Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Suatu Malam Di Ujung Jalan Tol

Pegawai pt jasa marga yang disebut kolektor, tugasnya memungut biaya setiap kendaraan yang lewat tol. punya banyak suka duka, a.l: pengendara sering berkelit tak mau bayar.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG remaja mengendarai motor trail melaju di atas jalan tol Rajamandala (Cianjur-Bandung). Sepuluh meter sebelum memasuki gerbang, motornya mendengus lewat tanpa bisa dihentikan. Penjaga tol segera meniup peluit, disusul raungan sirene. Polisi yang siaga di pos penjagaan -- 200 meter dari gerbang--langsung memburu. Tapi apa daya, anak muda itu telah selamat mencapai jembatan Citarum. "Sialan!" umpat Serka (Pol.) Dasepuddin, Komandan Regu di situ. Di tol Rajamandala ada 42 orang pegawai PT Jasa Marga -- perusahaan yang khusus menangani jalan tol. Ratarata lulusan SLA. Di antaranya 28 orang adalah kolektor (collecor), istilah untuk menyebut petugas pemungut biaya buat setiap kendaraan yang lewat. Mereka terbagi dalam tiga sip (jam tugas) -- masing-masing antara pukul 07.15.00 13.00 - 23.00 dan 23.00 sampai 07.00 kembali. Semua mengenakan seragam baju warna krem, celana coklat tua. Peristiwa penyerobotan seperti dilakukan anak muda tadi bukan barang baru. Bahkan seorang petugas polisi pernah diseruduk Vespa yang mencoba melarikan diri. Akibatnya keduanya menderita luka-luka. Vespa pun ditahan. "Biasanya mereka yang melakukan hal tersebut tidak punya surat-surat lengkap atau kendaraan itu hasil curian," kata Dasepuddin. Dalam satu bulan di jalan tol Rajamar Idala pernah berhasil ditangkap enam motor hasil curian. Salah satu dari pencuri itu mengaku tidak punya uang untuk membayar tol. Tapi ketika hendak dibawa ke pos polisi cepat-cepat menyodorkan uang Rp 10 ribu. Tentu saja petugas langsung curiga. Kemudian terbuktilah motor tersebut memang curian. Jadi di samping untuk meluncurkan lalulintas lebih laju, jalan tol juga berguna untuk menjaring pencurian kendaraan bermotor. "Itu sangat efektif," kata R. Gatot Sutoyo, Kepala Kantor Jasa Marga Ranting Khusus Citarum Rajamandala. Ia menjelaskan bila ada pencurian, perampokan atau penodongan tol selalu ditelepon. "Dan mereka tak pernah lolos," katanya lebih lanjut. Tak heran kalau kolektor harus senantiasa waspada, karena, kalau meleng bisa rugi. Sebab seluruh kendaraan yang lewat gerbang masuk loop coil, yakni medan magnit yang mendeteksi setiap kendaraan yang lewat. Hasilnya secara otomatis dicatat oleh sebuah komputer. Jadi setiap kendaraan yang lewat, membayar atau tidak, pasti tercatat. "Bila tidak sempat dicatat, maka toll collector mesti mengganti pembayarannya,"kata Gatot. Ia sendiri pernah menghadapi seorang berdasi dan pakai kendaraan mewah bersumpah-sumpah mengatakan kebetulan tak membawa uang. "Ya saya sendiri yang terpaksa membayarnya," kata Gatot lebih lanjut. Presiden Soeharto sendiri menurut cerita Fona'aro Lavau, kepala regu jalan tol Bogor, setiap lewat selalu membayar. Yaitu melalui protokol yang sudah di gerbang tol setengah jam sebelum Pak Harto lewat. Kolektor yang bertugas di sip I setiap bulan menerima upah Rp 75 ribu. Sedang yang bertugas di sip II dan III, Rp 85 ribu. Kepala regu Rp 100 ribu. Jumlah itu termasuk uang makan dan transpor. Kalau sakit atau melahirkan biayanya ditanggung penuh oleh perusahaan. "Yang diperlukan buat mereka di samping keramahan adalah disiplin. Bila tiga kali melakukan tindakan indiipliner, seorang toll collector bisa langsung dipecat," kata Gatot. Jambret Di tol Rajamandala ada empat kolektor wanita. Khusus buat mereka ada ketentuan, tidak boleh memakai perhiasan mas, seperti gelang misalnya. "Sebab siapa tahu nanti bisa menarik perhatian tukang jambret," kata Mirna Laxmie Puwati (22 tahun) yang berasal dari Cianjur. Ia bertugas sejak 1 Agustus 1979. Sejauh ini ia belum pcrnah mengalami penjambretan. Malah ada pengendara yang lewat memberikan uang tip. Tapi Mirna selalu melapor. Kenapa? "Ya siapa tahu itu mencoba saya atau sengaja mau menjatuhkan nama baik saya," ujarnya. Mirna melaporkan juga selama bertugas ia sudah biasa menghadapi macam-macam orang dengan berbagai sifatnya. Ada yang melempar uang begitu saja tanpa mau mengambil karcis. Sering juga ada sopir yang nakal, pegang-pegang tangan. Yuniarti Lubis, kolektor di jalan tol Jagorawi juga mengatakan sering diganggu. "Suka ada yang pegang-pegang tangan sewaktu menyodorkan karcis," ucapnya pada TEMPO sambil mesem-mesem. "Kalau begitu paling sumpah serapah terpaksa keluar." Gadis ini sering menghadapi pengendara yang sengaja membayar kurang. Misalnya untuk pembayaran Rp 600, yang diserahkan hanya selembar limaratusan dan di dalamnya diselipkan sebuah coin lima rupiah yang besarnya mirip ratusan. "Kayaknya mereka cuma iseng," kata Yuniarti, 21 tahun. Padahal keisengan tersebut bisa mengakibatkan kondite petugas dinilai kurang. Karena itu setiap kali dapat keisengan macam itu, Yun yang tidak suka digelitik ini, cepat-cepat lapor kepada pimpinannya. Lestari Soemardjo -- kolektor di pintu Taman Mini--bertugas jam 7 pagi sampai pukul 2 siang. "Ngetol di sini saya sering ketemu teman-teman sekolah yang kebetulan lewat," ungkapnya. Ia masih kuliah di Fakultas Ekonomi Trisakti, tingkat IV. Pada hari-hari sepi ia sering diganggu kantuk. Tapi Sabtu, Minggu dan Senen ia sangat sibuk. Sedetik pun tidak boleh lengah. "Kalau sudah begitu capek juga hingga kalau sampai di rumah tidak bisa kerja lain," katanya. Menurut perkiraannya paling banter ia hanya akan bertahan tiga tahun bekerja sebagai kolektor. Angin di gerbang itu cukup kuat. Fatamorgana di atas aspal licin di kejauhan sering membuat tegang. Itu sudah mempengaruhi konsentrasi belajarnya. "Ya sejak saya kerjadi sini, kuliah saya macet," katanya terus terang. Di gerbang tol Bogor dengan alam yang masih lapang, suatu pagi menjelang subuh, berangin kencang. Priyatno. 26 tahun membetulkan letak jaketnya. "Dingin," katanya sambil berdiri untuk melemaskan otot-otot. Sejak pukul 2 malam ia menunggu kotak kaca (box) gerbang yang berukuran 1,3 x 3 meter. "Kalau malam di sini sepi," katanya meneruskan. Untuk membunuh kesepian dan dingin itu ia baca koran dan merokok. Kadangkala ngobrol dengan kolektor di box lain. Priyatno yang baru bertugas setahun mengaku betah meskipun tak menyembunyikan bertugas malam itu berat. Malam pertama dan kedua biasanya sangat berat, tapi menjelang malam ketiga, kantuk sudah mulai dapat ditaklukkan. Untunglah ada saja yang lewat harus dilayani. Biasanya orang-orang yang pacaran. Yang paling banyak adalah bisa umurnya dan kendaraan pengangkut barang. Pengemudinya banyak yang dikenalnya. "Kalau jalan sedang sepi, kami sering omong-omong walau hanya sebentar," kata petugas itu. Perkenalan itu kemudian ada buahnya. Kalau kebetulan ingin ke Jakarta (ia tinggal diBogor) ia bisa nebeng. Yang sengsara bila ada hujan disertai allgin kencang. Box-nya pasti kena tampias. Mantel harus dipakai dan jendela ditutup rapat-rapat. Kalau ada kendaraan lewat baru dibuka. Kadangkala hujan disertai putusnya aliran listrik. Mesin untuk mengeluarkan tiket macet. Untunglah keadaan begitu biasanya cepat berlalu. Teknisi yang selalu stand by segera turun tangan. Pengalaman-pengalaman kecil, yang menunjukkan berbagai tingkah sopir cukup banyak dialaminya. Ada yang, tak punya uang, kelupaan bawa dompet bahkan ada juga yang menyodorkan uang dollar. Yang terakhir ini kemudian meninggalkan paspornya. Esoknya kembali membawa uang rupiah. Priyatno mengantungi Rp 90 ribu sebulan. Di hari raya atau hari libur kalsu harus dinas ia mendapat uang lembur sepertigapuluh dari gaji total. Sejak dua bulan terakhir ini ada ketentuan baru dalam biaya pengobatan. Karyawan yang diopname mendapat ganti pengobatan penuh, tapi yang sakit biasa tak dapat apa-apa. Setiap bulan lelaki yang masih membujang ini menabung 40 % dari gajinya. Akhir-akhir ini ia mencoba bisnis kecil-kecilan. Beli kain dan kemeja di Jakarta, lalu dikirim ke Pakanbaru. Barangkali ini salah satu usaha untuk membina hari depan. Atau mungkin juga jaga-jaga kalau sewaktu-waktu bosan kerja di jalan yang masih langka di Indonesia itu. Yachya Harri, 30 tahun, kelahiran Langkat penjaga gerbang tol Cibinong sudah setahun kerja. Kini ia menjadi kepala regu IV. Membawahkan 10 orang, masing-masing di pos Cibinong dan Cibubur. Menurut pengamatannya. sehari bisa empat sampai lima kali ada yang nyelonong. Karena itu kini ia banyak mengandalkan firasat. Bila dari jauh misalnya ada kendaraan yang tidak mengurangi kecepatannya, ia langsung menyiapkan palang pintu. "Kalau ada yang kabur biar sampai di rumahnya akan dikejar petugas keamanan," kata Harris. Denda yang dikenakan untuk itu 10 kali tarif yang ada. Asap Knalpot Kadangkala Harris kesal, kalau sopir menyodorkan lembaran uang Rp 10 ribu. Banyak orang menyangka gerbang tol sebagai gudang uang. Padahal tidak. Gerbang yang padat paling banter dibekali Rp 40 ribu uang receh. Sehingga bila ada empat mobil saja yang membayar dengan puluhan ribu, uang kembalian sudah habis. Biasanya kalau tak ada kembalian, Harris menyilakan sopirnya menunggu. Kadangkala ada tak bisa bayar lalu meninggalkan KTP. Sudah dua bulan tidak diambil-ambil. Ada yang meninggalkan segitiga pengaman. Kemudian empat bulan berlalu tak juga diambil-ambil. "Ya semuanya jadi inventaris," kata Harris. Bertugas malam memang banyak dukanya. Kalau mata mengantuk sering lembar 500 disangka 1000. Tapi sukanya juga ada. Misalnya waktu bertugas di Cibubur, Harris ketemu yang mengangkut jagung tapi tak mampu bayar. Untuk itu tas Harris kemudian diisi jagung. Tapi itu berarti Harris harus membayar karcis tol nntuk kendaraan itu. Baik Harris maupun rekan-rekannya yang lain hanya khawatir soal kesehatan. Di jalan tol mau tak mau banyak mengisap asap knalpot. Dinding gardu jaga sudah hitam karena polusi. Harris sendiri mengaku sering sakit tenggorokan. "Bisa-bisa paru-paru kami juga hitam," katanya cemas. Di samping polusi, kolektr yang bertugas malam juga kebagian cerita seram. Seorang rekan Harris pernah didatangi perempuan tanpa muka di kantor Cibinong. Sejak itu macam-macam kejadian serem menyusul. Tengah malam sepi, tahu-tahu terdengar suara orang yang bergerombol. Kalau ditengok segera hilang. Sering juga terdengar suara orang mengasah pisau. Pintu gerbang kadangkala seperti diketuk-ketuk." Kayaknya mau belajar kenal," rekan Harris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus