SEORANG remaja mengendarai motor trail melaju di atas jalan tol
Rajamandala (Cianjur-Bandung). Sepuluh meter sebelum memasuki
gerbang, motornya mendengus lewat tanpa bisa dihentikan. Penjaga
tol segera meniup peluit, disusul raungan sirene. Polisi yang
siaga di pos penjagaan -- 200 meter dari gerbang--langsung
memburu. Tapi apa daya, anak muda itu telah selamat mencapai
jembatan Citarum. "Sialan!" umpat Serka (Pol.) Dasepuddin,
Komandan Regu di situ.
Di tol Rajamandala ada 42 orang pegawai PT Jasa Marga --
perusahaan yang khusus menangani jalan tol. Ratarata lulusan
SLA. Di antaranya 28 orang adalah kolektor (collecor), istilah
untuk menyebut petugas pemungut biaya buat setiap kendaraan yang
lewat. Mereka terbagi dalam tiga sip (jam tugas) --
masing-masing antara pukul 07.15.00 13.00 - 23.00 dan 23.00
sampai 07.00 kembali. Semua mengenakan seragam baju warna krem,
celana coklat tua.
Peristiwa penyerobotan seperti dilakukan anak muda tadi bukan
barang baru. Bahkan seorang petugas polisi pernah diseruduk
Vespa yang mencoba melarikan diri. Akibatnya keduanya menderita
luka-luka. Vespa pun ditahan. "Biasanya mereka yang melakukan
hal tersebut tidak punya surat-surat lengkap atau kendaraan itu
hasil curian," kata Dasepuddin.
Dalam satu bulan di jalan tol Rajamar Idala pernah berhasil
ditangkap enam motor hasil curian. Salah satu dari pencuri itu
mengaku tidak punya uang untuk membayar tol. Tapi ketika hendak
dibawa ke pos polisi cepat-cepat menyodorkan uang Rp 10 ribu.
Tentu saja petugas langsung curiga. Kemudian terbuktilah motor
tersebut memang curian.
Jadi di samping untuk meluncurkan lalulintas lebih laju, jalan
tol juga berguna untuk menjaring pencurian kendaraan bermotor.
"Itu sangat efektif," kata R. Gatot Sutoyo, Kepala Kantor Jasa
Marga Ranting Khusus Citarum Rajamandala. Ia menjelaskan bila
ada pencurian, perampokan atau penodongan tol selalu ditelepon.
"Dan mereka tak pernah lolos," katanya lebih lanjut.
Tak heran kalau kolektor harus senantiasa waspada, karena, kalau
meleng bisa rugi. Sebab seluruh kendaraan yang lewat gerbang
masuk loop coil, yakni medan magnit yang mendeteksi setiap
kendaraan yang lewat. Hasilnya secara otomatis dicatat oleh
sebuah komputer. Jadi setiap kendaraan yang lewat, membayar
atau tidak, pasti tercatat. "Bila tidak sempat dicatat, maka
toll collector mesti mengganti pembayarannya,"kata Gatot. Ia
sendiri pernah menghadapi seorang berdasi dan pakai kendaraan
mewah bersumpah-sumpah mengatakan kebetulan tak membawa uang.
"Ya saya sendiri yang terpaksa membayarnya," kata Gatot lebih
lanjut. Presiden Soeharto sendiri menurut cerita Fona'aro
Lavau, kepala regu jalan tol Bogor, setiap lewat selalu
membayar. Yaitu melalui protokol yang sudah di gerbang tol
setengah jam sebelum Pak Harto lewat.
Kolektor yang bertugas di sip I setiap bulan menerima upah Rp 75
ribu. Sedang yang bertugas di sip II dan III, Rp 85 ribu. Kepala
regu Rp 100 ribu. Jumlah itu termasuk uang makan dan transpor.
Kalau sakit atau melahirkan biayanya ditanggung penuh oleh
perusahaan. "Yang diperlukan buat mereka di samping keramahan
adalah disiplin. Bila tiga kali melakukan tindakan indiipliner,
seorang toll collector bisa langsung dipecat," kata Gatot.
Jambret
Di tol Rajamandala ada empat kolektor wanita. Khusus buat mereka
ada ketentuan, tidak boleh memakai perhiasan mas, seperti gelang
misalnya. "Sebab siapa tahu nanti bisa menarik perhatian tukang
jambret," kata Mirna Laxmie Puwati (22 tahun) yang berasal dari
Cianjur. Ia bertugas sejak 1 Agustus 1979. Sejauh ini ia belum
pcrnah mengalami penjambretan. Malah ada pengendara yang lewat
memberikan uang tip. Tapi Mirna selalu melapor. Kenapa? "Ya
siapa tahu itu mencoba saya atau sengaja mau menjatuhkan nama
baik saya," ujarnya.
Mirna melaporkan juga selama bertugas ia sudah biasa menghadapi
macam-macam orang dengan berbagai sifatnya. Ada yang melempar
uang begitu saja tanpa mau mengambil karcis. Sering juga ada
sopir yang nakal, pegang-pegang tangan.
Yuniarti Lubis, kolektor di jalan tol Jagorawi juga mengatakan
sering diganggu. "Suka ada yang pegang-pegang tangan sewaktu
menyodorkan karcis," ucapnya pada TEMPO sambil mesem-mesem.
"Kalau begitu paling sumpah serapah terpaksa keluar."
Gadis ini sering menghadapi pengendara yang sengaja membayar
kurang. Misalnya untuk pembayaran Rp 600, yang diserahkan hanya
selembar limaratusan dan di dalamnya diselipkan sebuah coin lima
rupiah yang besarnya mirip ratusan. "Kayaknya mereka cuma
iseng," kata Yuniarti, 21 tahun. Padahal keisengan tersebut bisa
mengakibatkan kondite petugas dinilai kurang. Karena itu setiap
kali dapat keisengan macam itu, Yun yang tidak suka digelitik
ini, cepat-cepat lapor kepada pimpinannya.
Lestari Soemardjo -- kolektor di pintu Taman Mini--bertugas jam
7 pagi sampai pukul 2 siang. "Ngetol di sini saya sering ketemu
teman-teman sekolah yang kebetulan lewat," ungkapnya. Ia masih
kuliah di Fakultas Ekonomi Trisakti, tingkat IV. Pada hari-hari
sepi ia sering diganggu kantuk. Tapi Sabtu, Minggu dan Senen ia
sangat sibuk. Sedetik pun tidak boleh lengah. "Kalau sudah
begitu capek juga hingga kalau sampai di rumah tidak bisa kerja
lain," katanya.
Menurut perkiraannya paling banter ia hanya akan bertahan tiga
tahun bekerja sebagai kolektor. Angin di gerbang itu cukup kuat.
Fatamorgana di atas aspal licin di kejauhan sering membuat
tegang. Itu sudah mempengaruhi konsentrasi belajarnya. "Ya sejak
saya kerjadi sini, kuliah saya macet," katanya terus terang.
Di gerbang tol Bogor dengan alam yang masih lapang, suatu pagi
menjelang subuh, berangin kencang. Priyatno. 26 tahun
membetulkan letak jaketnya. "Dingin," katanya sambil berdiri
untuk melemaskan otot-otot. Sejak pukul 2 malam ia menunggu
kotak kaca (box) gerbang yang berukuran 1,3 x 3 meter. "Kalau
malam di sini sepi," katanya meneruskan. Untuk membunuh kesepian
dan dingin itu ia baca koran dan merokok. Kadangkala ngobrol
dengan kolektor di box lain.
Priyatno yang baru bertugas setahun mengaku betah meskipun tak
menyembunyikan bertugas malam itu berat. Malam pertama dan kedua
biasanya sangat berat, tapi menjelang malam ketiga, kantuk
sudah mulai dapat ditaklukkan. Untunglah ada saja yang lewat
harus dilayani. Biasanya orang-orang yang pacaran. Yang paling
banyak adalah bisa umurnya dan kendaraan pengangkut barang.
Pengemudinya banyak yang dikenalnya. "Kalau jalan sedang sepi,
kami sering omong-omong walau hanya sebentar," kata petugas
itu. Perkenalan itu kemudian ada buahnya. Kalau kebetulan ingin
ke Jakarta (ia tinggal diBogor) ia bisa nebeng.
Yang sengsara bila ada hujan disertai allgin kencang. Box-nya
pasti kena tampias. Mantel harus dipakai dan jendela ditutup
rapat-rapat. Kalau ada kendaraan lewat baru dibuka. Kadangkala
hujan disertai putusnya aliran listrik. Mesin untuk mengeluarkan
tiket macet. Untunglah keadaan begitu biasanya cepat berlalu.
Teknisi yang selalu stand by segera turun tangan.
Pengalaman-pengalaman kecil, yang menunjukkan berbagai tingkah
sopir cukup banyak dialaminya. Ada yang, tak punya uang,
kelupaan bawa dompet bahkan ada juga yang menyodorkan uang
dollar. Yang terakhir ini kemudian meninggalkan paspornya.
Esoknya kembali membawa uang rupiah.
Priyatno mengantungi Rp 90 ribu sebulan. Di hari raya atau hari
libur kalsu harus dinas ia mendapat uang lembur sepertigapuluh
dari gaji total. Sejak dua bulan terakhir ini ada ketentuan baru
dalam biaya pengobatan. Karyawan yang diopname mendapat ganti
pengobatan penuh, tapi yang sakit biasa tak dapat apa-apa.
Setiap bulan lelaki yang masih membujang ini menabung 40 % dari
gajinya. Akhir-akhir ini ia mencoba bisnis kecil-kecilan. Beli
kain dan kemeja di Jakarta, lalu dikirim ke Pakanbaru.
Barangkali ini salah satu usaha untuk membina hari depan. Atau
mungkin juga jaga-jaga kalau sewaktu-waktu bosan kerja di jalan
yang masih langka di Indonesia itu.
Yachya Harri, 30 tahun, kelahiran Langkat penjaga gerbang tol
Cibinong sudah setahun kerja. Kini ia menjadi kepala regu IV.
Membawahkan 10 orang, masing-masing di pos Cibinong dan Cibubur.
Menurut pengamatannya. sehari bisa empat sampai lima kali ada
yang nyelonong. Karena itu kini ia banyak mengandalkan firasat.
Bila dari jauh misalnya ada kendaraan yang tidak mengurangi
kecepatannya, ia langsung menyiapkan palang pintu. "Kalau ada
yang kabur biar sampai di rumahnya akan dikejar petugas
keamanan," kata Harris. Denda yang dikenakan untuk itu 10 kali
tarif yang ada.
Asap Knalpot
Kadangkala Harris kesal, kalau sopir menyodorkan lembaran uang
Rp 10 ribu. Banyak orang menyangka gerbang tol sebagai gudang
uang. Padahal tidak. Gerbang yang padat paling banter dibekali
Rp 40 ribu uang receh. Sehingga bila ada empat mobil saja yang
membayar dengan puluhan ribu, uang kembalian sudah habis.
Biasanya kalau tak ada kembalian, Harris menyilakan sopirnya
menunggu. Kadangkala ada tak bisa bayar lalu meninggalkan KTP.
Sudah dua bulan tidak diambil-ambil. Ada yang meninggalkan
segitiga pengaman. Kemudian empat bulan berlalu tak juga
diambil-ambil. "Ya semuanya jadi inventaris," kata Harris.
Bertugas malam memang banyak dukanya. Kalau mata mengantuk
sering lembar 500 disangka 1000. Tapi sukanya juga ada.
Misalnya waktu bertugas di Cibubur, Harris ketemu yang
mengangkut jagung tapi tak mampu bayar. Untuk itu tas Harris
kemudian diisi jagung. Tapi itu berarti Harris harus membayar
karcis tol nntuk kendaraan itu.
Baik Harris maupun rekan-rekannya yang lain hanya khawatir soal
kesehatan. Di jalan tol mau tak mau banyak mengisap asap
knalpot. Dinding gardu jaga sudah hitam karena polusi. Harris
sendiri mengaku sering sakit tenggorokan. "Bisa-bisa paru-paru
kami juga hitam," katanya cemas.
Di samping polusi, kolektr yang bertugas malam juga kebagian
cerita seram. Seorang rekan Harris pernah didatangi perempuan
tanpa muka di kantor Cibinong. Sejak itu macam-macam kejadian
serem menyusul. Tengah malam sepi, tahu-tahu terdengar suara
orang yang bergerombol. Kalau ditengok segera hilang. Sering
juga terdengar suara orang mengasah pisau. Pintu gerbang
kadangkala seperti diketuk-ketuk." Kayaknya mau belajar kenal,"
rekan Harris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini