Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kartini, tiek, kartini

Operette "kartini" karya titiek puspa muncul di tvri dalam peringatan 100 th perjuangan kartini. papiko menampilkan kerjasama yang rapi, tapi ada beberapa kekurangan. (ms)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT-SURAT Kartini, adalah karya yang mempesona -- tapi juga hampir tanpa humor. Nada dasarnya adalah melankolis. Ia wanita muda dengan fikiran yang terlampau dalam dan gemuruh buat dirinya. Mungkin karena ia adalah saksi, dan juga pusat kejadian, dari pcrubahan zaman yang mengguncangkan. Pemberontak ini terpaksa berbicara lirih. Tapi nampaknya Titiek Puspa, dengan judul agak aneh Kartini, Manusiawz, Kartini ingin melihat Kartini yang rada lain. Seperti ditampilkan lewat Chicha Koeswoyo (Kartini kecil) dan Anna Mathovani (dewasa), Kartini-nya Titiek bergelora, bisa urakan, keras dan banyak berbicara dengan tanda seru. Ia juga kurang nampak berhubungan dengan kenyataan sosial zamannya, kecuali sebentar: jadi dermawan cilik bagi rakyat yang menderita dalam satu adegan. Kartini ini kurang serius, dan agak terbatas, tapi mungkin ini cocok buat musikal. Tentu saja Titiek Puspa berhak untuk melihat "Habis Gelap Terbitlah Terang" tidak melulu seperti perjalanan dalam terowongan: ia berhak memberi bumbu yang lucu buat Kartini. Demikianlah dalam operette yang babakannya dirangkaikan dengan jejer seperti dalam wayang ini kita lihat Titiek sebagai nyi dalang. Ia mengucapkan cariyos atau narration berdialek Jawa yang agak main-main. Demikian pula kita lihat Chicha Koeswoyo sebagai Kartini kecil bercerita bagaimana ia kentut di kelas (meskipun disensor TVRI). Demikian pula kita dengar Titiek sebagai pelayan menyanyikan lagu dangdut .... Niat itu bisa dimaklumi. Apalagi Titiek berkali-kali nampak unggul sebagai komedian: ia mungkin satu-satunya wanita cantik yang pintar melucu di Indonesia kini, baik dalam film Inem maupun-dalam musikal seperti Malam Lebaran (atau kisah keluarga pejuang pada Hari Pahlawan yang lalu). Namun dalam sebuah pekerjaan musik seperti ini, soal yang penting ditanyakan: sampai sejauh manakah humor dan main-main menyedapkan bentuk dan isi? Sejauh mana mengacaukan? Kartini Titiek sering menunjukkan kurangnya konsistensi. Introduksi yang mau lucu ternyata kemudian jadi bagian tengah yang penuh pathos. Pilihan warna musik dalam adegan yang sama sering tiba-tiba berubah: keutuhan suasana (mood) dalam Kartini sering terganggu. Kita tak usah menolak masuknya musik a la Travolta atau a la Oma-Irama dalam ruang-ruang akhir abad ke-19 di Rembang, bila operette ini seluruhnya berniat main-main. Bila tidak, hasilnya adalah anakronisme. Penyusunan langkah cerita dalam operette yang tiga jam ini juga begitu rupa hingga menyebabkan Kartini agak melelahkan. Adegan yang hanya diisi pembacaan surat-surat mungkin lebih baik seandainya diseling-selingkan dengan adegan bersuasana lain, untuk ketangkasan variasi. Lagipula suara pembacaan surat dalam bahasa Belanda tak perlu begitu panjang. Beberapa bagian, misalnya pembicaraan Bupati Jepara dengan Abendanon, pelajaran bahasa Perancis, kutipan buku Bouwman, dan lain-lain, bisa di tiadakan. Dan bila kita mau lebih cerewet, Titiek perlu pula kita anjurkan supaya lebih teliti dalam mengatur pakaian: keluarga Bupati Jepara adalah keluarga yang berpakaian sederhana -- dan tentu saja laki-laki tak perlu pakai keris dan baju upacara setiap kali. Tapi mungkin seperti halnya pakaian Kartini yang mengkilap di TVRI, semua itu cermin bayangan snobistis kita sekarang tentang kaum ningrat suatu gaya, mungkin suatu glamour, yang begitu indah hingga dimaafkan buat begitu jauh dari hidup rakyat sehari-hari. Dalam hal itu, Titiek Puspa tidak salah sendiri. Selera kita masing-masinglah yang memilih apakah Kartini akan tampil sebagai perenung yang penuh compassion pada kehidupan di sekitarnya atau sebagai puteri bangsawan dari dunia yang eksotis, Raden Ajeng yang hanya pintar dan cantik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus