KALANGAN dokter dan pedagang farmasi di Jakarta geger. Beberapa harian sejak pekan lalu gencar memberitakan terungkapnya "sindikat perdagangan obat yang melibatkan ratusan dokter". Penyulut sumbu meledaknya kasus itu adalah seorang pria kurus asal Madiun: Hendarta Setyadji. Ditemui di rumahnya di Ciledug, Tangerang, Minggu lalu, Hendarta, 33, tampak gembira. "Saya merasa bangga membongkar kasus itu," katanya kcpada Agus Basri dari TEMPO. Hendarta bekerja di bidang farmasi sejak 1976, dan mulai 1981 bekerja sebagai supervisor di PT Pradja Pharmaceutical Industries, Cakung, Jakarta Timur, sebuah pabrik obat yang berdiri sejak 1981. Karena tak bisa mengembalikan pinjaman Rp 3 juta dari pcrusahaannya, walau secara tertulis ia menyatakan sanggup mengangsur Rp 1,5 juta akhir Mei lalu, Hendarta absen dari kantornya sejak awal Juni. Dia merasa diperlakukan sewenang-wenang: tak diberi pekerjaan, gaji sejak Mei tak dibayarkan, dan skuter Vespa-nya diambil perusahaan. "Padahal, itu hak saya," katanya. Maka, pekan lalu ia pun mengadu ke LBH. Pengaduan Hendarta disertai bom. Ia menuduh PT Pradja mengedarkan obat yang belum mendapat ijin peredaran dari Departemen Kesehatan. Ia mengungkapkan adanya kerja sama Pradja dengan sejumlah dokter di Jakarta: para dokter itu menerima imbalan uang berupa persentase harga obat produksi Pradja yang mereka tulis dalam resep untuk pasien mereka. Hendarta juga mengaku menjual obat langsung pada para dokter, yang sebenarnya melanggar peraturan. Pada LBH disodorkannya daftar nama puluhan dokter yang "bekerja sama" dengan Pradja, dan jumlah imbalan yang mereka terima. Ia juga menyebut adanya dokter yang menjadi "sponsor" untuk mencoba obat produksi perusahaan itu dengan imbalan uang. "Akhir April lalu saya menverahkan uang Rp 3 juta kepada Dr. Sidabutar di Rumah Sakit Cikini karena bersedia mensponsori obat Cefurox produksi PT Pradja," kata Hendarta. Tentu saja muncul bantahan. "Saya tidak pernah menerima komisi seperti itu. Penghasilan saya sebagai dokter telah cukup. Saya seorang pendidik, ahli dalam bidang saya. Reputasi dan karier saya bisa hancur kalau saya melakukan hal itu," kata Dr. R.P. Sidabutar, seorang internis yang banyak pasiennya. Pihak PT Pradja juga membantah. "Cefurox itu antibiotika yang telah setahun ditrial-kan (dicoba) di RS Cikini, dan bukan kepada Dr. Sidabutar pribadi. Obat itu hanya dicobakan pada pasien yang tak membayar," kata seorang pimpinan Pradja. Diakuinya, pihaknya memang membayarkan Rp 3 juta. "Tapi itu bukan sogokan. Uang itu hanya bantuan untuk penyelenggaraan kongres atau pertemuan ilmiah," katanya. Pemberian hadiah - berupa bolpoin, kotak surat, sampai alat penyedot debu untuk mobil - oleh perusahaan farmasi kepada para dokter memang suatu hal yang umum. Begitu juga bantuan dana sebagai sponsor untuk penyelenggaraan kongres atau pertemuan ilmiah. "Yang tidak wajar itu bila dokter mengikatkan diri dengan menerima persentase dari harga obat produksi suatu perusahan yang ditulisnya di resep," kata dr. Kartono Mohamad, wakil ketua umum PB IDI. Hal itu melanggar kode etik. Sudirman, ketua umum Gabungan Perusahaan Farmasi, mengakui terjadinya penyimpangan kode etik GPF: perusahaan obat tidak dibenarkan memberikan imbalan pada kliennya (dokter) yang dikaitkan dengan resep. "Karena sifatnya kode etik, pihak kami hanya bisa mengimbau. Yang bertindak seharusnya pemerintah," ujarnya. Promosi berlebihan yang mengakibatkan ketidakwajaran dilihatnya sebagai akibat persaingan ketat antara pabrik-pabrik obat. Saat ini ada 280 pabrik obat di Indonesia, 40 di antaranya PMA, memperebutkan pasaran sekitar Rp 550 milyar. Menurut dia, biaya promosi perusahaan berkisar 20%-40%. Akan halnya Cefurox, yang dihebohkan, katanya, Senin lalu izin peredaran obat itu telah keluar. Menanggapi kasus ini, Menteri Kesehatan Soewardjono Soerjaningrat menegaskan, "Kalau ada bukti yang obyektif, akan kami ambil tindakan." Tindakan yang akan dilakukannya: "Memberikan peringatan. Tapi bila tetap membandel, akan dikenal hukuman yang lebih berat," katanya, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini