Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melibas Unggas, Dana Terbatas

Banyak kendala memusnahkan unggas yang tertular flu burung. Di negara lain, memberi kompensasi sesuai dengan harga pasar menjadi kunci sukses.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki setengah baya itu berdiri di depan pagar rumahnya. Wajahnya- tampak berang. Kedua matanya tak lepas memandangi beberapa orang berseragam cokelat muda yang makin mendekat dari mulut gang.

Tiba-tiba, lelaki itu mengacung-acungkan golok yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggungnya. ”Bayar dulu, baru kalian boleh bunuh ayam saya! Memangnya ayam saya harganya Rp 10 ribu!” teriak lelaki itu. Melihat aksinya, rombongan petugas Dinas Agribisnis setempat itu langsung berbalik arah dan menjauh.

Peristiwa di Kampung Cilebende, Kota Bogor, dua pekan silam itu merupakan contoh penolakan terhadap tindakan pemusnahan unggas karena- kompensasi yang ditawarkan- pemerintah dinilai terlalu rendah.

Idris, tetangga pria bergolok tadi, menuturkan, para pemilik unggas sebenarnya rela me-nyerahkan hewan mereka untuk dimusnahkan bila nilai kom-pensasi masuk akal. Penolakan warga juga disebabkan lantaran uang ganti rugi tak langsung diterima saat unggas dimusnahkan.

Upaya pemusnahan unggas di Kampung Cilebende itu bukannya tanpa alasan. Dari 37 sampel darah yang diambil-, satu di antaranya positif flu burung. Kecurigaan bertam-bah lantaran dua bocah asal- kampung ini dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Mereka diduga tertular flu burung. Sesuai dengan- ketentuan pemerintah, semua unggas yang ber-ada pada radius satu kilometer dari tempat ditemukannya virus harus dimusnahkan.

Kegusaran atas tindakan pe-musnahan unggas tak cuma terjadi di Kampung Cilebende. Yanto, warga Kampung Rawa, Jakarta Pusat, pekan lalu menyumpahi petugas Dinas Ke-sehatan yang sedang mengambil sampel darah warga.

Beberapa hari sebelumnya, petugas Dinas Peternakan memusnahkan 27 ayam bangkok miliknya. Hingga kini, uang penggantian Rp 10 ribu per ekor belum ia terima. Padahal, biaya membuat kandang ayamnya saja, yang ikut dimusnahkan, mencapai Rp 600 ribu.

Toh, Ketua Tim Tanggap Darurat Pe-nanggulangan Flu Burung Departemen- Pertanian, Delima Hasri Azahari, me-nga-takan, pemusnahan unggas tak bisa ditawar lagi. ”Yang kita hadapi virus. Yang harus kita lakukan memberantas sumber virusnya,” katanya.

Untuk membiayai pemusnahan ung-gas-, Departemen Pertanian telah me-nyi-apkan anggaran Rp 30 miliar. Namun-, jika dihitung jumlah unggas yang ada, dengan kompensasi Rp 10 ribu per unggas pun, dana itu masih jauh dari cu-kup. Menteri Koordinator Ke-sejahteraan Rak-yat Aburizal Bakrie per-nah menga-takan pemusnahan ayam di seluruh daerah terjangkit virus di Indo-nesia memerlukan dana setidaknya Rp 2 triliun.

Betapapun dana terbatas, pemerintah terus bergerak. Kompensasi sekadar merangsang rakyat menyerahkan ternak mereka. Delima mengatakan, jika pendekatan baik-baik tak berhasil, ada kemungkinan pemerintah menggunakan jalan kekerasan. ”Kalau mengacu pada Undang-undang Ke-sehatan Hewan, masyarakat- seharusnya mendukung pe-merintah,” katanya.

Pekan ini Departemen Pertanian akan membicarakan Rancangan Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Salah satu pasalnya menyebutkan ancaman hukuman penjara dan denda bagi pemilik unggas yang menolak pemusnah-an. Beleid itu lebih keras ketimbang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 yang menyebutkan, masyarakat yang dirugikan akibat pemusnahan penyebab penyakit mendapatkan ganti rugi.

Berkaca pada negara lain, pemberian kompensasi se-suai dengan harga unggas merupakan salah satu kunci sukses memerangi virus flu burung. ”Besarnya kompensasi menentukan tingkat keberhasilan pemusnahan unggas,” kata perwakilan Badan Pangan Dunia Asia Tenggara, Hans Wagner, seperti dikutip kantor berita AFP.

Wagner menuturkan, Taiwan dan Korea Selatan mer-upakan negara yang sukses- memerangi flu burung karena memberi kompensasi- lebih layak. Pejabat Departemen Pertanian Taiwan me-nyatakan, pemerintahnya memberi ganti US$ 2,6 (sekitar Rp 25 ribu) untuk setiap unggas yang dimusnahkan. Pemilik unggas pun berduyun-duyun menyerahkan hewan ternak mereka yang diduga terjangkit virus.

Di Korea Selatan, pemerintah membayar setiap unggas yang dimusnahkan sesuai dengan harga pasar. Pemerintah juga memberlakukan keringanan pajak kepada peternak dan memberikan berbagai kemudahan untuk menghidupkan kembali usaha peternakan mereka. Di Korea Selatan, sebanyak 2 juta unggas telah dimusnahkan, sedangkan pemerin-tah Taiwan telah menghabisi hampir satu juta unggas.

Kondisi sebaliknya terjadi di negara-negara yang kondisi ekonominya tak sebaik Korea Selatan dan Taiwan. Alih-alih memuluskan pemberantasan virus flu burung, pemberian kompensasi yang dianggap tak sesuai dengan harga pasar sering kali membuat suasana menjadi tegang.

Di Vietnam, yang delapan warganya tewas karena flu burung pada periode 2004–2005, pemerintah hanya menghargai seekor unggas Rp 3.000. Sampai sekarang negara itu belum dinyatakan aman dari wabah.

Pemerintah Thailand pun hanya membayar separuh harga unggas. Sementara itu, Pakistan dan Cina tak mengumumkan adanya pemberian kompensasi- kepada pemilik unggas. Akibatnya, negara-negara tersebut menghadapi kemungkinan bakal sulit menghentikan penyebaran virus.

Di beberapa wilayah di Indonesia, selain nilai kompensasi yang dinilai rendah, rencana pemusnahan unggas terbentur faktor nonteknis. Pelaksana Teknis Dinas Peternakan Kabupaten- Bogor, Siti Farkah, mengatakan, aparatnya gamang melakukan pemusnahan karena belum ada payung hukum yang membuat mereka leluasa bertindak. Terlebih dana dari Jakarta belum turun, sehingga mereka memilih menunggu.

Kepala Dinas Peternakan dan pertanian Kabupaten Tangerang, Didi Aswadi, mengatakan, meski sudah mengalokasikan Rp 500 juta untuk pencegahan flu burung, belum ada rencana pemusnahan unggas. ”Petunjuk pelaksanaannya belum jelas,” kata Didi.

Daerah yang dianggap paling siap me-laksanakan pemusnahan unggas adalah Jakarta. Gubernur Sutiyoso mengaku telah menyiapkan dana Rp 600 miliar. Tapi, belakangan, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta Eddy Setiarto menjelaskan bahwa uang sebesar itu merupakan dana cadangan dan tak akan dipakai seluruhnya untuk mengganti unggas.

Selama tiga hari mulai 24 Februari lalu, Dinas Peternakan Jakarta meme-riksa semua unggas peliharaan di enam wilayah Ibu Kota. Petugas mengguna-kan alat penguji yang disebut anigen untuk memastikan unggas terjangkit wabah flu burung atau tidak.

Kenyataannya, tak seperti yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak ada pemusnahan unggas dalam radius satu kilometer dari lokasi ditemukannya unggas yang terjangkit flu burung. Pemusnahan hanya dilakukan pada ayam yang berada pada satu lokasi de-ngan sumber infeksi. Eddy berkilah, pemus-nah-an radius satu kilometer belum dilakukan karena razia tiga hari itu ha-nyalah langkah awal.

Eddy juga mengakui uang kompensasi tak bisa diberikan langsung saat pemusnahan dilakukan. ”Kami harus memberi laporan dan menunggu dana turun,” ujarnya. Tak mengherankan bila pemilik unggas enggan menyerahkan hewan mereka, meski untuk sekadar diperiksa.

Adek Media Roza, Deffan Purnama (Bogor), Imron Rosyid (Solo), Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus