Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Si ’Sepele’ yang Menjengkelkan

Terapi Bioresonansi menyembuhkan alergi dengan frekuensi gelombang elektromagnetik. Tingkat keberhasilannya mencapai 80 persen.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alergi itu sepele, tapi menjengkelkan. Begitu kata Angeline Widjaja, 34 tahun, yang sejak remaja tak pernah melewatkan hari tanpa bersin-bersin. Terkadang hidungnya mendadak tersumbat, terutama kalau berada di ruangan berpendingin udara. ”Hidung sampai merah dan berair,” kata perempuan berkulit putih itu. Walhasil, ke mana-mana dia selalu membawa saputangan dan mengantongi CTM, obat antialergi.

Warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini yakin bahwa dia menderita alergi. Hanya saja, semula dia belum tahu alergi terhadap apa. Selain hidung bermasalah, jika berada di ruang berpenyejuk udara, kulitnya sering gatal-gatal, terutama pada bagian wajah dan lengan. ”Saya pikir alergi dingin, tapi anehnya kalau dingin alami tidak apa-apa,” katanya. Yang bikin dia risau, putri semata wayangnya yang baru berumur lima tahun memperlihatkan gejala serupa: hidung sering meler dan batuk-batuk. ”Hampir setiap bulan pasti ke dokter,” ujarnya.

Curiga anaknya menderita alergi, awal Juli lalu, Angeline membawanya ke Klinik Alergi di Rumah Sakit Gading Pluit, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ternyata, si kecil bukan cuma alergi terhadap debu, bulu binatang, tungau, jamur, tapi juga cokelat, anjing, kucing, cumi, dan udang. Angeline yang ikut memeriksakan diri malah lebih parah. Ada sekitar 20 alergen yang positif membuatnya alergi, mulai debu, jamur, bulu binatang sampai makanan kesukaannya: cokelat, kacang mede, dan apel.

Jangan terkejut bila Angeline sampai alergi terhadap 20 macam benda dan makhluk. Karena menurut Dr. Luszy Arijanty, spesialis anak dari Rumah Sakit Gading Pluit, pencetus alergi sangat beragam, bisa berasal dari makanan, sesuatu yang dihirup atau kontak langsung. Bahkan ada orang punya 40 alergen. Manifestasi atau reaksi alergi pun bermacam-macam. ”Paling banyak gatal-gatal di kulit, saluran pernapasan dan pencernaan,” katanya dalam Seminar Terobosan Baru Mencari Penyebab dan Penanganan Alergi Tanpa Obat di Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.

Meskipun tidak dianggap sebagai penyakit kronis, alergi tetap merupakan penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Karena selain reaksi yang muncul pada penderita, seperti gatal-gatal itu tadi, proses medis untuk menemukan alergen juga sangat ”birokratis”: panjang dan berbelit.

Menurut Luszy, untuk mendeteksi alergi, banyak tahap yang harus dilalui. Pertama adalah anamnesis, yakni melihat riwayat alergi orang tua atau keluarga. Selain itu, dilakukan pemeriksaan penunjang seperti lewat darah (prick test) atau kulit (patch test).

Masalahnya, cara mendeteksi seperti ini lumayan menyakitkan, terutama bagi anak-anak. Prick test, misalnya, dilakukan dengan menusukkan jarum yang sudah dibubuhi alergen ke kulit—ini untuk melihat reaksi, ada alergi atau tidak. Beruntunglah si pasien bila alergen yang ditusukkan bersama jarum langsung cocok dengan apa yang diderita si pasien. Jika tidak, proses tusukan itu harus dilakukan berkali-kali sampai ketemu alergennya.

Untungnya Angeline dan anaknya tidak harus melewati penderitaan seperti itu, karena mereka menggunakan terapi Bioresonansi yang cepat dan bebas tusukan. Cara kerjanya berdasarkan teori dasar bahwa setiap benda maupun makhluk hidup terdiri dari atom dan molekul yang akan memancarkan gelombang elektromagnetik. ”Semua alergen juga memiliki gelombang elektromagnetik,” kata spesialis paru, dr. Irwandi Rudiwan, yang mulai melakukan terapi ini di RS Gading Pluit sejak Juni 2007. Nah, gejala alergi akan timbul jika keseimbangan gelombang elektromagnetik alergen dan tubuh terganggu (lihat infografik).

Selain tidak menyakitkan, dengan terapi ini jumlah alergen yang bisa dideteksi juga jauh lebih banyak, bisa mencapai ratusan. Itu karena waktu yang diperlukan untuk memeriksa satu alergen cuma dua detik. Dalam waktu kurang dari setengah jam, penyebab alergi Angeline dan anaknya bisa dikuak.

Terapi yang bisa diterapkan untuk semua usia ini menggunakan sebuah mesin yang disebut BICOM 2000. Alat berbentuk mirip pemutar cakram DVD ini dikembangkan Hans Brugeman, seorang ilmuwan Jerman pada 1976. Tapi peranti ini baru digunakan untuk terapi alergi pada 1991 oleh Peter Schumacher.

Sebetulnya, Indonesia sudah mengenal terapi Bioresonansi sejak 1996 dengan menggunakan mesin BICOM generasi ketiga. Perintisnya dokter Aris Wibudi, spesialis penyakit dalam yang berpraktek di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulomas, Jakarta Timur. Namun, terapi ini kurang populer. Baru belakangan ini terapi ini kembali naik daun. Kini, mesin yang digunakan di Omni Medical Center dan Gading Pluit, sudah menggunakan generasi mutakhir.

Masih menurut Aris, kelebihan utama terapi Bioresonansi ini adalah kemampuannya menyembuhkan alergi. Selama ini umumnya penanganan alergi hanya menghilangkan gejala-gejalanya saja, belum menyentuh penyebab alergi itu sendiri. Dengan Bioresonansi, faktor alerginya dapat diatasi. Cara kerjanya mirip dengan prosedur desensitisasi yang telah lama dikenal dunia kedokteran, yakni dengan memberikan alergen secara bertahap dari dosis paling kecil hingga besar. Bedanya, terapi ini menggunakan frekuensi gelombang elektromagnetik.

Adapun untuk proses penyembuhan, penderita perlu menjalani beberapa kali terapi. Setiap kali terapi memakan waktu 12–25 menit, tergantung jenis alergi dan banyaknya alergen. ”Kalau alergennya cuma satu mungkin cukup 4–6 kali terapi,” katanya. Angeline dan putrinya, misalnya, demi terbebas dari alergi, harus bolak-balik ke rumah sakit seminggu dua kali sampai sekarang. ”Sekarang dia sudah jarang batuk, hidung saya juga tidak mampet lagi,” demikian menurut Angeline.

Tingkat keberhasilan terapi ini dalam menyembuhkan alergi—bukan sekadar menumpas gejala-gejalanya—sekitar 80 persen. Berdasarkan pengalaman Aris, kalaupun alergi si pasien kambuh, umumnya dengan reaksi jauh lebih ringan. ”Itu pun setelah bertahun-tahun terbebas dari alergi.”

Nunuy Nurhayati


Proses Terjadinya Alergi

  1. Pada saat kontak pertama dengan alergen, tubuh membentuk antibodi Imunoglobin E (IgE). Jika berlangsung terus-menerus, maka jumlah IgE makin banyak. Pada penderita alergi, jumlah IgE-nya lebih tinggi ketimbang pada orang normal.
  2. Antibodi ini lalu menempel pada sel mast (sejenis sel darah putih) pada selaput lendir di berbagai organ tubuh seperti jaringan kulit, saluran pernapasan, dan pencernaan.
  3. Alergen yang kembali masuk ke tubuh selanjutnya akan bereaksi dengan IgE yang melekat pada sel mast sehingga sel tersebut pecah dan menghasilkan zat mediator seperti histamin dan sitokin.
  4. Histamin ini lalu melekat di berbagai organ dan menimbulkan reaksi alergi.

Pencetus Alergi (Alergen)

Makanan

Telur: putih telur, kuning telur, mayonnaise, kue tar, aneka kue yang mengandung telur.

Minuman: kopi, teh, alkohol, anggur, minuman ringan.

Makanan laut: ikan, kepiting, gurita, udang, lobster, cumi-cumi, tiram.

Buah-buahan: apel, pisang, melon, semangka, pisang, alpukat, kiwi, pir.

Susu: susu sapi, keju, mentega, puding, yogurt, es krim.

Daging: daging sapi, ayam, kalkun, babi.

Gandum: aneka jenis pasta, roti, biskuit.

Kacang-kacangan: kacang tanah, kedelai, kacang ijo, almond, mede, kemiri, kenari.

Biji-bijian: beras, biji bunga matahari, opium, wijen, biji kapas, cokelat, kopi.

Sayuran: seledri, wortel, kentang, bayam, tomat.

Alergi obat: antalgin, ampicillin, sulfa, opiat, serum, insulin, polimiksin, zat kontras, vaksin.

Alergi hirup: debu, jamur, bulu binatang, serbuk sari, tungau.

Alergi kontak: getah, wol, sutra, salep yang mengandung antibiotik, cat rambut, kosmetik wajah, perhiasan, jam tangan, dan sebagainya yang melekat di kulit.

Gejala-gejala reaksi alergi

  1. Otak dan susunan saraf pusat: sakit kepala berulang, gangguan tidur, gelisah, bingung, pusing, cemas, panik, gangguan konsentrasi, emosi berlebihan, hiperaktif.
  2. Anaphylactic shock: gejala kesulitan bernapas, tekanan darah menurun secara drastis, wajah membengkak, kemerahan di kulit dan gatal-gatal.
  3. Mukosa (kulit dalam yang melapisi organ tubuh): mata perih, radang mata, radang hidung, bersin-bersin, batuk, asma.
  4. Jantung: pusing-pusing, denyut jantung cepat, tekanan darah naik-turun.
  5. Kulit: kemerahan, gatal-gatal, bengkak, bentol-bentol, kulit terasa panas.
  6. Saluran pencernaan: perut terasa penuh, kembung, diare, radang usus besar.
  7. Otot dan sendi: nyeri otot, keluhan rematik, asam urat meningkat.

Terapi Bioresonansi

Menggunakan mesin BICOM 2000.

  • Untuk mendeteksi jenis alergen, mesin disambungkan dengan kabel yang dihubungkan ke dua alat detektor gelombang, masing-masing didekatkan ke zat-zat yang dicurigai sebagai alergen dan tubuh pasien.
  • Alat deteksi gelombang yang didekatkan ke tubuh pasien bisa bergerak-gerak sesuai interaksi antara gelombang alergen dan tubuh.
  • Disebut alergi jika gelombang elektromagnetik yang dipancarkan zat yang dicurigai sebagai alergen menyebabkan ketidakseimbangan frekuensi gelombang. Ditandai dengan gerakan alat sensor yang naik-turun.
  • Setelah jenis alergen terdeteksi, dilakukan terapi memperbaiki ketidakseimbangan frekuensi gelombang. Pasien diminta menggenggam alat elektroda berbentuk bola yang dihubungkan ke mesin. Bahan alergen dimasukkan dalam alat ini.
  • Frekuensi gelombang alergen selanjutnya akan ditangkap oleh BICOM 2000. Seperti bayangan cermin, gelombang ini dibalik dan menghasilkan pola gelombang yang menyembuhkan alergi. Gelombang dipancarkan ke permukaan tubuh pasien lewat elektroda, semacam alas yang diletakkan pada punggung.

Fakta tentang Alergi

  • Alergi adalah gangguan sistem kekebalan tubuh terhadap alergen. Bagi kebanyakan orang, alergen ini sebenarnya normal-normal saja. Tapi pada penderita alergi, tubuhnya mengenali alergen tersebut sebagai benda asing. Akibatnya, setiap kali kontak dengan alergen, tubuh langsung melawan.
  • Istilah alergi berasal dari bahasa Yunani: allon dan argon, yang berarti reaksi yang berubah. Jenis penyakit ini mulanya diperkenalkan oleh dokter berkebangsaan Australia, Clemens Von Pirquet, pada 1906.
  • Alergi terjadi karena interaksi dua faktor: lingkungan dan genetik.
  • Seorang anak yang kedua orang tuanya tidak memiliki riwayat alergi tetap berisiko terkena alergi 5–15 persen.
  • Bila salah satu orang tua memiliki riwayat alergi, risiko keturunan terkena alergi mencapai 20–40 persen. Bila keduanya punya riwayat alergi, maka risiko seorang anak kena alergi meningkat jadi 40–60 persen.
  • Peluang menderita alergi makin terbuka, yakni 60–80 persen jika manifestasi alergi kedua orang tua serupa, misalnya sama-sama asma.
  • Mayoritas pencetus alergi pada anak-anak adalah makanan. Makin banyak jumlah saudara kandung, peluang terkena alergi makin sedikit.
  • 30 persen anak-anak yang alergi susu sapi juga alergi susu kedelai.
  • Paparan dini terhadap alergen dimulai sejak dalam kandungan.
  • ASI bisa menyebabkan alergi pada bayi bila sang ibu mengkonsumsi makanan yang berisiko mencetuskan alergi. Biasanya muncul ruam kemerahan di pipi bayi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus