KENDATI sudah disoroti berulang-ulang, wanita bekerja masih saja merupakan topik yang layak untuk dibicarakan. Bukan karena praktek di lingkungan kerja mereka ternyata belum jadi lebih baik -- untuk jasa yang sama, wanita beroleh imbalan lebih rendah dari pria. Bukan pula karena perlindungan untuk keamanan kerja kaum wanita tidak menampakkan perbaikan. Yang seperti ini agaknya masih terlalu dini untuk dipermasalahkan kini. Maka, seminar yang diadakan Lembaga Pendidikan Kesekretarisan Patricia, Sabtu lalu di Hotel Sahid Jaya, memilih topik yang cocok untuk masa kini. Topik itu adalah "Profil Wanita Bekerja sebagai Tuntutan Pembangunan". Selain Ir. Erna Witoelar dan Drs. Sarlito Wirawan Sarwono, tampil juga sebagai pembicara utama, Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. Cosmas menekankan pentingnya peran wanita sebagai ibu dalam rangka nation building -- hingga sebagai orang yang bekerja dia harus bisa berdwifungsi -- sedangkan Erna Witoelar mempermasalahkan pengertian "bekerja" itu sendiri. Erna, yang sehari-hari lebih dikenal sebagai Direktur YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), tidak terperangkap dalam diskusi sempit mengenal wanita-wanita yang umumnya kerja kantoran di kota-kota besar. Agak di luar dugaan, pada awal makalahnya Erna bertanya, "Apakah mengurus rumah tangga tidak bisa dianggap pekerjaan?" Pada kenyataannya, menurut Erna, mengelola rumah tangga memang tidak dianggap pekerjaan. Ia menunjuk pada kebijaksanaan Biro Pusat Statistik (BPS), yang merumuskan bahwa ibu rumah tangga tidak dianggap sebagai angkatan kerja. "Alasannya karena peran ibu-ibu itu tidak aktif secara ekonomi, not economically active." Erna dengan tegas menolak pandangan ini. Mengutip penelitian yang dilakukan Pudjiwati Sayogyo di Sukabumi 1977-1978, ia berkesimpulan, justru karena para ibu rumah tangga, angka pengeluaran keluarga bisa ditekan sampai rata-rata 50%. Artinya, bila pekerjaan ibu rumah tangga teoretis mengandung keterampilan manajeriai juga -- ditiadakan, angka gaji suami rata-rata harus menjadi dua kali lipat. "Karena itu, definisi wanita bekerja tidak dapat dibatasi pada mereka yang bekerja dengan memperoleh imbalan saja," kata Erna. Para wanita mempunyai pilihan, bekerja di rumah atau di luar rumah. Pilihan ini sangat bergantung pada motivasi, yang pada kenyataannya memang berbeda-beda. Dengan kata lain, kalangan wanita sendiri sebaiknya tidak beranggapan bahwa wanita yang memilih pekerjaan di sektor rumah tangga sebagai wanita tidak bekerja. Masalah yang dihadapi wanita sekarang ini, dalam pandangan Erna, bukan keinginan untuk bekerja -- seolah-olah di masa lalu wanita tidak pernah bekerja -- tapi motivasi bekerja di luar rumah. Karena sistem dan pandangan masyarakat kita, maka nasib wanita yang bekerja di luar rumah lebih buruk daripada mereka yang bekerja di rumah. Di sektor inilah bertumpuk sejumlah masalah. Di kalangan masyarakat bawah -- di lingkungan pedesaan -- para wanita yang memilih bekerja di luar rumah pada kenyataannya tidak dibebaskan dari pekerjaan di rumah. Akibatnya, menurut Erna, jam kerja mereka menjadi sangat berlebihan. Di samping itu, hasil kerja mereka diluar rumah tidak diakui sepenuhnya sebagai pekerjaan. Karena itu, imbalan yang mereka dapat juga sangat kecil. "Di sini keinginan, wanita bekerja di luar rumah dimanfaatkan untuk mendapatkan tenaga murah." Menunjuk angka BPS tahun 1987, Erna berkata, di pedesaan hanya 1% wanita yang bekerja di luar rumah mendapat posisi lumayan. Kelompok ini terkategori pemberi kerja (juragan). Kemudian hanya 5% yang bekerja mandiri, selebihnya dipekerjakan sebagai buruh murah. Di lingkungan kota, penghargaan pada wanita pekerja lebih baik. Mereka beroleh peluang untuk meningkatkan keterampilan, di samping ikut berkompetisi mengisi kesempatan kerja yang semakin beragam. "Banyak wanita ingin mengamalkan ilmu dan keahlian yang didapatnya dari pendidikan," kata Erna, sarjana teknologi kimia. Namun, di kota sekalipun, citra wanita yang bekerja di luar rumah tidak berbeda jauh dari di desa. Tugas pria dan wanita masih dipolarisasikan dengan tajam. Wanita, misalnya, dianggap kurang sesuai untuk posisi pengambil keputusan. Erna kembali menunjuk angka BPS 1987. Di situ terlihat hanya 10% manajer eksekutif yang wanita. Karena itu, seperti juga di desa, citra umum tentang "dwifungsi" wanita juga masih kuat. Wanita yang bekerja di luar rumah masih dituntut untuk menjadi penanggung jawab urusan rumah tangga. Padahal, menurut Erna, bila suami dan istri bersama-sama mencari penghasilan, otomatis pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab bersama pula. "Saya sendiri, berdasarkan kesepakatan, tidak lagi harus masak dan mengatur menu di rumah," katanya. "Sampai sekarang tidak menjadi masalah karena sudah disepakati." Harus diakui, agar wanita bisa tenang bekerja di luar rumah, ia harus membicarakannya secara matang dengan sang suami. Dengan kata lain, pengertian dan persetujuan suami masih sangat menentukan. Tapi itulah kenyataan, sisi lain dari masalah yang dihadapi wanita bekerja masa kini. Menjawab pertanyaan seorang peserta, Erna menasihatkan, "Kalau suami mendengar gosip macam-macam, ajak dia ke kantor melihat lingkungan kerja Anda, dan ajak dia bicara." Risiko terbesar bagi wanita yang bekerja di luar rumah, ya ini, terganggunya hubungan suami-istri. Maka, Erna wanti-wanti, hubungan itu harus dijaga. "Kalau suami sudah mengerti, dan orang lain masih juga bergosip, tidak usah dipikirkan," katanya.Jim Supangkat, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini