MENGHADAPI tamu yang melanda Pulau Bali selama upacara "Eka Dasa
Rudra" (27 Pebruari s/d 23 April) seluruh gaid (guide) lokal
dikerahkan. Tetapi sekali ini mereka seperti kehilangan kaki
tangan, karena terlalu banyak tamu. Tentram Wisnawa (42 tahun)
ketua Bali Guide Association (BGA) mengakui, inilah banjir duit
yang paling dahsyat selama ia menjadi gaid.
Tetapi upacara seperti "Eka Dasa Rudra" hanya terjadi seratus
tahun sekali. Penghidupan para gaid tidak selamanya mencorong.
Jumlah gaid makin lama bertambah banyak. Sementara itu menjadi
gaid rupanya tidak mudah. "Gaid ibarat pintu gerbang, karena
orang asing melihat Bali pertama kali lewat gaidnya," kata
Wisnawa.
Wisnawa dulu tak menduga akan jadi gaid. Dari kecil ia bermimpi
jadi guru, pekerjaan yang dianggapnya mulia. Ketika kemudian ia
berhasil menjadi guru SMP di Denpasar, baru muncul soal bahwa
kemuliaan saja tidak cukup. Dengan gaji seorang guru, tak akan
mungkin berkutik kalau sudah berkeluarga. "Bagaimana tidak, gaji
sebulan, habis seminggu," ujarnya kepada Helman Eidy dari TEMPO.
Seorang pamannya kemudian membujuknya untuk mencoba jadi gaid.
Mula-mula hanya sebagai kerja sambilan. Tapi Wisnawa segera
memperoleh duit lebih banyak. Sebagai akibatnya muncul persoalan
waktu, karena pekerjaan - itu tidak bisa dimadu. Akhirnya dengan
sedih Wisnawa mengambil putusan, berhenti jadi guru. Penuh
mencurahkan tenaganya sebagai gaid. Sejak itu kekayaannya
bertambah. Paling sedikit ia bisa merlgantongi Rp 5 ribu sehari.
"Belum lama jadi gaid sudah bisa beli Vespa," kata Wisnawa
dengan bangga. Prestasi semacam ini lumrah terjadi pada gaid di
Bali. Hanya saja rezeki itu tidak datang secara berkala setiap
bulan, tergantung dari kembang kempisnya arus tamu. Biasanya
antara bulan Juni sampai Desember memang melimpah. Diperkirakan
sekitar 110 ribu tamu asing masuk ke Bali setiap bulan. Untuk
itu diperlukan sekitar 60 orang gaid setiap hari. Malangnya
lebih dari 300 orang gaid yang setiap hari memerlukan kerja
sekarang. Belum lagi gaid liar yang tidak terdaftar dalam BGA.
Angka 300 ditemukan tatkala diadakan dua kali kursus gaid
menjelang PATA 1974. Kendatipun kini banyak yang tidak aktip
lagi, jumlahnya masih banyak. Bahkan menghadapi persaingan dari
gaid liar timbul berbagai persoalan sehingga dikeluarkan Surat
Ijin Guide. Di samping itu diwajibkan juga untuk mengenakan
pakaian adat Bali dalam bertugas.
Tergantung Pemberi
Gusti Putu Oka (23 tahun) dari Gianyar adalah gaid liar. Artinya
ia tidak tercatat sebagai anggota BGA karena ia sendiri merasa
belum mempunyai kemampuan seorang gaid. "Saya tak menguasai satu
bahasa asingpun," katanya polos. Lepas dari SMA di Denpasar 1976
ia memang pernah masuk ke ABA untuk mengasah bahasa Inggerisnya
supaya bisa jadi gaid. Ternyata orang tuanya tidak kuat
membelanjai. Oka kemudian pergi ke Batubulan membantu ibunya
sebagai pedagang kain.
Barangkali mendengar bagaimana derasnya uang masuk ke kantong
gaid, Oka berusaha menjadi gaid. Ia mulai nongkrong di toko-toko
barang kesenian atau tempat pemberhentian pelancong lainnya.
Mengincer pelancong domestik. Hasilnya jauh lebih kecil. Selama
3 sampai 4 hari menjadi penunjuk jalan, paling-paling ia bisa
menerima Rp 5 ribu plus makanan selama perjalanan. Tarif tetap
tidak ada. "Tergantung yang memberi. Tak diberipun juga tak
apa-apa," ujarnya dengan polos.
Akibat Eka Dasa Rudra mau tak mau jumlah gaid semakin bertambah
sekarang. Nyoman Suwetra (29 tahun) asal Besakih yang semula
berdagang barang-barang kerajinan Bali ke Pulau Jawa, segera
tukar haluan sesudah mendengar akan ada kekurangan gaid selama
upacara. Sejak Januari yang lalu ia mulai mencoba dengan kaku
dan kikuk. Herannya langganannya yang pertama, sepasang suami
isteri dari Australia, merasa senang. Nyoman Suweta mengaku
sudah mengobral senyum selama bekerja. Agaknya ini yang lebih
menarik dari segalanya. Sebagai imbalannya Suwetra menerima 2
pasang jeans. "Senyum itu kunci sukses," kata Suweta
menyimpulkan.
Selama upacara Eka Dasa Rudra tamu asing atau pun domestik mudah
sekali ditemui. Pertemuan bisa terjadi di art-shop, di hotel, di
tempat sabungan ayam, di mana saja, kecuali di airport Di
airport tamu-tamu semuanya dilayani oleh "BGA". Meskipun tempat
itu tidak bisa dijamah oleh gaid liar, Suwetra tetap merasa
ruang geraknya cukup bagus. Apalagi gaid liar dengan sendirinya
memiliki kebebasan yang lebih luas. Ia bebas menentukan rute
perjalanan, tidak seperti gaid BGA. Yang disebutkan terakhir ini
rute perjalanannya sudah ditentukan, diatur oleh travel service.
Pendapatan dari seorang gaid menjadi besar karena adanya sistem
komisi dari berbagai art-sop. Kalau seorang gaid berhasil
mengantarkan tamunya ke sebuah art-shop dan membeli banyak
oleh-oleh, pihak art-shop akan memberikan imbalan sepuluh
prosen dari harga transaksi. Bahkan ada yang berani memberikan
sampai 40 prosen."Komisi yang sebesar itu barangkali benar ada,
tapi jelas bukanlah gaid ari BGA" kata Tentram Wisnawa
membantah.
Kalau Bandel
Sebagai akibat dari kebiasaan komisi ini, banyak persaingan
juga terjadi di antara art-sbop dalam jumlah komisi yang
diberikannya. Tak heran kalau kemudian sering dijumpai beberapa
art-shop penuh tamu berbelanja, sedangkan art-shop lain tampak
melompong. "Itu disebabkan si Gaid sudah mendapat perintah dari
travel agen di mana ia harus berhenti. Kalau bandel besoknya
bisa tidak dipakai lagi," ujar Rizani (38 tahun) seorang gaid
tetap di Satriavi Travel.
"Dalam dunia dagang berlaku komisi sepuluh prosen, tapi itu pun
tidak ada ketentuan hitam-putih. Soalnya tidak ada undang-undang
pengaturan komisi," kata Tentram Riani menganggap komisi yang
dipegang selama ini adalah komisi yang wajar. Tetapi berapa
pastinya, ia juga tidak dapat menjelaskan. Namun demikian jelas
sudah apa yang disebut shopping order dari pihak biro perjalanan
kemudian mengacaukan jalur-jalur perjalanan wisatawan. "Karena
itu program BGA sekarang yang pertama justru mendesak pimpinan
biro perjalanan agar menghapus shopping order itu," kata Tentram
Wisnama kepada Putu Setia dari TEMPO.
Rizani, gaid berbahasa Inggeris -- bekas tokoh HMI dan pernah
jadi anggota DPRDGR di aman Orla -- mengeluh tentang gaid liar.
Ia melihat banyak hal buruk dilakukan oleh gaid liar, karena
mereka semata-mata ingin mencari uang. Informasi yang mereka
berikan kepada wisatawan kadangkala amat jauh dari keadaan. Ia
sendiri pernah mencoba memata-matai. Ternyata setiap kali
melihat sebuah iring-iringan upacara lewat di jalan, gaid liar
yang diincernya bilang: "Ini orang sembah dewa."
Ada juga gaid liar yang melarang tamunya turun ke bawah untuk
melihat Goa Gajah. "Kita ke Ubud saja beli lukisan, di bawah
tidak ada apa-apa cuma hatu padas saja," kata gaid itu.
Kesimpulan Rizani, hal tersebut amat berbahaya. Ia melihat itu
tidak membantu perataan pendapatan di daerah wisata maklum bekas
anggota DPR. "Tugas gaid," katanya menerangkan "membujuk tamu
untuk mengunjungi suatu obJek sehingga masyarakat di sekitar
objek itu ikut merasakan manfaat kedatangan wisatawan, karena
untuk memasuki satu tempat misalnya, selalu harus membayar
karcis."
Tamu Jerman & Jepang
Rizani sendiri mengakui di dalam bertugas sering kali mendapat
pertanyaan yang cukup berat. Ada tamu yang menanyakan sikap
orang Bali terhadap G.30.S. Sampai di mana pengaruh bung Karno
di Bali Kenapa rumput hijau di pinggir jalan dirabas? Kenapa
pohon di tepi jalan ditebang? Harus diingat tidak semua tamu
suka berbelanja seperti tamu-tamu dari Jepang.
Tamu dari Jerman misalnya terkenal karena kekikirannya.
Jangankan berbelanja, singgah makan saja tidak mau. Ini
menyebabkan gaid harus memiliki persiapan mental dan phisik yang
kuat supaya tetap segar dalam meladen Mereka itu suka sekali
naik gunung. Jadi bayangkan saja, tidak dapat komisi dan harus
terpaksa ikut naik gunung. Wayan Windi seorang gaid yang
kebetulan juga menduduki jabatan di BGA pernah sehari tidak
makan sambil terpaksa ikut naik gunung di sekitar Kintamani.
"Tapi itu tugas gaid, memberikan kenyamanan di Bali, yah mau apa
lagi," ujarnya "karena itu saya rasanya ingin memukul mulut
orang yang mengatakangaid itu kayak mafia!"
Turis Jepang beda lagi. Sebagaimana dituturkan Akin Wahyudi,
asal bisa bahasa Jepang sedikit sudah dapat dibayangkan tumpukan
dollar. Mereka tukang borong tak peduli mutu barang yang
dibelinya. Kalau turis lain malam hari suka mencari tontonan
kesenian, mereka ingin mencari hiburan phisik. "Biasa,nya mereka
selalu minta gadis Bali," kata Akin. Prakteknya kemudian
dicarikan WTS dan dilatih untuk berbuat malu-malu kucing.
"Katakan saja dia penari Bali padahal ia orang Banyuwangi," kata
Akin sambil tertawa. Seorang teman Akin bilang untuk night tour
seperti itu turis itu mau membayar 60 dollar.
Sekarang ada lebih dari lima puluh gaid untuk turis Jepang.
Dalam sebulan kalau pasaran bagus, mereka bisa sampai 8 kali
mengantar tamu. Penghasilannya bisa mencapai Rp 70 ribu. Sekali
tour tarifnya cuma Rp 4000. Gaid Inggeris juga sejumlah itu.
Sedangkan gaid Jerman sampai Rp 7500. Kelihatannya kecil. Kalau
sudah dijumlah dengan "tip" dan "komisi" dari art shop segera
berubah dan jauh di atas gaji pegawai negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini