SAMBIL membawa kotak dagangan rokok, bila tiba waktunya, Asep
berlari menuju SMA Muhammadiyah cabang Cipanas. Ia terlebih dulu
tampak berbelok ke rumah kepala sekolah. Ketika keluar dari
sana, ia bukan lagi pedagang rokok eceran, rapi seorang siswa
yang siap mengikuti pelajaran di kelas III.
Masih banyak lagi--seperti Asep-siswa SMA Muhammadiyah di sana
(kota sejuk di antara sogor dan Bandung) yang berdagang rokok
atau makanan kecil di luar jam sekolah. Mereka dapat pinjaman
modal dari sekolah. Sebagian bekerja di restoran sebagai
pelayan. "Saya ajarkan mereka untuk bekerja, agar tidak sekolah
secara gratis," kata M. Tohir Azhari, kepala SMA itu.
Mengambil contoh inisiatif di Cipanas itu, Musyawarah Nasional
Perguruan dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (21-24 Oktober)
antara lain membicarakan soal bea siswa dan modal bagi siswa
yang memang tidak mampu. Bahkan direncanakan juga bea siswa
untuk para lulusan yang ingin melanjurkan belajar jadi guru,
supaya mengajar di sekolah semula.
Di Cipanas, "sekitar 95% siswa kami datang dari keluarga miskin
atau anak yatim piatu," tutur Tohir pula. Pemasukan SPP
(sumbangan pembinaan pendidikan) yang Rp 4 ribu per bulan
sering sekali seret. Maka Tohir memutar akal, dan sejak awal
70-an diterapkannya cara seperti yang digambarkan tadi.
Sekolah Muhammadiyah (terdiri dari SMP dan SMA) Cipanas
didirikan (tahun 1960) oleh Tohir dan dua temannya yang kini
sudah almarhum. Sekolah ini semula punya dua lokal saja pada
tanah 1 ha. Pembangunan fisik tersendat-sendat. Dana dari
Muhammadiyah pusat tiada artinya. Sementara sumbangan orang tua
murid tidak seberapa. Akhirnya pihak sekolah menetapkan dana
infak (dana unruk kebaikan) per tahun dari orang tua murid, yang
kini sebesar Rp 20 ribu untuk SMA-nya dan Rp 10 ribu untuk
SMP-nya.
Dibuka sejak 1972, dana itu disimpan di BRI Cipanas. "Bunganya
yang kami gunakan untuk menelola sekolah ini," tutur Tohir.
Ia tidak menyebut berapa dana infak kini terkumpul, tapi dari
bunganya saja sekolah itu telah mekar menjadi 18 lokal. Sudah
ada ruang perpustakaannya dengan sekitar 2.500 buku, dan sebuah
laboratorium kecil.
Hingga 1981 SMA pimpinan Tohir itu merupakan satu-satunya di
Kecamatan Cipanas. Baru tahun lalu di situ berdiri SMA yang
lain, juga swasta.
SMA Muhammadiyah Cipanas masih kekurangan guru di bidang ilmu
eksakta. Untuk itu Tohir menawarkan bea siswa, semacam ikatan
dinas, untuk lulusannya yang dikirim ke IKIP Muhammadiyah Solo.
Salah seorang calon ialah Suherman, siswa kelas III, anak yatim.
Kini tiap pagi ia masih harus menjual telur itik peliharaannya
ke toko milik kepala sekolahnya untuk membayar SPP. Dengan
adanya bea siswa, katanya, "saya mau belajar bidang apa saja,
dan setelah lulus kembali ke Cipanas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini