Bekasi, terlihat lengang. Kasur-kasur di ranjang terlipat dengan bantal dan guling di dalamnya. Bila malam tiba, penerangan tak dinyalakan karena memang tak ada orang di dalamnya. Hanya sebagian kecil sal ada pasiennya. "Enak, Mas, di sini murah dan tenang," ujar Rahimah, yang saat itu sedang menunggui suaminya. Sayangnya, berkah ketenangan yang diterima Rahimah ini, di sisi lain, adalah petaka bagi pihak rumah sakit. Masalahnya, salah satu penyumbang ketenangan ini adalah sangat sedikitnya pasien yang mau menjalani rawat inap. Padahal, pelayanan di rumah sakit ini boleh dipujikan. Fasilitasnya lumayan memadai, sementara tenaga dokternya relatif lengkap. Lantas? Krisis berkepanjanganlah yang dituding menjadi gara-gara. Sebelum krisis, setidaknya 70 persen kapasitas tempat rawat inap terisi di RS Budi Lestari setiap bulannya. Setelah krisis, "tingkat hunian" ini merosot tajam sampai hanya 13 persen. Ironisnya, rumah sakit ini baru saja mengembangkan dirinya untuk beroleh akreditasi yang lebih baik dari Departemen Kesehatan. "Kalau kondisinya begini terus, entah sampai kapan kita bertahan. Setiap bulan kita sudah harus menombok Rp 10 juta," ujar Setyo Haryono, kepala tata usaha di tempat ini. Pemandangan serupa dijumpai di beberapa rumah sakit swasta lain. Desain interior yang mirip hotel berbintang di RS M.H. Thamrin di bilangan Salemba, Jakarta Pusat, saat ini barangkali terasa menyesakkan pihak pengelola. Betapa tidak, dari 213 tempat tidur pasien yang tersebar di enam lantai di rumah sakit berkelas B ini, paling banyak hanya 30 persen yang terisi. Itu pun di kelas III (Rp 55 ribu/malam) dan kelas II (Rp 120 ribu/malam). Sedangkan kelas VIP (Rp 400 ribu/malam) dan super-VIP (Rp 600 ribu/malam) kosong melompong. Padahal, langkah pengembangan yang dilakukan pihak yayasan tidak main-main. Rp 37 miliar telah diguyurkan untuk menyulap citra rumah sakit ini dari tempat pelayanan kesehatan untuk kelas menengah ke bawah menjadi referensi kalangan berada. Bahkan, fasilitas helipad pun tersedia. "Kami sekarang kesulitan membayar cicilan utang," ujar Dokter Chalid Soedirdo, S.K.M., direktur rumah sakit ini. Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) masih bernasib sedikit baik bila dibandingkan dengan beberapa rumah sakit swasta lainnya. Menurut Dokter Anitya Irna dari bagian Public Relations RS MMC, sekalipun jumlah pasien rawat inap menurun, tempatnya masih bisa beroleh pemasukan sedikit di atas biaya operasional, yang sampai Rp 2 miliar per bulannya. "Selama masih ada 60 pasien rawat inap per bulan atau 40 persen dari 170 kapasitas, kita masih bisa survive," ujar Anitya. Namun, unit laboratorium dan radiologi masih merugi di tempat ini. Meskipun begitu, menurut Anitya, pihak rumah sakit tidak akan memaksakan tindakan medis yang tidak perlu demi mengejar untung. "Kami harus menjaga citra," kata Anitya. Pihak Departemen Kesehatan sendiri selaku pembina rumah sakit swasta telah menganjurkan agar dilakukan pengencangan ikat pinggang. Bahkan, bila perlu, dibuka bisnis sampingan seperti menyewakan kamar yang kosong kepada keluarga pasien atau menyewakan peralatan canggih kepada rumah sakit lain. Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik Dr. Sri Astuti S. Suparman, tidak mungkin mengelola bisnis ini bila tidak ada keuntungan yang didapatkan. Soalnya, hal ini berkaitan erat dengan mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. "Tanggung jawab pekerja medis itu berat sekali, menyangkut nyawa orang," ujar Sri Astuti. Di sisi lain, kondisi ini justru membuat rumah sakit pemerintah dilirik lagi oleh ma-syarakat. Menurut Astuti, hal ini seharusnya dipertahankan dengan memberikan pelayanan yang bagus. Sementara itu, akreditasi yang dilakukan Departemen Kesehatan, menurut Sri Astuti, tidak akan banyak membantu kondisi finansial rumah sakit swasta. "Kita hanya bergerak di bidang teknis. Tidak semua bisa kita intervensi," kata Sri Astuti. Nah, masihkah berlaku pemeo: makin banyak orang sakit, makin sejahtera rumah sakit? Yusi A. Pareanom, Hardy R. Hermawan, Dewi R. Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus