ENAM pesawat jenis PA 38-122 Tonlahawk II berjajar di Landasan
Udara Angkatan Laut (Lanudal) Juanda, Surabaya. Tubuh dan sayap
keenamnya dihias dengan kertas aneka warna. R. Soekardjono,
Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Dep. Perhubungan, lantas
menyirami pesawat latih itu dengan air kendi. Hari itu, 23
Oktober, dia meresmikan berdirinya Sekolah Penerbangan Juanda
(SPJ).
Sekolah ini didirikan oleh PT Jaemco yang bergerak di bidang
pemeliharaan pesawat. Juga menyewakan pesawat, perusahaan itu
secara mulus memperoleh izin mendirikan SPJ. Suatu kenyataan
bahwa kebutuhan akan tenaga pilot semakin meningkat.
Soekardjono menghitung, dalam Pelita III ini saja, Indonesia
memerlukan 750 pilot--berarti 150 pilot dibetulkan pertahunnya.
Sementara Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug, milik
pemerintah, hanya mampu meluluskan rata-rata 50 pilot
setahunnya.
M. Yunus, 54 tahun, Dir-Ut PT Jaemco, mengetahui kurangnya pilot
dari pengalaman perusahaannya. Ketika suatu hari dikontrak
perusahaan perkebunan di 8umatera untuk mengangkut bibit karet,
ia mengalami kesulitan mencari penerbang. Sejak itu sang Dir-Ut
bercita-cita mendirikan sekolah pilot.
Dengan modal 6 pesawat latih, empat ruang kelas, sebuah
laboratorium bahasa untuk 10 orang, sebuah ruang pemutaran film,
satu lapangan olahraga dan sebuah asrama untuk 100 orang, SPJ
berjalan dengan kurikulum seperti yang ada di PLP Curug. Dan PT
Jaemco bekerjasama dengan pihak Angkatan Laut RI. Maka
penggunaan Lanudal Juanda gratis. Juga SPJ menggunakan
lapanganudara Sumenep, Madura, dan Kranji, dekat Pasuruan, tapi
"belum ada kepastian pembayarannya," kata Santoso Boedjonagoro,
seorang manajer Jaemco.
Sementara ini SPJ hanya mendidik calon pilot untuk tingkat PPL
(Person Pilot Licence--lisensi pilot pribadi) dan CPL
(Commercial Pilot Licence--lisensi pilot komersial). Sedang di
PLP Curug dididik juga calon teknisi pesawat, tenaga lalu-lintas
udara, dan tenaga pembina.
Angkatan Pertama SPJ berjumlah 25 siswa -- 16 di antaranya
anggota TNIAL, seorang dari Polri. "Prioritas pertama memang
diberikan kepada TNI-AL, mengingat banyak tenaga instruktur dari
TNI-AL, dan kantor Jaemco di Surabaya pun pinjaman dari Angkatan
Laut," tutur Soeyono Yoesoesewoyo, Letkol TNI-AL yang memimpin
SPJ.
Untuk 18 bulan pendidikan yang dibagi menjadi 4 semester,
seorang siswa harus mengeluarkan Rp 15 juta lebih. Atau hampir
Rp 850 ribu per bulan. Biaya itu boleh diangsur.
Menurut Letkol Soeyono, SYJ memperkecil kemungkinan adanya siswa
yang putus sekolah. Antara lain diadakim tes kesehatan, tes
psikologi, matematika, bahasa Inggris. Benar-benar penyaringan
yang berat. Hasrat menampung 100 siswa terpaksa ditunda, karena
cuma 25 itu yang lulus tes.
Di PLP Curug, menurut Drs. Mohammad Saleh, Kepala Seksi
Penerimaan Taruna, angka putus sekolah mencapai 40%. Sebab
utamanva. ketahanan fisik dan bakat yang ternyata mandek.
"Mencari pemuda berumur 17-25 tahun yang tingkat kecerdasannya
tinggi gampang. Tapi fisiknya rata-rata tidak memenuhi syarat,"
kata Letkol Soeyono.
Memang susah mencari calon penerbang. Sekolah Penerbang AsRI di
Yogy.lkarta pun mengeluh. Angka keguguran calon penerbang di
situ rata- rata 60%, dari 50 siswa dalam satu periode (19
bulan). Itulah mengapa Hankam membuka peluang bagi yang bukan
taruna Akabri menjadi penerbang militer (TEMPO 4 Juli 1981).
Kebutuhan akan pilot jelas meningkat. Garuda terpaksa mengisi
kebutuhannya dengan mengirim orang belajar ke Inggris,
Australia, Belgia dan AS. "Biaya pendidikan di Curug dan di luar
negeri tak banyak bedanya," kata Karyono dari Humas Garuda.
Tapi mengapa pendidikan pilot demikian mahal? Untuk mendapat PPL
seorang siswa harus memenuhi 94 jam terbang, dan untuk mendapat
CPL minimal 100 jam lagi. Biaya terbang sejamnya kini sekitar Rp
40 ribu. Dan SPJ, karena swasta, masih harus membiayai ujian
negara pula. Di PLP Curug, milik pemerintah itu, kini biaya
seorang siswa sampai mendapat CPL memang lebih murah, sekitar Rp
10 juta.
SPJ bukan satu-satunya sekolah penerbangan swasta. Deraya Air
Taxi, perusahaan di Jakarta yang menyewakan pesawat terbang,
sudah sejak 1973 membuka pendidikan untuk penerbang. Tapi
tekanan pendidikannya hanya untuk pilot pribadi. Beberapa
siswanya kemudian melanjutkan pendidikan untuk memperoleh CPL,
di PLP Curug.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini