Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menangkap Loso, Jagoan Ponorogo

Warok Loso dari Desa Bedoho, ponorogo dipercayai memiliki kesaktian oleh polisi & penduduk setempat, sehingga penangkapannya pun menggunakan perhitungan Jawa dan dipenjara dengan tangan terborgol. (krim)

28 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLISI mau tak mau mempercayai kesaktian Loso. Buktinya Loso, jagoan bertubuh tinggi besar dan berumur 50 tahun itu, hingga sebulan penuh masih dipaksa meringkuk di dalam kerangkeng tahanan kepolisian Ponorogo dengan tangan terborgol. Padahal kamar tahanan, seperti lazimnya, berjeruji besi dan berpintu kokoh. Sebab bagaimana pun, "kita khawatir orang berilmu ini bertingkah," ujar Komandan Reserse Ponorogo, Letnan I Soewarno. Sudah lama nama warok Loso menggetarkan hati penduduk Desa Bedoho di Kecamatan Sooko (Ponorogo). Mereka percaya warok ini mempunyai kesaktian: badannya kebal dari segala macam senjata dan dapat menghilang segala. Kesaktiannya belum pernah dibuktikan. Tapi perbuatan jahatnya, mulai dari memeras, mencuri atau mengganggu anak isteri orang, sudah banyak dirasakan. Sampai "pamong desa saja bersikap seperti tikus ketemu kucing bila berhadapan dengan Loso," menurut Soewarno. Apalagi bila Loso sudah menghunus motik, yaitu sejenis pisau belati, sambil mengancam "mati sekarang atau besok? " jika kemauannya tak dituruti. Sudah bertahun-tahun Loso jadi buronan polisi untuk mempertanggungjawabkan berbagai macam kejahatan. Polisi pernah melakukan penyergapan, 1977, tapi Loso berhasil lolos. Padahal polisi, di bawah pimpinan Komandan Sektor Sooko Letnan II Eddy Soemarmo sendiri, turun ke lapangan dibantu beberapa orang sukarelawan. Lolosnya Loso makin mempertebal kepercayaan penduduk akan kesaktian warok ini. Sebuah Peluru Sejak penyergapan yang gagal itu Loso menghilang dari desanya. Diduga keras ia memindahkan operasinya ke Trenggalek. Sebab kepolisian Trenggalek belakangan memang sibuk mengurusi berbagai pencurian ternak. Tapi awal Maret kemarin Loso mulai berani muncul di Bedoho kembali. Pemunculannya, baru 18 hari di desanya, telah ditandai dengan 38 kejahatan yang dilaporkan penduduk. Termasuk pencurian kayu dari Perhutani, yang menurut pengakuan Loso belakangan kepada polisi, direncanakannya untuk membangun rumah bakal isteri mudanya. Mendapat pengaduan bertubi-tubi itu polisi tentu tak dapat berpangku tangan. Sebuah penyergapan kembali direncanakan. Kali ini perhitungan dilakukan dengan cermat. Misalnya, operasi harus dilaksanakan hari Minggu atau Senin. Sebab, menurut perhitungan Jawa, jika Loso memang dilahirkan hari Selasa, maka hari sialnya jatuh Mingu atau Senin. Berhubung operasi hendak dilaksanakan hari Senin, menurut perhitungan, penjagaan harus diperkuat di sebelah utara. Sebab hari itu, menurut nogo dino (perhitungan hari baik bagi orang Jawa), Loso pasti akan berusaha kabur ke arah utara. Basir, calon mertua baru Loso, ternyata bersedia membantu polisi. Dia yang mengatur agar pada malam penyergapan, Loso menginap di kamar anak perempuannya. Sejak sore Basir sudah mulai main: pita rekaman lagu-lagu gending Jawa diputar agak keras. Maksudnya agar menutupi kuping Loso dari gerakan polisi yang berusaha mendekatinya. Senin, 19 Maret, dinihari 5 orang polisi bersama 8 orang pemuka masyarakat setempat sudah mengepung rapat rumah Basir. Letnan Soewarno, yang memimpin operasi, tak kurang pula persiapannya: bercelana hitam seperti warok dan bersenjata tongkat dari kayu kelor dan jarak. Sementara itu sekitar 20 orang penduduk bersiap mencegat di sebelah utara. Salah seorang yang ikut mengepung, Mukayat, menjadi penyergap utama-karena dia dianggap tak kalah saktinya dari Loso. Tapi sergapan Mukayat ternyata dapat dielakkan Loso yang segera terbangun dan mengipatkan tangannya begitu merasa ditubruk orang. Mukayat tak berhasil meringkusnya. Loso sendiri, yang rupanya belum bangun benar dari tidurnya, menabrak dinding ketika mencoba lari. Tapi ia berhasil keluar rumah. Namun langkahnya tak panjang. Sebuah peluru polisi menyambar pahanya. Ketika Loso jatuh penduduk mengerubutinya dengan senjata tajam. Aneh, menurut Letnan Soewarno senjata tajam itu tak melukai tubuh Loso. Berbekaspun tidak. Itulah sebabnya polisi berhati-hati memperlakukan Loso selama dalam tahanan. Apalagi, menurut kepercayaan, hanya suatu kebetulan saja peluru polisi dapat menciderainya. "Tembakan itu dapat melukainya karena Loso sedang melompat. Coba kakinya masih menginjak tanah, dia tidak mempan peluru!" begitu kata orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus