SURAT-SURAT Kartini, adalah karya yang mempesona -- tapi juga
hampir tanpa humor. Nada dasarnya adalah melankolis. Ia wanita
muda dengan fikiran yang terlampau dalam dan gemuruh buat
dirinya. Mungkin karena ia adalah saksi, dan juga pusat
kejadian, dari pcrubahan zaman yang mengguncangkan. Pemberontak
ini terpaksa berbicara lirih.
Tapi nampaknya Titiek Puspa, dengan judul agak aneh Kartini,
Manusiawz, Kartini ingin melihat Kartini yang rada lain. Seperti
ditampilkan lewat Chicha Koeswoyo (Kartini kecil) dan Anna
Mathovani (dewasa), Kartini-nya Titiek bergelora, bisa urakan,
keras dan banyak berbicara dengan tanda seru. Ia juga kurang
nampak berhubungan dengan kenyataan sosial zamannya, kecuali
sebentar: jadi dermawan cilik bagi rakyat yang menderita dalam
satu adegan. Kartini ini kurang serius, dan agak terbatas, tapi
mungkin ini cocok buat musikal.
Tentu saja Titiek Puspa berhak untuk melihat "Habis Gelap
Terbitlah Terang" tidak melulu seperti perjalanan dalam
terowongan: ia berhak memberi bumbu yang lucu buat Kartini.
Demikianlah dalam operette yang babakannya dirangkaikan dengan
jejer seperti dalam wayang ini kita lihat Titiek sebagai nyi
dalang. Ia mengucapkan cariyos atau narration berdialek Jawa
yang agak main-main. Demikian pula kita lihat Chicha Koeswoyo
sebagai Kartini kecil bercerita bagaimana ia kentut di kelas
(meskipun disensor TVRI). Demikian pula kita dengar Titiek
sebagai pelayan menyanyikan lagu dangdut ....
Niat itu bisa dimaklumi. Apalagi Titiek berkali-kali nampak
unggul sebagai komedian: ia mungkin satu-satunya wanita cantik
yang pintar melucu di Indonesia kini, baik dalam film Inem
maupun-dalam musikal seperti Malam Lebaran (atau kisah keluarga
pejuang pada Hari Pahlawan yang lalu). Namun dalam sebuah
pekerjaan musik seperti ini, soal yang penting ditanyakan:
sampai sejauh manakah humor dan main-main menyedapkan bentuk dan
isi? Sejauh mana mengacaukan?
Kartini Titiek sering menunjukkan kurangnya konsistensi.
Introduksi yang mau lucu ternyata kemudian jadi bagian tengah
yang penuh pathos. Pilihan warna musik dalam adegan yang sama
sering tiba-tiba berubah: keutuhan suasana (mood) dalam Kartini
sering terganggu. Kita tak usah menolak masuknya musik a la
Travolta atau a la Oma-Irama dalam ruang-ruang akhir abad ke-19
di Rembang, bila operette ini seluruhnya berniat main-main. Bila
tidak, hasilnya adalah anakronisme.
Penyusunan langkah cerita dalam operette yang tiga jam ini juga
begitu rupa hingga menyebabkan Kartini agak melelahkan. Adegan
yang hanya diisi pembacaan surat-surat mungkin lebih baik
seandainya diseling-selingkan dengan adegan bersuasana lain,
untuk ketangkasan variasi. Lagipula suara pembacaan surat dalam
bahasa Belanda tak perlu begitu panjang. Beberapa bagian,
misalnya pembicaraan Bupati Jepara dengan Abendanon, pelajaran
bahasa Perancis, kutipan buku Bouwman, dan lain-lain, bisa di
tiadakan.
Dan bila kita mau lebih cerewet, Titiek perlu pula kita anjurkan
supaya lebih teliti dalam mengatur pakaian: keluarga Bupati
Jepara adalah keluarga yang berpakaian sederhana -- dan tentu
saja laki-laki tak perlu pakai keris dan baju upacara setiap
kali. Tapi mungkin seperti halnya pakaian Kartini yang mengkilap
di TVRI, semua itu cermin bayangan snobistis kita sekarang
tentang kaum ningrat suatu gaya, mungkin suatu glamour, yang
begitu indah hingga dimaafkan buat begitu jauh dari hidup rakyat
sehari-hari.
Dalam hal itu, Titiek Puspa tidak salah sendiri. Selera kita
masing-masinglah yang memilih apakah Kartini akan tampil sebagai
perenung yang penuh compassion pada kehidupan di sekitarnya atau
sebagai puteri bangsawan dari dunia yang eksotis, Raden Ajeng
yang hanya pintar dan cantik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini