RUMAHTANGGA Indonesia sudah terbiasa mendengar KB, suatu program
nasional. Secara resmi program itu genap 9 tahun pekan ini.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak
disangsikan lagi telah berhasil.
Namun jauh sebelum ada BKKBN, telah ada Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) yang bersifat swasta. PKBI inilah
pelopor yang merintis jalan, semula memperkenalkan pada
masyarakat akan faedah KB. Kehadirannya pernah lama disokong
oleh grant (hibah) dari International Planned Parenthood
Federation (IPPF). Tapi PKBI, walaupun belum bubar karena adanya
program resmi KB 29 Juni 1970 itu. agak tersingkir peranannya
setelab BKKBN mengorbit. Kegiatannya, jika masih ada,
belakangan ini sudah tidak diketahui umum.
Dengan kongres ke-5 pekan lalu, PKBI tampak ingin mengaktifkan
diri kembali. Dihasilkannya rencana kerja 3 tahun sampai 1982,
menunjang program KB yang dilaksanakan pemerintah. Dalam bidang
apa? Bukankah semua kegiatan sudah diisi BKKBN?
Menteri Kesehatan dr. Suwardjono Surjaningrat yang merangkap
Kepala BKKBN menjelaskan bahwa masih banyak hal yang diharapkan
dari PKBI. Antara lain Menkes Suwardjono menyarankan PKBI
supaya:
Lebih menyiapkan kemampuan tehnis untuk mengelola program
khusus dengan tetap menganut strategi pendekatan kemasyarakatan
yang bersifat sukarela.
Memusatkan kegiatan pada proyek percontohan yang nanti dapat
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah atau institusi lain
dalam masyarakat.
Turut menyiapkan para remaja dalam bidang kependudukan dalam
arti luas.
Menggali metoda dan kegiatan KB yang baru, yang hasilnya dapat
disumbangkan pada program nasional dan pihak lain yang
memerlukannya.
Meningkatkan komunikasi dan konsultasi dengan BKKBN dan Unit
Pelaksana lainnya di berbagai tingkat dan pelosok.
Bagaimana biaya? Menkes Suwardjono menyatakan bersedia membantu,
termasuk untuk meyakinkan IPPF London supaya memberi lagi lebih
besar grant pada PKBI. Tapi, demikian Sutjipto Wirosardjono yang
terpilih sebagai ketua umum baru, menggantikan Ny. Sophie
Sarwono, "akan diusahakan (biaya) tidak tergantung dari IPPF
saja."
BKKBN, dengan lain kata, memerlukan PKBL Walaupun banyak
hasilnya, BKKBN jelas masih perlu terus disempurnakan, apalagi
mengingat sasaran program KB terakhir Berusaha menuunkan pada
tahun 1990 tingkat fertilitas 50% dari keadaan tahun 1971.
(Semula itu hendak dicapai tahun 2000, tapi dipercepat 10
tahun).
Dunia, termasuk IPPF, sudah mengakui keberhasilan Indonesia di
bidang KB. Jumlah akseptor sudah mencapai 12,8 juta. Tapi cara
yang dipakai untuk mencapai angka tinggi itu, karena main
target, kini mulai dianggap keliru. "Kita terlalu klinik
sentris," komentar Ny. Sophie Sarwono tentang pelaksanaan
program resmi semula. "Kita menyediakan pil, kondom dan alat
kontrasepsi lainnya, tapi kurang memberikan motivasi pada
masyarakat. Timbul kesan paksaan."
Sistem target itu pernah dikritik di DPR. "Saya yang dipasang
spiral, saya yang sakit, mereka yang dapat duit," keluh seorang
ibu di Yogyakarta waktu itu. Ibu itu pernah tercatat sebagai
akseptor tapi banyak serupa dia yang kemudian menolak.
Memang pernah ada insentif berupa uang untuk para petugas KB
supaya mencapai target. Sejak 1972, demikian sumber BKKBN,
insentif masih diberikan tapi tidak lagi dalam bentuk uang.
Sekarang kesadaran masyarakat supaya membentuk keluarga kecil --
terdiri dari ayah, ibu dan tiga anak maksimum -- yang akan
dibangkitkan dalam program KB. Kesadaran menjadi tujuan, bukan
sekedar target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini