Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pesan penting tentang Jalan Braga, Bandung. Inilah kawasan yang segera disulap menjadi Braga City Walk, tempat jalan-jalan yang yahud di Kota Kembang. Tapi Puji Lestari, peneliti dari Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, tak berminat untuk berkisah tentang keasyikan pelesiran. "Udara Braga," kata Puji, "tercemar timbel."
Cemaran logam berat itu sungguh serius. Kadar partikel timbel atau timah hitam (Pb?plumbum) yang menggantung di udara Braga mencapai 1,5 mikrogram per meter kubik. Ini sudah jauh melampaui batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 0,5 mikrogram per meter kubik. Bisa dipastikan, mereka yang tinggal di Jalan Braga terkena dampak negatif lantaran saban hari menghirup udara berisi partikel halus racun timbel.
Pada Februari-Maret 2004, Puji, yang prihatin, merasa perlu menguji sampel darah mereka yang tinggal di Braga. Responden penelitian itu adalah puluhan siswa SD dan SMP, polisi, pedagang kaki lima, dan tukang parkir yang mangkal di Braga. Benar saja. Kadar timbel dalam darah para responden terbukti sungguh tinggi. Bahkan ada murid SD Banjarsari yang memiliki kadar timbel 20 mikrogram per desiliter darah, dua kali lipat dari ambang batas maksimum (10 mikrogram per desiliter).
Hasil riset Puji adalah sebuah alarm. Dia berteriak menyentak para petinggi Kota Bandung dan kota lainnya. Racun timbel, bila menumpuk dalam jangka panjang, bisa mengacaukan pertumbuhan saraf anak dan menurunkan tingkat kecerdasan (IQ). Komitmen melawan timbel harus segera digeber secara superserius. "Jika tidak, saya tak bisa membayangkan bagaimana daya saing anak-anak kita di masa mendatang," katanya.
Tapi rupanya para petinggi di negeri ini sudah enggan peduli. Mereka tenang saja menanggapi hasil riset ini. Bahkan bola panas dilemparkan Pertamina. Dua pekan lalu, Edi Setianto, Manajer Unit Pengolahan VI Kilang Balongan, mengeluarkan pernyataan kontroversial. Lantaran keterbatasan dana, begitu menurut Edi, Pertamina tak lagi sanggup memproduksi bensin bebas timbel.
Pernyataan Edi mengagetkan banyak kalangan. Maklum, sejak pertengahan 1980-an, hampir semua negara di dunia berlomba membebaskan kotanya dari cekikan timbel. Pemerintah Indonesia sendiri telah berkali-kali menegaskan komitmen serupa.
Pada tahun 2001, melalui Program Langit Biru Jakarta, Pertamina mulai memproduksi Super TT, bensin bebas timbel yang dijual sedikit lebih mahal dibandingkan dengan bensin biasa. Rencananya, bensin ini perlahan-lahan digunakan di seluruh negeri. Idealnya, langit Indonesia bakal mencapai target bebas timbel pada tahun 2005. Tapi mendadak kini Pertamina justru hendak melangkah surut mengakhiri riwayat Super TT.
Reaksi keras muncul dari Ahmad Syafrudin, Ketua Komite Pembebasan Bensin Bertimbel. Menurut dia, rencana Pertamina sama sekali tak masuk akal. Memang butuh biaya untuk mencukupi kebutuhan bensin tanpa timbel di Indonesia. Dua kilang minyak, di Cilacap dan Balongan, mesti dimodifikasi. Tapi, menurut Ahmad, biaya tersebut sebenarnya sudah tersedia karena Pertamina telah menerima pinjaman US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun dari pemerintah Jepang. "Pinjaman itu mau dipakai apa? Apa mau dialihkan ke dana kampanye?" Ahmad menyindir.
Nah, jika Pertamina betul-betul menyetop produksi bensin tanpa timbel, kita mesti bersiap menyongsong polusi yang jauh lebih buruk. Pada tahun 2000, kadar timbel di Jakarta mencapai 1,7-3,5 mikrogram per meter kubik udara, tiga sampai tujuh kali lipat batas normal. "Prestasi" tadi menjadikan Jakarta menempati peringkat ketiga kota yang tingkat polusinya tertinggi, setelah Kota Meksiko dan Bangkok. Bila program bensin tanpa timbel dihentikan, bukan mustahil Jakarta akan menggeser posisi Kota Meksiko dan Bangkok.
Apa peran timbel? Logam berat ini sengaja ditambahkan pada bensin untuk mendongkrak nilai oktan dan menyempurnakan proses pembakaran pada mesin motor. Persoalannya, proses pembakaran hanya mengurai sepertiga timbel yang ada pada bensin. Sisanya, dua pertiga yang tak terurai, dibuang begitu saja ke udara bersama asap knalpot kendaraan.
Sial pula, asap knalpot bersama partikel timbel bebas berjalan-jalan memasuki saluran pernapasan siapa pun. Mereka yang bekerja di jalan raya, umpamanya sopir bus kota, polisi lalu lintas, penjaga pintu tol, atau pedagang asongan, amat berisiko terpapar timbel.
Utomo Dewanto, ahli toksikologi (ilmu tentang racun) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa keracunan timbel bisa bersifat akut dan kronis. Keracunan akut atau mendadak ini terjadi karena seseorang menghirup uap timbel secara langsung. Gejalanya antara lain mual, muntah, dan sakit perut hebat. Tanpa pertolongan, kematian bisa menjemput sang korban dalam waktu kurang dari 48 jam.
Sementara itu, keracunan timbel juga berlangsung pelan-pelan dan tanpa gejala khas. Si korban tak sadar tubuhnya tengah digerogoti timbel. Paling-paling dia merasa depresi, sakit kepala, sulit tidur, berhalusinasi, atau lemas otot?serangkaian gejala yang umum muncul pada banyak penyakit. Bila ingin memastikan, "Lihatlah lidah korban," kata Utomo. Lidah mereka yang keracunan timbel biasanya berwarna biru kehitam-hitaman.
Berikutnya, bila timbel sudah menumpuk bertahun-tahun, sang korban akan mengalami berbagai keluhan: gangguan fungsi otak, anemia berat, cedera ginjal, dan bahkan mandul. Pada anak-anak, termasuk janin yang dikandung ibu, gangguan saraf yang terjadi bisa lebih gawat. Maklum, dibandingkan dengan orang dewasa, sistem saraf pusat pada bocah masih belum stabil dan lebih peka gangguan. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US-EPA) mengingatkan, timbel bisa mengganggu pertumbuhan saraf anak dan menurunkan daya pendengaran. Racun timbel juga meningkatkan tekanan darah sehingga si anak cenderung berperilaku agresif.
Tak terhitung pula riset yang mengaitkan timbel dengan tingkat kecerdasan anak. Menurut Center for Disease Control and Prevention, Atlanta, AS, seorang anak dengan 10 mikrogram timbel per desiliter darahnya akan berisiko tumbuh dengan kecerdasan di bawah rata-rata. Dan setiap pertambahan 10 mikrogram timbel pada darah menyebabkan penurunan IQ anak sebanyak 2,5 poin. Bisa dibayangkan betapa parahnya kondisi anak-anak di Jalan Braga yang tiap desiliter darahnya mengandung 20 mikrogram timbel.
Lantas bagaimana membentengi tubuh dari deraan timah hitam? Diet sehat dan berimbang diyakini bisa mengurangi dampak timbel. Utomo Dewanto menyatakan, mereka yang kekurangan zat besi (Fe), seng (Zn), dan kalsium (Ca) cenderung memiliki kadar timbel yang tinggi. Dampak timbel juga relatif lebih parah pada orang yang kelebihan lemak.
Jadi, janganlah ragu menyantap makanan kaya zat besi seperti telur, daging tanpa lemak, ikan, kedelai, dan sayuran hijau. Tepung kulit padi, tape, tiram, dan udang, yang unsur sengnya melimpah, juga layak disantap. Begitu pula yogurt, keju, dan susu, yang kaya kalsium. Aneka makanan inilah yang bertugas menggelontor racun logam berat dari tubuh.
Hanya, menurut Utomo, diet berimbang pun kadang belum cukup kuat mencegah keracunan kronis. Timbel yang bersenyawa dengan zat-zat organik dalam tubuh hanya bisa diusir dengan suntikan obat pemusnah, misalnya sejenis BAL (British anti-lewisite). Terapi ini membutuhkan waktu yang lama karena BAL hanya bisa mengikat dan mengeluarkan timbel secara perlahan-lahan.
Jadi, Utomo menegaskan, tak ada cara paling tepat kecuali memangkas timbel langsung dari sumbernya. Pertamina sebaiknya tidak melangkah surut. Pak Pertamina, mohon jangan setop produksi bensin bebas timbel.
Jajang Jamaludin, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo