Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Contoh siswa dari cipanas

Sekolah muhammadiyah di cipanas, didirikan oleh M. Tahir Azhari. para siswa didorong utk berdikari, ada pinjaman dari sekolah bagi siswa yang akan berdagang dan kesempatan belajar untuk yang tak mampu.(pdk)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL membawa kotak dagangan rokok, bila tiba waktunya, Asep berlari menuju SMA Muhammadiyah cabang Cipanas. Ia terlebih dulu tampak berbelok ke rumah kepala sekolah. Ketika keluar dari sana, ia bukan lagi pedagang rokok eceran, rapi seorang siswa yang siap mengikuti pelajaran di kelas III. Masih banyak lagi--seperti Asep-siswa SMA Muhammadiyah di sana (kota sejuk di antara sogor dan Bandung) yang berdagang rokok atau makanan kecil di luar jam sekolah. Mereka dapat pinjaman modal dari sekolah. Sebagian bekerja di restoran sebagai pelayan. "Saya ajarkan mereka untuk bekerja, agar tidak sekolah secara gratis," kata M. Tohir Azhari, kepala SMA itu. Mengambil contoh inisiatif di Cipanas itu, Musyawarah Nasional Perguruan dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (21-24 Oktober) antara lain membicarakan soal bea siswa dan modal bagi siswa yang memang tidak mampu. Bahkan direncanakan juga bea siswa untuk para lulusan yang ingin melanjurkan belajar jadi guru, supaya mengajar di sekolah semula. Di Cipanas, "sekitar 95% siswa kami datang dari keluarga miskin atau anak yatim piatu," tutur Tohir pula. Pemasukan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) yang Rp 4 ribu per bulan sering sekali seret. Maka Tohir memutar akal, dan sejak awal 70-an diterapkannya cara seperti yang digambarkan tadi. Sekolah Muhammadiyah (terdiri dari SMP dan SMA) Cipanas didirikan (tahun 1960) oleh Tohir dan dua temannya yang kini sudah almarhum. Sekolah ini semula punya dua lokal saja pada tanah 1 ha. Pembangunan fisik tersendat-sendat. Dana dari Muhammadiyah pusat tiada artinya. Sementara sumbangan orang tua murid tidak seberapa. Akhirnya pihak sekolah menetapkan dana infak (dana unruk kebaikan) per tahun dari orang tua murid, yang kini sebesar Rp 20 ribu untuk SMA-nya dan Rp 10 ribu untuk SMP-nya. Dibuka sejak 1972, dana itu disimpan di BRI Cipanas. "Bunganya yang kami gunakan untuk menelola sekolah ini," tutur Tohir. Ia tidak menyebut berapa dana infak kini terkumpul, tapi dari bunganya saja sekolah itu telah mekar menjadi 18 lokal. Sudah ada ruang perpustakaannya dengan sekitar 2.500 buku, dan sebuah laboratorium kecil. Hingga 1981 SMA pimpinan Tohir itu merupakan satu-satunya di Kecamatan Cipanas. Baru tahun lalu di situ berdiri SMA yang lain, juga swasta. SMA Muhammadiyah Cipanas masih kekurangan guru di bidang ilmu eksakta. Untuk itu Tohir menawarkan bea siswa, semacam ikatan dinas, untuk lulusannya yang dikirim ke IKIP Muhammadiyah Solo. Salah seorang calon ialah Suherman, siswa kelas III, anak yatim. Kini tiap pagi ia masih harus menjual telur itik peliharaannya ke toko milik kepala sekolahnya untuk membayar SPP. Dengan adanya bea siswa, katanya, "saya mau belajar bidang apa saja, dan setelah lulus kembali ke Cipanas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus