Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Senyum Kunci Mereka Agar Sukses

Persaingan guide resmi dan guide liar di Bali semakin meningkat, terutama dalam menghadapi upacara "Eka Dasa Rudra". Senyum seorang guide membawa sukses meski banyak pertanyaan.(sd)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Senyum Kunci Mereka Agar Sukses
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MENGHADAPI tamu yang melanda Pulau Bali selama upacara "Eka Dasa Rudra" (27 Pebruari s/d 23 April) seluruh gaid (guide) lokal dikerahkan. Tetapi sekali ini mereka seperti kehilangan kaki tangan, karena terlalu banyak tamu. Tentram Wisnawa (42 tahun) ketua Bali Guide Association (BGA) mengakui, inilah banjir duit yang paling dahsyat selama ia menjadi gaid. Tetapi upacara seperti "Eka Dasa Rudra" hanya terjadi seratus tahun sekali. Penghidupan para gaid tidak selamanya mencorong. Jumlah gaid makin lama bertambah banyak. Sementara itu menjadi gaid rupanya tidak mudah. "Gaid ibarat pintu gerbang, karena orang asing melihat Bali pertama kali lewat gaidnya," kata Wisnawa. Wisnawa dulu tak menduga akan jadi gaid. Dari kecil ia bermimpi jadi guru, pekerjaan yang dianggapnya mulia. Ketika kemudian ia berhasil menjadi guru SMP di Denpasar, baru muncul soal bahwa kemuliaan saja tidak cukup. Dengan gaji seorang guru, tak akan mungkin berkutik kalau sudah berkeluarga. "Bagaimana tidak, gaji sebulan, habis seminggu," ujarnya kepada Helman Eidy dari TEMPO. Seorang pamannya kemudian membujuknya untuk mencoba jadi gaid. Mula-mula hanya sebagai kerja sambilan. Tapi Wisnawa segera memperoleh duit lebih banyak. Sebagai akibatnya muncul persoalan waktu, karena pekerjaan - itu tidak bisa dimadu. Akhirnya dengan sedih Wisnawa mengambil putusan, berhenti jadi guru. Penuh mencurahkan tenaganya sebagai gaid. Sejak itu kekayaannya bertambah. Paling sedikit ia bisa merlgantongi Rp 5 ribu sehari. "Belum lama jadi gaid sudah bisa beli Vespa," kata Wisnawa dengan bangga. Prestasi semacam ini lumrah terjadi pada gaid di Bali. Hanya saja rezeki itu tidak datang secara berkala setiap bulan, tergantung dari kembang kempisnya arus tamu. Biasanya antara bulan Juni sampai Desember memang melimpah. Diperkirakan sekitar 110 ribu tamu asing masuk ke Bali setiap bulan. Untuk itu diperlukan sekitar 60 orang gaid setiap hari. Malangnya lebih dari 300 orang gaid yang setiap hari memerlukan kerja sekarang. Belum lagi gaid liar yang tidak terdaftar dalam BGA. Angka 300 ditemukan tatkala diadakan dua kali kursus gaid menjelang PATA 1974. Kendatipun kini banyak yang tidak aktip lagi, jumlahnya masih banyak. Bahkan menghadapi persaingan dari gaid liar timbul berbagai persoalan sehingga dikeluarkan Surat Ijin Guide. Di samping itu diwajibkan juga untuk mengenakan pakaian adat Bali dalam bertugas. Tergantung Pemberi Gusti Putu Oka (23 tahun) dari Gianyar adalah gaid liar. Artinya ia tidak tercatat sebagai anggota BGA karena ia sendiri merasa belum mempunyai kemampuan seorang gaid. "Saya tak menguasai satu bahasa asingpun," katanya polos. Lepas dari SMA di Denpasar 1976 ia memang pernah masuk ke ABA untuk mengasah bahasa Inggerisnya supaya bisa jadi gaid. Ternyata orang tuanya tidak kuat membelanjai. Oka kemudian pergi ke Batubulan membantu ibunya sebagai pedagang kain. Barangkali mendengar bagaimana derasnya uang masuk ke kantong gaid, Oka berusaha menjadi gaid. Ia mulai nongkrong di toko-toko barang kesenian atau tempat pemberhentian pelancong lainnya. Mengincer pelancong domestik. Hasilnya jauh lebih kecil. Selama 3 sampai 4 hari menjadi penunjuk jalan, paling-paling ia bisa menerima Rp 5 ribu plus makanan selama perjalanan. Tarif tetap tidak ada. "Tergantung yang memberi. Tak diberipun juga tak apa-apa," ujarnya dengan polos. Akibat Eka Dasa Rudra mau tak mau jumlah gaid semakin bertambah sekarang. Nyoman Suwetra (29 tahun) asal Besakih yang semula berdagang barang-barang kerajinan Bali ke Pulau Jawa, segera tukar haluan sesudah mendengar akan ada kekurangan gaid selama upacara. Sejak Januari yang lalu ia mulai mencoba dengan kaku dan kikuk. Herannya langganannya yang pertama, sepasang suami isteri dari Australia, merasa senang. Nyoman Suweta mengaku sudah mengobral senyum selama bekerja. Agaknya ini yang lebih menarik dari segalanya. Sebagai imbalannya Suwetra menerima 2 pasang jeans. "Senyum itu kunci sukses," kata Suweta menyimpulkan. Selama upacara Eka Dasa Rudra tamu asing atau pun domestik mudah sekali ditemui. Pertemuan bisa terjadi di art-shop, di hotel, di tempat sabungan ayam, di mana saja, kecuali di airport Di airport tamu-tamu semuanya dilayani oleh "BGA". Meskipun tempat itu tidak bisa dijamah oleh gaid liar, Suwetra tetap merasa ruang geraknya cukup bagus. Apalagi gaid liar dengan sendirinya memiliki kebebasan yang lebih luas. Ia bebas menentukan rute perjalanan, tidak seperti gaid BGA. Yang disebutkan terakhir ini rute perjalanannya sudah ditentukan, diatur oleh travel service. Pendapatan dari seorang gaid menjadi besar karena adanya sistem komisi dari berbagai art-sop. Kalau seorang gaid berhasil mengantarkan tamunya ke sebuah art-shop dan membeli banyak oleh-oleh, pihak art-shop akan memberikan imbalan sepuluh prosen dari harga transaksi. Bahkan ada yang berani memberikan sampai 40 prosen."Komisi yang sebesar itu barangkali benar ada, tapi jelas bukanlah gaid ari BGA" kata Tentram Wisnawa membantah. Kalau Bandel Sebagai akibat dari kebiasaan komisi ini, banyak persaingan juga terjadi di antara art-sbop dalam jumlah komisi yang diberikannya. Tak heran kalau kemudian sering dijumpai beberapa art-shop penuh tamu berbelanja, sedangkan art-shop lain tampak melompong. "Itu disebabkan si Gaid sudah mendapat perintah dari travel agen di mana ia harus berhenti. Kalau bandel besoknya bisa tidak dipakai lagi," ujar Rizani (38 tahun) seorang gaid tetap di Satriavi Travel. "Dalam dunia dagang berlaku komisi sepuluh prosen, tapi itu pun tidak ada ketentuan hitam-putih. Soalnya tidak ada undang-undang pengaturan komisi," kata Tentram Riani menganggap komisi yang dipegang selama ini adalah komisi yang wajar. Tetapi berapa pastinya, ia juga tidak dapat menjelaskan. Namun demikian jelas sudah apa yang disebut shopping order dari pihak biro perjalanan kemudian mengacaukan jalur-jalur perjalanan wisatawan. "Karena itu program BGA sekarang yang pertama justru mendesak pimpinan biro perjalanan agar menghapus shopping order itu," kata Tentram Wisnama kepada Putu Setia dari TEMPO. Rizani, gaid berbahasa Inggeris -- bekas tokoh HMI dan pernah jadi anggota DPRDGR di aman Orla -- mengeluh tentang gaid liar. Ia melihat banyak hal buruk dilakukan oleh gaid liar, karena mereka semata-mata ingin mencari uang. Informasi yang mereka berikan kepada wisatawan kadangkala amat jauh dari keadaan. Ia sendiri pernah mencoba memata-matai. Ternyata setiap kali melihat sebuah iring-iringan upacara lewat di jalan, gaid liar yang diincernya bilang: "Ini orang sembah dewa." Ada juga gaid liar yang melarang tamunya turun ke bawah untuk melihat Goa Gajah. "Kita ke Ubud saja beli lukisan, di bawah tidak ada apa-apa cuma hatu padas saja," kata gaid itu. Kesimpulan Rizani, hal tersebut amat berbahaya. Ia melihat itu tidak membantu perataan pendapatan di daerah wisata maklum bekas anggota DPR. "Tugas gaid," katanya menerangkan "membujuk tamu untuk mengunjungi suatu obJek sehingga masyarakat di sekitar objek itu ikut merasakan manfaat kedatangan wisatawan, karena untuk memasuki satu tempat misalnya, selalu harus membayar karcis." Tamu Jerman & Jepang Rizani sendiri mengakui di dalam bertugas sering kali mendapat pertanyaan yang cukup berat. Ada tamu yang menanyakan sikap orang Bali terhadap G.30.S. Sampai di mana pengaruh bung Karno di Bali Kenapa rumput hijau di pinggir jalan dirabas? Kenapa pohon di tepi jalan ditebang? Harus diingat tidak semua tamu suka berbelanja seperti tamu-tamu dari Jepang. Tamu dari Jerman misalnya terkenal karena kekikirannya. Jangankan berbelanja, singgah makan saja tidak mau. Ini menyebabkan gaid harus memiliki persiapan mental dan phisik yang kuat supaya tetap segar dalam meladen Mereka itu suka sekali naik gunung. Jadi bayangkan saja, tidak dapat komisi dan harus terpaksa ikut naik gunung. Wayan Windi seorang gaid yang kebetulan juga menduduki jabatan di BGA pernah sehari tidak makan sambil terpaksa ikut naik gunung di sekitar Kintamani. "Tapi itu tugas gaid, memberikan kenyamanan di Bali, yah mau apa lagi," ujarnya "karena itu saya rasanya ingin memukul mulut orang yang mengatakangaid itu kayak mafia!" Turis Jepang beda lagi. Sebagaimana dituturkan Akin Wahyudi, asal bisa bahasa Jepang sedikit sudah dapat dibayangkan tumpukan dollar. Mereka tukang borong tak peduli mutu barang yang dibelinya. Kalau turis lain malam hari suka mencari tontonan kesenian, mereka ingin mencari hiburan phisik. "Biasa,nya mereka selalu minta gadis Bali," kata Akin. Prakteknya kemudian dicarikan WTS dan dilatih untuk berbuat malu-malu kucing. "Katakan saja dia penari Bali padahal ia orang Banyuwangi," kata Akin sambil tertawa. Seorang teman Akin bilang untuk night tour seperti itu turis itu mau membayar 60 dollar. Sekarang ada lebih dari lima puluh gaid untuk turis Jepang. Dalam sebulan kalau pasaran bagus, mereka bisa sampai 8 kali mengantar tamu. Penghasilannya bisa mencapai Rp 70 ribu. Sekali tour tarifnya cuma Rp 4000. Gaid Inggeris juga sejumlah itu. Sedangkan gaid Jerman sampai Rp 7500. Kelihatannya kecil. Kalau sudah dijumlah dengan "tip" dan "komisi" dari art shop segera berubah dan jauh di atas gaji pegawai negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus