Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Setelah suntikan depo provera

Yanti s, 22, meninggal setelah dirawat di rsu dr. sardjito. sudibyo, 33, yakin istrinya meninggal karena suntikan depo provera. idi menyimpulkan kematiannya disebabkan sepsis-kuman staphylococcus. (ksh)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sekali, Yanti Sudibyo, 22, mengikuti program KB (Keluarga Berencana) dengan cara suntikan. Tapi, dua setengah bulan setelah mendapat injeksi Depo Provera, pada 16 Agustus lalu, ia meninggal di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta -- sesudah dirawat 16 hari. Kasus ini amat mengejutkan, karena selama 10 tahun pemakaian obat itu di Indonesia belum pernah terdengar akseptornya sampai meninggal. "Tak ada yang meninggal karena suntikan Depo Provera itu," ujar Peter Pata, Wakil Kepala BKKBN Pusat. Ketua PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia), Kartono Mohamad, tampak kaget setelah mendengar musibah itu. Sebab, munculnya benjolan di leher dan buah dada Ny. Yanti itu, menurut dugaannya, "Sepertinya tidak mungkin hanya karena obat suntik itu, kecuali bila sebelumnya sudah ada kankernya." Sementara itu, Sudibyo, 33, yang seharihari bekerja sebagai sopir LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Yogyakarta, merasa yakin bahwa benjolan yang diderita almarhumah istrinya itu akibat suntikan Depo Provera tersebut. Setelah mengetahui adanya benjolan itu, tutur Sudibyo, ia menyarankan agar istrinya kembali ke dokter Moh. Anwar yang telah memerintahkan perawatnya menyuntikkan Depo Provera. Tapi, kebetulan dokter ini tak di tempat. Hampir sebulan kemudian, tepatnya 25 Juni 1986, Ny. Yanti memeriksakan ke dr. Nawawi karena benjolan itu sudah membesar dan tumbuh merata di bagian lainnya. Selain disarankan agar tidak mengulang suntikan itu lagi, juga diberi resep untuk dua 8 pil dan salep. "Tapi, kesehatan istri saya tetap memburuk, benjolannya bertambah banyak dan tampak menghitam," kata Sudibyo. Karena itu, Ny. Yanti masih mencari obat di dokter lain, yakni Dewi Masyitoh. Sudibyo juga berkonsultasi dengan dr. Lukas Budi Gunawan. Dan, pada 15 Juli, mereka berdua menghadap dr. Moh. Anwar. Melihat keadaan Ny. Yanti, tutur Sudibyo, dr. Anwar malah mengira penderitaan itu disebabkan salah menyusui. Padahal, kata Sudibyo, sebelum dan sesudah mendapat injeksi Depo Provera itu istrinya rajin menyusui anak keduanya, yang berumur 10 bulan. Pagi, sore, malam. Malah, "Setelah ada benjolan itu, air susunya tidak keluar juga," ujarnya. Dokter lulusan UGM (Universitas Gadjah Mada) yang lulus spesialisasinya pada 1975 itu lantas memberi 3 jenis obat. Namun, rupanya, Ny. Yanti bukan bertambah baik. Karena itu, dengan surat pengantarnya, Sudibyo membawa istrinya ke dr. Humar Atmaja, seorang ahli bedah. "Di sana, dinyatakan terjadi pembengkakan air susu," katanya. Setelah 5 hari dikontrol terus-menerus, keadaan Ny. Yanti membaik, lalu disarankan agar operasi di RS Bedah Patmasuri Yogyakarta. Operasinya dilaksanakan pada 22 Juli, dan empat hari berikutnya sudah boleh pulang. Namun, baru tiga hari di rumah, pembengkakan ternyata bertambah. Sementaraitu, hasil penelitian penyakit Ny. Yanti baru diterima Sudibyo dari Laboratorium Patologi Waskitha, yang menyatakan: bagian leher kanan terdapat jaringan berkapsul 3 x 1,5 x 1 cm, cokelat muda lunaki bagian leher kiri terdapat jaringan berkapsul 1 x 1 x 1,5 cm cokelat muda, semua sediaan menunjukkan jaringan kelenjar limfe dengan proses radang didapatkan infiltrat leukosit eosinofil dominan, histiosit cukup tidak ada tandatanda ganas dan spesifik. Kesimpulannya: Limfadenitis. Selanjutnya, Ny. Yanti dibawa ke RSUP Dr. Sardjito pada akhir penanggalan Juli. Di sini Sudibyo merasakan ketidakpuasan atas pelayanan rumah sakit. Terutama sehari sebelum meninggalnya. Saat itu ibu muda dua anak itu panas, tapi perawat menyatakan keadaannya wajar saja. "Padahal, suhu istri saya mencapai 40 derajat Celsius," kata Sudibyo, "Dan, laporan saya tentang infus yang bocor pun tidak ditanggapi." la mengaku mengetahui kebocoran itu pada pukul 04.30. Empat jam kemudian Ny. Yanti wafat. Menurut dr. Mohammad Anwar, ahli kebidanan dan penyakit kandungan itu, ketika menangani Ny. Yanti ia sudah mengumpulkan data sesuai dengan daftar cek yang disediakan BKKBN. Dan, berdasarkan wawancaranya, "Tidak terdapat kontraindikasi," katanya kepada Syahril Chili dari TEMPO. Karena itulah, dokter ini tidak ragu menyuntikkan Depo Provera sebanyak 3 cc, yang bisa mencegah kehamilan selama tiga bulan. Obat produksi Up John, Amerika, itu dipandang ampuh untuk mencegah kehamilan. Meskipun hanyasekitar 15% akseptor KB memanfaatkannya, bila dibandingkan Noristerat, Depo Provera ini sudah dipakai 8 milyar unit di sini (per unit identik botol berisi 150 mg). Dan, sudah 80 negara di dunia merasakan faedahnya. Namun, di negeri asalnya, pemakaiannya dalam dosis lebih kecil digunakan untuk mengatasi penyakit kandungan endometriosis. Baru pada tahun 1960-an dikembangkan menjadi alat kontrasepsi. Muangthai sudah mengadopsi obat ini sejak 1968. Menurut dr. Harun Ryanto, 37 dari Biro Pelayanan Kontrasepsi BKKBN Pusat, di sana baru terjadi satu kasus anaphilacticshock, alias malapetaka sesudah penyuntikan (bisa pingsan), sampai akhir tahun lalu. "Itu pun bisa diselamatkan tanpa korban nyawa," katanya. Sedangkan efek sampingnya, tambahnya, paling-paling menstruasi tidak teratur pada awalnya, berat badan naik. Namun, kasus pada Ny. Yanti inilah yang melejit. Sehingga, musibah ini diteruskan LBH ke PB IDI Pusat, dan juga menjadi pembicaraan hangat di DPR pada acara dengar pendapat antara Komisi VIII dan BKKBN Pusat. Yang cukup dibikin sibuk adalah IDI Yogyakarta. Menurut ketuanya, Sarwoko, seeelah memanggil dokter-dokter yang terlibat menangani Ny. Yanti, kesimpulannya: kematian Ny. Yanti bukan karena suntikan KB. Tapi karena sepsis, sejenis penyakit yang disebabkan kuman Staphylococcus -- kuman yang biasa menyerang kulit manusia. Kata Sarwoko, darah Ny. Yanti sudah penuh dengan kuman itu, dan merasuk ke seluruh kelenjar getah bening. Inilah yang menyebabkan timbulnya benjol-benjol merah di seluruh tubuhnya. Sebagai sopir yang tinggal di Minggiran, Yogyakarta, Sudibyo sudah menguras koceknya sampai Rp 1 juta. Bahkan motor kulkas, kursi tamu, sudah ludes dijualnya untuk memulihkan kesehatan istrinya. Sayangnya, belum jelas benar, dari mana datangnya kuman Staphylococcus itu. Suhardjop Hs., Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus