Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal pekan ini lelaki itu ber-ulang tahun. Lima puluh dua ta-hun- usianya. Masih amat belia untuk orang seaktif dia. Dunia politik masih menarik minatnya, ranah bisnis masih ingin terus ia geluti. Apa daya, lelaki itu, Meilono Soewondo, saat ini seperti sedang menghitung sisa umurnya.
Hari demi hari, Nono—panggilan Meilono—kini hanya terkurung di rumah-nya. Tak akan ada lagi gebrakannya saat anggota DPR ini mengembalikan angpau- senilai seribu dolar pemberian- Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tak terdengar lagi komentar-nya mengenai masalah properti seperti ketika ia menjadi Direktur PT Bangun Cipta Sarana.
Itu cerita beberapa tahun lalu. Perjuangan Nono saat ini adalah melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Pada saat Tempo mengunjunginya di rumahnya di kawasan Kebayoran, Selasa pekan lalu, lelaki itu sedang berkutat untuk meminum vitaminnya. Duduk di atas sofa, Meilono membungkuk untuk meraih gelas minumnya. Tangan kirinya terjulur. Jempolnya susah payah dimasukkan ke lubang pegangan gelas, sementara keempat jarinya yang lain, yang tampak loyo, sekadar menempel di gelas.
Gelas itu pun terangkat sangat pelan. Tangannya gemetar, cairan vitamin berwarna hijau kekuningan berguncang-guncang. Akhirnya, usaha keras itu berhasil saat masih dengan gemetaran ia menenggak minuman dengan bantuan sedotan plastik. ”Kondisi saya makin merosot,” kata Nono.
Meilono, pemain basket berbadan te-gap itu, sudah divonis dokter menderita- penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS). ALS adalah penyakit degeneratif yang muncul akibat rusaknya motor neuron (sel-sel saraf) yang mengontrol otot-otot dalam tubuh. Otot kaki, misal-nya, dikendalikan motor neuron di urat saraf tulang belakang bawah. Sedangkan otot lengan, tangan, serta jari dikontrol motor neuron di urat saraf tulang belakang atas. Adapun kegiatan bicara, mengunyah, dan menelan diken-dalikan motor neuron di batang otak.
Ini penyakit langka. Hingga kini, para ahli belum menemukan penyebab pasti di balik soaknya motor neuron itu, dan karena itu obatnya pun belum ada.
Perusakan motor neuron Nono terjadi secara cepat. Tiga pekan sebelumnya, saat Tempo menemuinya, bekas politisi- PDI Perjuangan itu masih bisa meng-angkat gelas dengan tangan kiri, atau me-nyendok sendiri nasi di piring. Dengan sendok dan piring yang telah dimodifi-kasi, Nono bisa menghabiskan nasinya-. Irisan apel yang diberikan istrinya, Bintarti, juga disambut dan dilahapnya. ”Sekarang, kalau makan, saya lebih sering disuapi,” kata Meilono. Kesulitan untuk makan dan minum membuat beratnya melorot dari 78 kilogram menjadi 66 kilogram.
Padahal, satu setengah tahun lalu, Nono masih beraktivitas seperti biasa. Ia mulai merasakan gejala tak berfungsi-nya saraf motorik tangan pada Oktober 2004 ketika sedang memotong kuku memakai jari tangan kanan. Kuku tangan kirinya tak bisa terpotong. Ia heran.
Keheranan menebal ketika beberapa- hari kemudian sekretarisnya memberi tahu bahwa pengelola bank rekanan kantor menelepon. Mereka perlu melakukan konfirmasi tanda tangan Meilono pada cek dari bank tersebut. Rupanya, goresan Meilono sudah berubah. Eksekutif itu rupanya kini menorehkan tanda tangannya dengan bantuan siku dan lengan.
Gejala makin jelas ketika ia merasakan kedutan selama 24 jam di sejumlah bagian tubuhnya. Ayah tiga anak itu—dua anak kembar Kirano dan Kirono, 23 tahun, serta Melati, 17 tahun-—pun ber-buru pelbagai penyembuh-an modern maupun alternatif, termasuk ke luar negeri.
Akhirnya, diagnosis tepat didapat. Mei-lono dinyatakan mengidap amyotro-phic lateral sclerosis (ALS). ”Saya lemas- mendengarnya,” katanya.
Nama ALS diperkenalkan oleh ahli saraf Prancis, Jean Martin Charcot, pada 1874. Ia melakukan observasi pada sejumlah pasien yang ototnya merana (mengalami amiotrofi, menyusut) dan mengalami pengerasan (sklerosis). Hasilnya, ditemukan kelainan degeneratif di motor neuron, terutama di sisi (lateral) urat saraf tulang belakang. ALS jamak disebut penyakit Lou Gehrig, merujuk pemain bisbol tenar yang mati pada 1941 akibat penyakit ini. Fisikawan kondang Stephen Hawking juga mengidap penyakit ini sejak berusia 21 tahun.
Sejumlah pusat pengkajian ALS menyebut prevalensi penyakit ini 1-5 per 100 ribu populasi. Sekadar gambaran, di Amerika Serikat diperkirakan ada 30 ribu orang mengidap ALS. Risiko penyakit ini makin besar seiring me-nuanya usia seseorang. Secara statistik, ALS lebih banyak menyerang laki-laki dibanding perempuan. Kalangan yang rentan terkena berusia 40-70 tahun, meski ada juga pengidap di bawah atau di atas patokan umur itu.
Di Indonesia, data penderita ALS—seperti juga banyak jenis penyakit lain—tidak tersedia. ”Penyakit ALS sangat progresif,” kata Dokter Andreas Harry, spesialis saraf dari Prevento Andreaux, International Clinic, Jakarta, salah satu dokter yang didatangi Meilono.
Tak mengherankan, dari kartu rekam kemampuan yang selalu ia catat, Meilon-o melihat turunnya kemampuan hidupnya. Merujuk 11 kriteria penanda ALS de-ngan skor normal 55, kini ia berada pada skor 28—merosot dari skor 31 pada akhir- -April lalu. Nono tak pernah tahu sampai kapan ia bisa bertahan agar grafik di kartunya tak cepat menuju skor nol, pe-nanda kehidupannya berakhir.
Penanda yang selalu dipelototi adik kan-dung politisi Siswono Yudhohusodo- ini, antara lain, kemampuan bicara, menelan, menulis, memotong makanan, memakai pakaian, berguling di tempat tidur, berjalan, dan naik tangga. ”Seka-rang, saya omong masih normal, tapi -untuk menulis tak bisa, wong pegang bolpoin saja sudah tak bisa,” kata Meilono, yang pernah ditahan polisi gara-gara ikut menandatangani surat pernyataan anti-Soeharto, Februari 1998. Saat itu, ia aktif sebagai Ketua Ikatan Alumni ITB Cabang Jakarta.
Keluarganya membantu memermak rumah untuk mempermudah geraknya. Ruangan di samping kamar mandi lama disulap jadi kamar mandi khusus. Barang-barang dipinggirkan karena jalannya mulai tertatih-tatih. Tersenggol sedikit saja, ia bisa terjatuh. Tongkat tak akan menolong karena jari-jemarinya tak kuasa memegangnya.
Untuk mengetik dan berkorespondensi dengan sesama pengidap ALS di luar negeri, jari tangan kiri Meilono tak lagi bisa memencet keyboard. Beruntung ada sahabatnya yang memasang keyboard virtual di komputer jinjingnya sehingga ia bisa mengetik dengan bantuan celurut. Untuk mengantisipasi kondisi-nya yang bakal makin buruk, komputer-nya telah dipasangi peranti yang bisa bekerja berdasar perintah suara.
Kedatangan ALS tentu tak disambut- keluarga Nono dengan berdiam diri saja. Puluhan dokter spesialis sudah didatangi-. Beragam obat sudah dicoba-, termasuk riluzole yang dikabarkan mam-pu mengerem agar kondisi kesehatan pasien ALS tidak cepat menurun. Tapi, hasilnya nihil. Akhirnya, ia berhenti menenggak obat-obatan itu.
Di luar pengobatan modern, Meilono juga mencari pengobatan alternatif. Sudah tak terhitung tempat yang ia sambangi. Mulai terapi pijat pakai kayu, cubit, air panas, tusuk jarum, ketok karet, dan sebagainya. Bahkan pengobatan ke Cina pun diburu. Di sana, ia bertemu teman senasib dari Cile, Arab, dan Swe-dia. Cuma, lagi-lagi hasilnya nihil.
Kini, Nono hanya bisa pasrah. Ken-dati kegesitannya terenggut, ia bertekad membangun kesadaran tentang kebe-r-adaan penyakit misterius itu. Sebuah website tentang perjalanan penyakitnya sejak awal telah dibuatnya. Tiap hari, dengan tertatih-tatih ia terus meng-isinya. Bekas aktivis mahasiswa itu percaya: sebenar-nya banyak orang Indonesia mengidap ALS, tapi didiagnosis secara salah.
ALS yang ngendon di tubuhnya juga ia anggap sebagai rencana Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya. Bisa jadi, jika kegesitannya di pentas politik dan dunia usaha tetap terjaga, ia akan melakukan tindakan yang bisa membuat hidupnya bermasalah. Di usia sekarang, dengan rambut yang kian memutih, Meilono lebih bertafakur dan mengisi hidupnya secara lebih bermakna.
Keterbatasan itu, tak pelak, membuat- keluarga Meilono prihatin. Kirano, salah satu anak kembarnya, merasa masih sangat butuh banyak belajar dari ayahnya, termasuk urusan manajemen. Meski begitu, garis nasib tak bisa ditolak. ”Kini, yang penting bapak bisa merasa nyaman di rumah,” katanya.
Di balik kepasrahannya, Meilono tak pernah berputus asa. Upaya pengobatan tetap dilakukan. Apalagi, tak sedikit pasien ALS yang bisa terus berkarya. Contohnya Stephen Hawking, yang dari atas kursi roda mampu meraih sejumlah penghargaan prestisius. Padahal dokter- sempat memvonis pria kelahiran Oxford, Inggris, 8 Januari 1942, ini hanya bisa bertahan tak lebih dari dua sampai tiga tahun. Kini, 43 tahun setelah ia divonis dokter, Hawking masih te-rus berkarya. Optimisme seperti inilah yang ingin dilakoni Nono.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo