Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang hari pemilihan presiden 5 Juli 2004, seminar yang membicarakan masalah politik ini semakin marak dan banyak menarik pengunjung. Center for Strategic and International Studies (CSIS) bersama Australian National University (ANU) di Canberra telah mengadakan pertemuan dua hari yang menarik perhatian, baik dari kalangan dalam maupun luar negeri. Semua calon presiden diundang untuk berbicara. Dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wiranto, Amien Rais, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hamzah Haz menyesal tidak dapat datang karena sedang menjalani ujian kesehatan. Megawati juga tidak muncul karena alasan "tugas-tugas negara."
Penampilan para calon presiden di depan publik elite-intelektual dan yang serba internasional itu lebih menarik pada bagian tanya-jawab, yang dimanfaatkan oleh peserta dalam dan luar negeri. Semua calon presiden yang hadir juga menggunakan bahasa Inggris yang sangat lumayan, kecuali Wiranto, yang lebih mesra memakai bahasa Indonesia tapi terjemahannya bisa diikuti lewat alat pendengar. Yang berusaha menggunakan bahasa Inggris (Gus Dur berbicara sekitar 20 menit tanpa teks dan cukup menawan) mendapat penghargaan ekstra. Tapi, di antara peserta Indonesia, cukup banyak yang terpukau oleh penampilan Wiranto, yang sangat smooth, profesional, dan percaya diri tanpa aroma arogan.
Walaupun dialog dengan para calon presiden itu sangat dihargai oleh para peserta, pada akhirnya memilih calon presiden itu tetap sulit. Yang secara rasional nanti akan menentukan pilihan itu apa? Apakah platform atau program? Ini banyak dikemukakan oleh para calon presiden. Tapi, karena masing-masing hanya diberi waktu 20 menit, yang keluar adalah pernyataan-pernyataan yang sudah bisa diikuti di berbagai media massa. Lagi pula semua platform calon presiden bagus dan mencakup sasaran di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan, dan politik luar negeri.
Sementara presentasi visi dan misi terlalu formalistis, sesi tanya-jawab lebih bisa mengukur kesiapan dan ketangkasan calon presiden. Yang bertanya terdiri atas banyak kalangan: mahasiswa, peserta dari negeri Barat, peserta dari Taiwan (yang menanyakan iklim investasi), lembaga swadaya masyarakat, dan perempuan.
Tidak ada calon presiden yang angka skornya merah. Siapa yang lebih mengesankan? Wiranto atau SBY? Tidak terang. Walaupun cukup banyak yang lebih terkesan pada SBY, itu mungkin dipengaruhi oleh praduga sebelumnya. Amien Rais juga korban semacam prejudice: banyak yang menganggap pencalonannya bukan sekelas berat seperti Wiranto, SBY, dan Megawati. Ini sebetulnya aneh karena Amien Rais adalah calon presiden yang paling tidak terbebani oleh keterkaitan dengan pemerintah Soeharto atau Habibie, tidak korup karena tidak pernah duduk di pemerintahan, dan tidak "mengkhianati" reformasi. Dan pasti banyak yang akan memilih dia, tapi perkiraan umum adalah ia tidak akan masuk putaran kedua pada September 2004.
Kaum ekonom punya keraguan sendiri. Kebijakan ekonomi pemerintah Megawati tidak bisa diberi angka merah karena setidaknya hasil stabilisasi makro-ekonomi adalah baik. Megawati tidak meninggalkan IMF, tidak menjalankan kebijakan ekonomi yang populis, tidak ngemplang angsuran utang luar dan dalam negeri, serta tidak menghamburkan kredit dan subsidi ke sektor yang akhirnya juga tidak produktif. Tapi ia gagal menghidupkan sektor riil, laju pertumbuhan ekspor kurang tinggi, dan investasi yang masuk masih sangat kurang karena citra penegakan serta kepastian hukum dan kebijakan yang kurang baik. Kepemimpinannya lemah dan setelah tiga tahun sebagian pendukungnya putus asa apakah Mega mampu mengubah gaya kepemimpinannya. Maka, dalam berbagai survei dan jajak pendapat sejak permulaan tahun, peringkat popularitasnya lebih rendah daripada SBY, walaupun lebih tinggi daripada Amien Rais dan Wiranto. Kemunduran hasil pemilu DPR bagi PDI Perjuangan juga dikaitkan dengan kinerja Megawati. Sebagai dosen, penulis kolom ini pernah menanyai kelasnya yang terdiri atas sekitar 30 peserta dari (pemerintah) daerah: siapa yang mendukung Megawati? Tidak satu tangan pun diacungkan. Amien Rais menghasilkan satu acungan tangan, Wiranto beberapa, dan SBY banyak. Begitulah hasil salah satu polling yang sangat insidental, terbatas (kalangan pejabat muda pemerintah daerah), dan sangat mikro (hanya antara sekitar 30 orang).
Harry Tjan dari CSIS, salah seorang panelis dalam sesi terakhir pertemuan CSIS-ANU itu, akhirnya mengangkat tangan dan mengatakan, "Sebaiknya di bulan Agustus pertemuan serupa ini diulangi. Dan mungkin kita bisa menebak siapa pemenangnya secara lebih pasti." Tapi kesimpulannya ia kunci dengan catatan, "Waktu ini SBY-lah yang tampak populer."
Apakah para ekonom, terutama teman-teman penulis yang merupakan "ekonom konvensional", akan comfortable kalau SBY yang menjadi presiden? Juga tidak 100 persen. Apakah SBY-Jusuf Kalla akan berhasil meningkatkan kinerja ekonomi Indonesia? Ada kemungkinan yang cukup besar karena kedua tokoh mantan menteri kabinet Megawati ini tahu di mana kelemahan-kelemahannya. Tapi yang ditakutkan adalah Jusuf Kalla terlalu populis-ekspansionis, misalnya dengan (berusaha) memerintahkan agar bank-bank pemerintah mengucurkan banyak kredit kepada usaha kecil-menengah dan berbagai proyek besar, dan pemerintah meminjam lebih banyak dari luar negeri untuk membiayai proyek-proyek besar. Kebijakan "ala Thaksin" itu mungkin bisa berhasil di Thailand karena economic fundamental-nya lebih kukuh ketimbang di Indonesia (laju pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 7 persen setahun, kenaikan ekspor sudah double digit, tingkat inflasi rendah). Keseimbangan ekonomi makro Indonesia masih rapuh (fragile) sehingga kebijakan ekonomi masih harus berhati-hati (prudent) pada tahun 2005.
Dari pengalaman, para ekonom itu juga akan menanti: siapa saja yang akan menjadi menteri ekonomi yang memegang portofolio yang penting, terutama menteri keuangannya? Bagaimana hubungan dengan IMF dan Bank Dunia? "Bersahabat" (kooperatif) atau cenderung berseberangan? Sentimen nasionalisme ekonomi sering menjurus ke sikap "mau berdiri sendiri", tapi dampak sikap demikian berbeda antara di Malaysia dan di Indonesia. Mahathir Mohamad dulu juga bersikap independen, tapi kebijakan ekonominya selalu mengutamakan inflasi yang sangat rendah, kurs ringgit yang kuat, tidak mendiskriminasi pebisnis Cina, dan sebagainya. Sebagian pebisnis suku bangsa Tionghoa punya prasangka terhadap Jusuf Kalla karena sejarahnya 30 tahun yang lalu di Makassar. Di pihak lain, Sofjan Wanandi menampik prasangka yang terlalu gampang dari sebagian suku bangsanya. "Jangan dengarkan mereka karena selalu mengomel kalau tidak pasti akan mendapat proteksi." Ada juga yang mencemaskan SBY karena terlalu dekat dengan TBS, yang pada gilirannya dekat dengan TW, yang ditakutkan menjalankan "money politics". Demikianlah beberapa pucuk gosip yang secara murah dipertukarkan sewaktu minum kopi di pertemuan CSIS-ANU itu.
Yang banyak dicemaskan adalah pencalonan Wiranto karena "sejarahnya". Di pihak lain, lima agendanya sempurna dan menjanjikan surga. Sekali lagi, para ekonom konvensional itu merasa kurang aman karena tidak tahu siapa yang nanti akan mengisi portofolio keuangan, Bappenas, perdagangan, industri. Tapi agenda ekonominya lengkap, termasuk mau mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Seorang ekonom mempertanyakan: dari mana Wiranto nanti mau membiayai lima agenda yang akan mahal sekali itu (termasuk meningkatkan anggaran belanja untuk pendidikan dan kesehatan)? Dalam praktek, tidak semua sasaran prioritas bisa dicapai dalam waktu yang sama, bahkan dalam waktu lima tahun yang akan datang, sedangkan Wiranto bersumpah hanya mau menjabat presiden satu kali. Tapi, pada tanya-jawab ini, Wiranto menanggapinya secara cantik: ia sadar bahwa dalam masa pertama, laju pertumbuhan ekonomi 7-8 persen setahun tidak bisa dicapai, tapi "ia ingin meletakkan landasan yang kukuh untuk mencapai sasaran-sasaran itu." Maka orang akan mudah terpukau oleh janji-janji Wiranto, asalkan sejenak bisa melupakan "sejarahnya".
Namun penulis juga "bikin teori" yang justru membuat beban sejarah itu suatu hikmah: karena Wiranto sadar ia punya beban sejarah itu, dan di pihak lain ia ingin dan harus berhasil dalam misinya, ia akan bersikap dan bertindak sangat pragmatis dan ia akan mencari jalan serta kompromi yang terbaik untuk mendukung tercapainya misinya. Misalnya, segera setelah terpilih, ia akan "membungkuk kepada Washington, DC (misalnya menekankan sasaran antiterorisme) agar bisa mendapat dukungannya" karena ia akan sangat sadar, tanpa lampu hijau Washington, ia bisa dikucilkan dari pusat-pusat keuangan dunia. Washington, DC, mungkin akan berbelah hati: pemerintah mungkin bersedia bekerja sama dengan siapa saja hasil pemilihan demokratis di Indonesia, karena alternatifnya lebih jelek, dan Washington mau memperbaiki hubungan dengan TNI, tapi Kongres tetap bisa menolak karena alasan politik.
Akhir-akhirnya, yang menentukan siapa yang menjadi presiden adalah 140 juta pemilih, yang tidak hanya terdiri atas orang kota, intelektual, LSM, dan orang melek-politik, tapi juga orang banyak dari desa dan kabupaten di seluruh Indonesia. Apa nanti (pada bulan September) yang menentukan: "mesin politik" (Golkar dan mungkin PKB), yang menguntungkan Wiranto, atau popularitas dan sentimen, yang (sekarang) menguntungkan SBY?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo