Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang rawat intensif di lantai dua Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, sejak dua pekan lalu terlihat senyap. Lorong-lorongnya, meski bersih, bersuasana muram. Padahal berita tentang bertambahnya jumlah penderita flu burung yang dirawat di rumah sakit itu terus mengalir.
Dua orang perawat dengan pakaian keamanan medis lengkap langsung berteriak melarang saat Tempo hendak melihat kondisi bangsal. ”Tidak, tidak boleh masuk,” kata salah satu perawat.
Di luar bangsal hanya terlihat dua orang penunggu pasien. Keduanya pe-rempuan dewasa. Wajah mereka tampak lelah. Keduanya duduk di lantai dikelilingi perlengkapan makan dan tidur. ”Kami bukan keluarga pasien flu bu-rung,” salah satu perempuan yang berkerudung hitam berucap ketus de-ngan pandangan curiga. Ia tak mau menyebut nama.
”Pasiennya semua sudah dipindahkan ke ruang lain,” kata perempuan yang lain yang juga enggan menyebut identitasnya. Padahal, berdasar informasi Dr Andi Muhammad Ilham Patu, Kepala Bagian Humas dan Surveillance RSPI, semua pasien masih berada di ruangan rawat intensif dan bangsal Cempaka.
Entah apa yang membuat keluarga pasien maupun pihak rumah sakit menutup diri. Pembatasan informasi dari pihak rumah sakit dimulai Kamis dua pekan lalu. ”Sesuai instruksi direksi, semua informasi kini hanya diberikan melalui Dr Sardikin. Mohon maaf,” kata Ilham Patu. Wewenang juru bicara sejak saat itu diserahkan kepada Wakil Direktur Rumah Sakit, Dr Sardikin Giri Putro.
Hariadi Wibisono, Direktur Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang De-partemen Kesehatan, mengatakan pem-batasan informasi pasien flu burung yang dikeluarkan RSPI merupa-kan kebijakan rumah sakit sendiri, bukan dari Departemen Kesehatan. ”Rumah sa-kit memiliki kebijakan mem-perbaiki sistem, de-mi kepentingan pasien dan publik,” kata Hariadi.
Dukungan untuk me-ra-hasiakan identitas pasien flu burung juga disokong Hasbullah Tabrani, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. ”Berdasar Undang-Undang Praktek Kedokteran, dokter bertugas menjaga kerahasiaan pasien, pasien juga punya hak menjaga kerahasiaan penyakitnya,” ujarnya. Kebanyakan pasien, menurut Hasbullah, keberatan kasusnya diungkap karena takut dijauhi masyarakat.
Salah satunya adalah keluarga seorang wanita berinisial Y, 25 tahun, asal Kota Bambu, Jakarta Barat, yang sedang hamil lima bulan. Perempuan itu diduga terjangkit flu burung. Ia dirujuk ke Rumah Sakit Sulianti Saroso, Selasa- malam pekan lalu, setelah sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangu-nkusumo.
”Dia langsung diinapkan di ICU,” kata Dr Sardikin. Suami Y, yang bernama Yudi, 29 tahun, dan kedua orang tua-nya menolak bicara tentang kondisi Y dan pergi menghindar. ”Tanya perawat-nya saja,” kata Yudi, yang datang ke rumah sakit dengan rambut acak-acakan dan tanpa alas kaki.
Sementara itu, empat orang pasien yang sejak ditemukan Oktober 2005 dicurigai mengidap flu burung, dan telah me-ninggal dunia, dinyatakan positif ter-jangkit virus H5N1. Sementara satu orang lagi dinyatakan probable. Kepasti-an diperoleh dari hasil uji di laboratorium rujukan Badan Ke-se-hatan Dunia di Hong Kong.
Kelima penderita flu burung itu tersebar- di beberapa kelurahan di Jakar-ta Timur. WED (19 tahun) berasal dari Ke-lurahan Duren Sawit, SM (16) dari Kelurahan Utan Kayu Utara, MM (18) dari Kelurahan Utan Kayu Selatan, SM (29) dari Kelurahan Bambu Apus, P (23) dari Kelurahan Pisangan Timur. ”Belum diketahui secara jelas bagaimana ben-tuk penularannya,” kata Widyastuti, Kepala Bagian Penyakit Menular Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Timur.
Kasus-kasus itu menjadi bagian dari 19 kasus meninggal akibat flu burung berdasarkan data terbaru Departemen Kesehatan. Secara keseluruhan Depar-temen Kesehatan mencatat ada 340 kasus yang diduga flu burung, dengan 27 kasus terbukti.
Kendati jumlah pengidap flu burung bertambah, Dr Sardikin berpendapat tak berarti ada percepatan jangka waktu penularan. ”Sebenarnya bukan masa penularan yang semakin cepat, tapi kejadian-kejadian ini membuktikan infeksi dari unggas belum selesai,” katanya. Bukan tak mungkin penularan meluas ke beberapa daerah lain.
Peningkatan jumlah orang yang di-duga mengidap flu burung setahun bela-kang-an juga diakui Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Dr Cissy B. Kartasasmita. Ia menganalisis hal itu menandai meningkatnya kesadaran masyarakat akan penyakit mematikan itu. Kemungkinan lain, jumlah penularannya memang meningkat karena faktor cuaca. ”Sekarang banyak yang kena flu biasa selain flu burung,” ujarnya.
Dengan cara berpikir positif yang sama, Sardikin berpendapat Indonesia belum berada di ambang pandemi. Ia percaya Indonesia masih dalam fase ketiga sebelum pandemi. ”Sejauh ini dalam satu cluster hanya dua orang. Baru di-sebut pandemi jika sudah mencapai 20 orang dalam satu cluster,” katanya.
Korban yang terus berjatuhan, menurut dia, tak bisa dilepaskan dari bebe-rapa masalah. Pertama, beberapa rumah sakit belum sepenuhnya melaksanakan secara cepat dan tepat standar operasi perawatan pasien yang mengidap atau diduga mengidap virus H5N1. Sehingga, pasien sampai ke rumah sakit rujuk-an sudah dalam kondisi sangat parah. Padahal Desember lalu, dalam seminar tentang penanganan pasien flu burung, ada 160 rumah sakit yang ikut serta.
Keluhan serupa dilontarkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. ”Saya maunya pasien langsung ke rumah sakit di hari-hari pertama hingga obat Tamiflu bisa efektif,” katanya.
Contohnya kasus Steven. Bayi delapan bulan asal Bogor itu awalnya dilarikan ke RSU PMI Bogor karena meng-alami demam dan sesak napas sejak Rabu dua pekan lalu. Beberapa hari kemudian 37 ayam milik tetangga Steven mati mendadak. Dua di antaranya ketika- diperiksa menunjukkan hasil positif terkena penyakit flu burung.
Padahal jarak ke rumah tetangga yang memelihara ayam itu cukup jauh. Lantaran RSU PMI tak mampu mena-ngani pasien yang dinyatakan positif flu burung, Steven langsung dilarikan ke RS Hasan Sadikin, Bandung. ”Kami sempat mengontak RSPI, tapi katanya penuh,” ujar Rizal, paman Steven. Selain Steven, RS Hasan Sadikin juga sedang merawat enam pasien lain yang diduga menderita flu burung.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak perlu takut melakukan penapisan awal apakah seorang pasien diduga mengidap flu burung. ”Selama mereka memenuhi standar dalam hal penggunaan alat perlindungan,” kata Sardikin.
Ada lagi masalah yang lebih mendasar. Tampaknya penyebaran informasi tentang flu burung, gejala, dan risikonya belum cukup meluas di masyarakat. Masyarakat belum seluruhnya paham bahwa 2-3 hari pertama begitu gejala klinis muncul adalah saat yang tepat untuk menghantam virus H5N1.
Virus H5N1 gemar hidup di tempat bersuhu rendah. Pada suhu air biasa atau 20 derajat, virus itu bisa bertahan- hidup selama empat hari. Sementara pada suhu dingin sampai nol derajat, bisa bertahan sampai 30 hari.
Dengan pemanasan sampai 80 derajat atau penggunaan disinfektan, virus H5N1 akan mati. Dalam tubuh manusia, virus mengikuti aliran darah menuju paru-paru untuk berkembang biak. Paru-paru adalah organ tubuh manusia yang paling lembap.
Pola hidup sehat, menurut Sardikin, juga bisa mencegah penularan. Sejauh ini penularan masih berasal dari unggas ke manusia. Belum ada penularan dari manusia ke manusia. Belum ada pula penularan dari penggunaan air untuk membersihkan tubuh. ”Kecuali manusia menggunakan air bekas hewan, misalnya itik, yang terinfeksi,” kata Sardikin.
Kebiasaan menjaga kebersihan tangan- dan kaki pun penting untuk mencegah- penularan virus. Dianjurkan untuk mencuci anggota tubuh setelah bersentuhan dengan produk unggas. Mencuci produk unggas sebelum dimasukkan ke lemari pendingin juga cara terbaik untuk mencegah pertumbuhan virus flu burung.
Tak kalah penting untuk diingat, kendati terpapar virus, sesungguhnya tak semua orang otomatis langsung meng-idap penyakit flu burung. Kadar daya tahan tubuh sangat menentukan apa-kah penyakit ini akan berlanjut pada gejala klinis atau tidak.
Utami Widowati, Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo